tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2019-2024 resmi berakhir. Selama lima tahun mengabdi, kinerja DPR dinilai belum berjalan maksimal. Tiga fungsi utama DPR: pengawasan, legislasi, dan anggaran masih menyisakan banyak catatan. Anggapan miring bahwa DPR sekadar menjadi ‘tukang stempel’ pemerintah dikhawatirkan berulang.
Riset terbaru Indonesian Parliamentary Center (IPC) mencatat, pengawasan DPR terhadap kerja-kerja pemerintah cenderung tidak diindahkan. Mayoritas hasil rekomendasi pada rapat fungsi pengawasan yang dilakukan Alat Kelengkapan Dewan di DPR periode 2019-2024 tidak ditindaklanjuti pemerintah. Secara menyeluruh, persentase rekomendasi DPR yang ditindaklanjuti Pemerintah hanya 37 persen, sementara 67 persen tidak dilanjutkan.
Tema rapat pengawasan yang dilakukan DPR juga tidak banyak menyasar persoalan pokok yang langsung berpengaruh terhadap masyarakat: seperti pendidikan dan kesehatan. IPC mencatat, lima isu yang paling dominan dibahas pada rapat pengawasan adalah soal bisnis (45%), ekonomi kerakyatan (30%), haji (13%), informasi dan digital (10%), serta pemilu (2%).
“Artinya DPR hanya konsen terhadap ekonomi padahal ada yang jauh lebih penting yakni pendidikan dan kesehatan, karena mandatory APBN jelas yakni berpihak terhadap dua sektor tersebut,” kata peneliti IPC, Arif Adiputro, ditemui di Cikini, Jakarta, Senin (30/9/2024).
Selain itu, rapat pengawasan DPR juga masih kerap dilakukan secara tertutup. Komisi I (250 rapat tertutup) dan Komisi VI (200 rapat tertutup) paling banyak melakukan rapat-rapat yang sifatnya tertutup. Namun, semua komisi DPR pernah melakukan rapat pengawasan tertutup.
Terlebih, kata Arif, rapat-rapat yang dilakukan DPR dan pemerintah juga sering dilakukan di luar kompleks parlemen di Senayan. Tidak sekali dua kali, pemerintah dan DPR menggelar rapat tertutup di gedung atau hotel tertentu tanpa mengikutsertakan kehadiran pers.
“Padahal di Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008, aktivitas DPR merupakan informasi yang terbuka untuk publik,” sambung Arif.
Lebih lanjut, DPR dinilai masih belum memaksimalkan fungsi pengawasan terhadap isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat. DPR periode 2019-2024, membentuk total 50 panja untuk fungsi pengawasan bersifat overview. Adapun dalam sifat oversight atau pengawasan yang mendalam dan menyeluruh, DPR hanya membentuk satu pansus angket: yakni soal pelaksanaan ibadah haji.
DPR seolah tak berniat melakukan fungsi pengawasan mendalam dan menyeluruh terhadap isu-isu penting yang berkaitan langsung dengan masyarakat luas. Misalnya mengenai kasus Tragedi Kanjuruhan, minyak goreng langka, dugaan kecurangan Pemilu 2024, judi online, hingga dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada pembangunan proyek strategis nasional (PSN).
“Meski rapat pengawasan dilakukan, sering kali pembahasannya juga tidak mendalam dan bersifat normatif,” ucap Arif.
Keterlibatan masyarakat dalam proses pengawasan DPR juga masih terbatas. DPR belum optimal memanfaatkan masukan dari masyarakat terkait isu-isu strategis yang diawasi. IPC mencatat, aspirasi dari masyarakat sipil yang diserap sebanyak 256 dari total 576 aspirasi.
Sementara itu, dari kalangan akademisi cuma 99 yang diserap dari total 209 aspirasi. Sedangkan, hampir semua aspirasi dari pengusaha justru diserap DPR, yakni 300 dari 309 aspirasi.
Fungsi anggaran DPR juga dipandang belum memiliki terobosan dan masih normatif. Fungsi APBN sebagai alat distribusi kesejahteraan kurang mendapatkan perhatian DPR. Merujuk angka tingkat pengangguran terbuka pada masa pra-pandemi (5,23%), angka itu yang diacu dalam penyusunan APBN 2023. Namun merujuk data BPS, pengangguran masih di kisaran 5,2 persen pada April 2024.
Masih banyak angkatan pencari kerja yang belum terserap di lapangan kerja nasional. Tapi porsi ini dinilai kurang mendapat perhatian serius dari DPR dalam membahas RAPBN.
“Pada akhirnya mengalokasikan anggaran terbesar [di atas Rp100 T] kepada K/L yang tidak berkaitan langsung dengan penguatan ekonomi,” jelas Arif.
Fungsi Legislasi Buruk
Namun, capaian paling kerontang dan mendapatkan banyak catatan justru ada pada fungsi utama DPR: sebagai pembentuk undang-undang bersama pemerintah. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai, DPR menjadi bagian dari masalah hukum itu sendiri, sebab produk undang-undang (UU) yang lahir tidak bertujuan untuk pembangunan hukum yang baik melainkan untuk kepentingan elite penguasa.
Peneliti Formappi, Lucius Karus, memandang UU yang dibentuk DPR periode 2019-2024 tidak mampu melindungi kepentingan bersama (bonum commune), serta belum berlaku adil bagi seluruh rakyat. Mayoritas UU yang tercipta justru memberikan privilege pada kelompok yang berkuasa, termasuk DPR sendiri.
“Dengan demikian, prinsip-prinsip demokrasi seperti liberte (kebebasan), egalite (keadilan) dan fraternite (persaudaraan) tidak bisa diterapkan secara substantif,” kata Lucius dihubungi reporter Tirto, Senin.
Dari segi manajemen, Formappi menilai terdapat gap yang tajam dalam perencanaan dan realisasi pembentukan produk legislasi di DPR. Mereka mencatat, bahwa Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas selama lima tahun berjumlah 263 RUU, namun DPR hanya bisa menyelesaikan 27 RUU Prioritas atau hanya 10,26 persen.
Jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan dengan hasil pembahasan RUU Kumulatif Terbuka dengan jumlah sebanyak 111 RUU. Data ini menunjukkan DPR belum mengerti arti prioritas dalam Prolegnas, karena RUU dalam Prolegnas Prioritas seharusnya lebih banyak dibahas dan disetujui ketimbang RUU Kumulatif terbuka.
Melihat produktivitas DPR per tahun, mereka tidak pernah bisa melampaui 10 RUU prioritas. Pada tahun 2020, DPR hanya mampu menghasilkan 3 UU, 2021 sebanyak 8 UU, 2022 meningkat jadi 9 UU, 2023 menurun lagi menjadi 3 UU, dan 2024 hanya 4 RUU saja.
“Pencapaian 27 RUU Prioritas ini [seolah] mampu diselamatkan oleh bejibunnya RUU Kumulatif Terbuka yang turut disahkan sepanjang tahun 2020-2024,” ucap Lucius.
Performa legislasi ini dinilai Formappi sangat rendah jika disandingkan ragam fasilitas yang diberikan kepada DPR. Jika daftar Prolegnas prioritas menjadi ekspresi politik legislasi DPR sebagai wakil rakyat, capaian 10,26 persen kinerja selama lima tahun seakan membuktikan betapa minimnya kepedulian DPR terhadap rakyat yang seharusnya mereka wakili.
Bahkan, kata Lucius, sejumlah RUU yang disahkan terasa lebih berpihak pada kepentingan penguasa dan pengusaha ketimbang untuk urusan masyarakat luas. Beberapa produk UU yang secara prosedural minim partisipatif dan secara substansial lebih berpihak terhadap elite ketimbang rakyat misalnya: UU Cipta Kerja, UU IKN, UU Minerba hingga UU DKJ.
Sejumlah perombakan UU kontroversial juga secara mendadak diinisiasi dan terus dibahas di penghujung masa bakti DPR: seperti revisi UU TNI, revisi UU Polri, revisi UU Kementerian Negara, dan revisi UU Wantimpres.
Keempat RUU di atas, kata Lucius, seharusnya menjadi bagian dari politik legislasi dan oleh karenanya dapat masuk sebagai bagian Prolegnas. Namun, karena keempat RUU tersebut ingin diubah sesuai kepentingan elite, justru masuk dalam daftar RUU Kumulatif Terbuka.
Strategi ini jadi pilihan agar proses pembahasan tak harus dilakukan ketat mengikuti proses pembentukan legislasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Belakangan, RUU Wantimpres dan RUU Kementerian Negara sudah berhasil disahkan secara kilat.
“Katakanlah keempat RUU ini hanya diubah secara terbatas, karena itu bisa langsung saja pada pasal yang ingin diubah. Padahal satu pasal yang ingin diubah menjadi jantung UU tersebut,” ungkap Lucius.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menilai kinerja legislasi DPR periode 2019-2024 bukan saja minim dari sisi kuantitas, tapi juga rendah dari sisi kualitas. Misalnya dari sisi perencanaan, proses legislasi tidak berjalan sesuai dengan perencanaan dalam Prolegnas.
“Sebagai contoh, baru-baru ini DPR dan Presiden menetapkan Revisi UU Kementerian, UU Wantimpres, dan UU Keimigrasian, padahal ketika UU tersebut tidak termasuk di dalam Prolegnas Prioritas 2024,” kata Yance kepada reporter Tirto, Senin.
Selain itu, dari sisi partisipasi juga terlihat sejak awal bahwa proses legislasi terjadi dengan mengabaikan partisipasi publik. Praktik ini disebut dengan legislasi ugal-ugalan (abusive legislation). Kekacauan ini ditandai dengan empat hal: (1) proses legislasi yang singkat; (2) proses minus partisipasi publik; (3) melemahkan lembaga pengawas dan pengawasan publik; serta (4) memperbesar kekuasaan eksekutif.
Penyusunan legislasi demikian sudah menyalahi ketentuan partisipasi publik dalam Pasal 96 pada UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pembentuk undang-undang juga melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal partisipasi publik bermakna yang telah diadopsi dalam UU Nomor 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Yance menegaskan, perlu ada pembenahan mendasar proses legislasi ke depan. Utamanya, mengatur ulang proses penyusunan Prolegnas. Selama ini, kata Yance, Prolegnas berisi daftar judul undang-undang yang akan dibuat, baik dalam jangka lima tahun atau prioritas tahunan.
Padahal, Prolegnas seharusnya berisi suatu kajian komprehensif mengenai undang-undang yang perlu dibuat, perlu diubah atau diganti, serta mengapa hal tersebut harus dilakukan DPR. Selain itu, Yance menilai, perlu ada alat kelengkapan DPR yang khusus mengelola partisipasi publik.
“Jadi unit ini yang akan menjadi tempat di mana publik menyampaikan aspirasinya, serta mendapatkan jawaban atas aspirasi yang disampaikannya,” ungkap Yance.
Harapan Periode Selanjutnya
Formappi mencatat, DPR periode 2024-2029 yang dilantik hari ini, 1 Oktober 2024, juga tak lepas dari sejumlah catatan. Formappi menemukan, ada sekitar 79 caleg terpilih yang punya kekerabatan dengan caleg terpilih lain atau pun dengan pejabat atau mantan pejabat pusat, elite parpol, hingga pejabat daerah.
Selain itu, Lucius Karus menemukan ada sebanyak 23 Caleg berlatar belakang artis. Hal ini menunjukkan popularitas masih jadi senjata dalam menggaet suara pada saat pemilu. Bagi partai, kata dia, keberadaan artis juga jadi andalan sehingga mereka ditempatkan di nomor urut sakti (1-3).
“Tak ada artis yang lolos dari nomor urut yang lebih besar dari nomor 3,” ujar Lucius.
Lucius memandang, DPR anyar nampak tak akan banyak berubah dari periode 2019-2024. Jumlah kursi di DPR menunjukkan tidak adanya parpol dominan. Hal tersebut membuka peluang terjadinya banyak negosiasi, kompromi, hingga kongkalingkong.
Data tersebut juga membuka jalan bagi kekuasaan koalisi gemuk pemerintah mendatang. Jika Presiden terpilih menjadi pemimpin koalisi, maka situasi DPR 2019-2024 terulang lagi.
“DPR hanya akan jadi ‘stempel’ saja,” sambung Lucius.
Diberitakan sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani, memamerkan kinerja parlemen periode 2019-2024 di bawah kepemimpinannya sudah berhasil mengesahkan 255 RUU menjadi undang-undang. Puan merinci 255 RUU itu terdiri dari 48 Rancangan Undang-Undang dari daftar Prolegnas 2019-2024, 177 Rancangan Undang-Undang kumulatif terbuka, dan terdapat 5 Rancangan Undang-Undang yang tidak dilanjutkan pembahasannya.
Puan menyadari bahwa DPR dalam membentuk produk UU, mendapat berbagai perspektif, kepentingan, keberpihakan, dan dampak yang harus diperhatikan. Maka, tambah dia, pembentukan undang-undang juga membutuhkan political will (kemauan politik) yang kuat dari sejumlah pihak, fraksi-fraksi di DPR RI, dan pemerintah.
Ia mengatakan kemauan politik itu perlu agar mencapai titik temu substansi undang-undang yang sungguh-sungguh bagi kepentingan negara dan rakyat Indonesia.
"Ke depan, haruslah menjadi evaluasi kita bersama dalam menetapkan prioritas Prolegnas yang selektif sehingga dapat diselesaikan dalam masa periode kerja 5 tahunan DPR RI," kata Puan pada rapat paripurna terakhir di Gedung DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/9/2024).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky