tirto.id - Nama Veronica Koman melambung bersamaan dengan munculnya aksi-aksi anti rasisme terhadap orang Papua sejak Agustus 2019. Ia adalah pengacara HAM yang banyak bicara soal isu Papua, dari mulai kekerasan aparat hingga aspirasi untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Pemerintah dan aparat Indonesia kerap 'menyerangnya'. Salah satunya adalah Menkopolhukam Mahfud MD. Di Istana Kepresidenan, 12 Februari lalu, Mahfud bilang "Veronica Koman itu adalah seorang yang selalu menjelek-jelekkan Indonesia dan anti-Indonesia, selalu Papua."
Mahfud lantas mengatakan kalau Vero "adalah seorang pengingkar janji terhadap pemerintah RI" sebab "dia bersekolah, mendapat beasiswa dari Indonesia, dan tidak kembali. Artinya dia secara hukum dia punya utang terhadap Indonesia meskipun bentuknya beasiswa. Dia punya kontrak di sini," tambahnya.
Ia menerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk kuliah di Master of Laws di Australian National University pada 2016.
Tudingan-tudingan ini dilontarkan setelah Presiden Joko Widodo bertandang ke Australia. Ketika itu Vero mengaku timnya menyerahkan dokumen berisi data tahanan politik Papua yang tersebar di tujuh kota.
Dokumen tersebut juga berisi nama-nama korban sipil yang meninggal sejak operasi militer di Nduga, Desember 2018. Harapannya, dengan dokumen itu, Jokowi dapat membebaskan para tapol dan menghentikan operasi militer di Papua.
Terkait dokumen ini, komentar Mahfud tak kalah sinis. Dokumen itu dianggap sampah. Ia mengatakan sangat banyak orang yang menyurati presiden. "Rakyat biasa juga mengirim surat ke presiden," katanya. Ia menambahkan, "jadi kalau memang ada, sampah ajalah kalau kayak gitu."
Serangan Finansial
Enam bulan kemudian, giliran LPDP yang meminta Vero mengembalikan dana beasiswa yang diterima empat tahun lalu. Direktur Utama LPDP Rionald Silaban mengatakan institusinya meminta Vero mengembalikan dana beasiswa sejumlah Rp773,8 juta karena yang bersangkutan telah menyalahi kontrak.
"Standar kontrak di LPDP, penerima beasiswa ke luar negeri itu mereka harus kembali dan mengabdi ke Indonesia 2n (dua kali masa studi) plus 1 [tahun]," kata dia saat dikonfirmasi reporter Tirto, Rabu (12/8/2020). Vero berkuliah dua tahun, oleh karena itu dia wajib mengabdi di sini lima tahun. "Nah dia kalau enggak kembali harus bayar dong."
Rionald mengklaim LPDP tengah menindak empat kasus, termasuk Vero. Rionald mengatakan penagihan yang dilakukan kepada Vero sesuai standar operasional prosedur, terlepas dari ia seorang pegiat HAM.
Vero membantah tudingan mengabaikan kewajiban mengabdi tersebut. Dalam pernyataan tertulisnya, ia mengatakan kembali ke Indonesia pada September 2018 setelah menyelesaikan studi. Pada Oktober, ia mengabdi di Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia untuk Papua (PAHAM Papua) yang berbasis di Jayapura.
Ia kemudian ke Swiss untuk melakukan advokasi Papua di PBB pada Maret 2019 dan kembali ke Indonesia setelahnya.
"Saya memberikan bantuan hukum pro bono kepada para aktivis Papua pada tiga kasus pengadilan yang berbeda di Timika sejak April hingga Mei," kata dia.
Terkait waktu lima tahun, menurutnya, LPDP telah mengabaikan fakta bahwa dia ingin kembali bila tidak ada lagi ancaman yang membahayakan keselamatan.
Di sini ia merasa dikriminalisasi. Ia ditetapkan tersangka oleh polisi pada 4 September 2019 karena dua cuitannya dianggap hoaks dan memprovokasi kerusuhan terkait aksi anti rasisme yang terjadi karena penyerangan para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus.
Editor: Gilang Ramadhan