tirto.id - Setelah Raja Richard I mangkat pada tahun 1199, adiknya yang bernama John II, meneruskan takhta Kerajaan Inggris dengan warisan imperialisme yang cukup mentereng di Eropa. Kondisi ekonomi cukup baik dan daerah kekuasaannya luas. Tidak hanya mencakup Britania Raya, tapi juga sampai Irlandia dan Prancis bagian barat. Kedudukannya dalam panggung politik regional cukup diperhitungkan. Namun, John II gagal menjaga warisan besar itu.
Sembilan tahun usai John II didaulat menjadi raja, Raja Prancis Philip Augustus menyerang Normandia yang dikuasai Inggris. Serangan terhadap wilayah Inggris itu tak dihiraukan oleh John II. Alih-alih memerintahkan untuk memperkuat pertahanan, John II malah meninggalkan pasukannya di kawasan Normandia dan kembali ke Inggris. Pasukannya bertempur tanpa komandan dan kewalahan. Pasukan Raja Philip pun akhirnya menguasai kembali Normandia setelah beberapa tahun dikuasai Inggris.
Peristiwa ini membuat masyarakat khususnya kaum bangsawan mulai tidak simpati kepada raja. Mereka menyayangkan sikap raja yang abai. Padahal secara ekonomis, Normandia adalah wilayah yang sangat menguntungkan bagi Inggris.
Menurut sejarawan Inggris, Marc Morris, dalam tulisannya di laman Telegraph, sikap raja yang tak acuh terhadap Normandia disebabkan tidak mempunyai kemampuan bela diri sekaligus tidak memiliki keberanian yang besar.
Setelah diserbu gelombang protes, John II akhirnya memutuskan untuk merebut kembali Normandia. Namun, upaya pengambilalihan wilayah itu tidak semudah yang dibayangkan. Faktor utama yang jadi penghambat adalah masalah ekonomi. Kas Inggris defisit.
Untuk menambal kekurangan itu, John II membuat sejumlah peraturan: menaikkan pajak tahunan, membebankan biaya ahli waris yang besar untuk para bangsawan, dan melaksanakan denda hukuman yang besar. Peraturan tersebut diterapkan tanpa pandang bulu.
Pihak kerajaan tak segan mengancam dan melakukan tindakan represif lainnya seperti menghukum dan mengambil paksa harta, apabila masyarakat tidak mau membayar. Sikap John II tidak terlepas dari feodalisme absolut yang saat itu menyelimuti Kerajaan Inggris.
Berdasarkan hak feodal yang dimilikinya, John II memiliki landasan untuk menarik uang dari rakyat meskipun tindakannya eksploitatif dan memberatkan. Kondisi ini membuat masyarakat khususnya bangsawan kelas baron kesal, tetapi tidak mampu berbuat apa-apa.
Pada tahun 1205 hingga 1213, John II berselisih dengan pemimpin tinggi Katolik, Paus Innensius III. Akar perselisihan adalah saat keduanya mengajukan kandidat Uskup Agung Canterbury yang posisinya kosong sepeninggal uskup lama. Paus mengajukan Stephen Langton, kardinal kepercayaannya, tujuannya untuk memperluas pengaruh Paus di Inggris.
Mengetahui maksud tersembunyi Paus, John II tidak mau kalah. Apalagi ia tahu bahwa Langton dekat secara personal dengan musuh bebuyutannya, Prancis. Ia mengusulkan John de Gray, salah seorang uskup Inggris sekaligus orang kepercayaan John II sebagai kandidat—meskipun pengajuan ini dinilai bertentangan dengan hukum—untuk melawan motif terselubung Paus juga untuk menaikkan citra raja.
Keduanya sama-sama bersikeras mempertahankan kandidat masing-masing. Puncaknya terjadi pada tahun 1208 ketika Paus mengancam akan mengucilkan Inggris dari kancah keagamaan dan politik jika menolak Langton sebagai Uskup Agung, serta melarang kegiatan keagamaan di seluruh Inggris.
Tidak terima atas perlakuan Paus, Raja John II marah besar. Ia mengarahkan amukannya kepada seluruh pendeta di Inggris dengan menyita tanah, menyetop bantuan finansial, dan menghapus kebijakan perlindungan kepada pendeta.
Kemarahan ini semakin menunjukkan sikap raja yang bertindak sewenang-wenang dan mencerminkan sifat emosional dalam pengambilan kebijakan. Akibatnya, musuh raja bertambah satu yakni para pemuka agama. Dan dampak terbesarnya adalah kian merosotnya citra raja di mata masyarakat.
Memasuki tahun 1213, sikap raja berubah. Ia mengizinkan Langton menjadi Uskup Agung Canterbury. John II mencari dukungan Paus dalam rangka Perang Prancis-Inggris (1213-1214) yang salah satu tujuannya ialah merebut kembali Normandia. Upaya John II berkaitan dengan posisi Paus yang sakral sekaligus mempunyai kuasa untuk mengatur hubungan antar-kerajaan di Eropa barat.
Setelah berperang selama setahun, Inggris kembali menelan kekalahan. Pamor John II pun kian merosot tajam. Rakyat khususnya kelas baron marah besar. Uang para baron yang dipinta paksa selama hampir satu dedake tidak menghasilkan apapun. Dari sinilah kemudian timbul perlawanan terhadap raja yang dilakukan para bangsawan yang sudah muak.
Meruntuhkan Dominasi Raja
Para baron yang dipimpin Robert Fitzwalter berkonsolidasi untuk melawan raja pada akhir tahun 1214. Mereka memandang raja telah melanggar Piagam Kebebasan yang dibuat oleh Henry I pada tahun 1100. Piagam tersebut mengharuskan raja untuk tunduk pada aturan dan melarang bertindak sewenang-wenang.
Mula-mula mereka menuntut raja agar tunduk pada Piagam Kebebasan. Namun, John II bergeming. Para baron kemudian meminta Paus Inensius III agar menekan raja. Lagi-lagi, cara ini tidak berhasil. Setelah jalan negosiasi tidak mencapai kata sepakat, mereka akhirnya mengonsolidasikan kekuatan militer. Mereka membentuk pasukan, merancang serangan untuk menguasai London, dan menyusun draf piagam kebebasan baru untuk ditandatangani John II.
Pada April-Juni 1215, para baron merangsek masuk menguasai London dan berhasil mengepung istana raja. John II ketakutan. Nasibnya di ujung tanduk. Ia tidak memiliki opsi selain menemui dan memenuhi tuntutan para baron. Akhirnya, di pinggir Sungai Thames, raja menemui para baron. Ia dipaksa untuk menandatangani draf piagam kebebasan baru. Meski awalnya menolak, Raja John II akhirnya menandatangi draf itu pada 15 Juni 1215, tepat hari ini 806 tahun silam.
Draf yang kelak dikenal sebagai Magna Carta itu berupaya membatasi kewenangan dan absolutisme raja. Raja dilarang bertindak sewenang-wenang, harus tunduk kepada hukum negara, menghormati hak-hak setiap individu, dan menjunjung tinggi kemuliaan gereja.
Setelah ditandantangani, raja mengadukan hal ini kepada Paus. Menurutnya, aturan ini harus dicabut karena dibuat secara paksa untuk memangkas otoritasnya. Karena kedekatannya dengan Paus, pemimpin tinggi Katolik itu mengeluarkan piagam kepausan yang mengharuskan Magna Carta dihapus karena ilegal, tidak adil, dan berbahaya bagi kelangsungan hidup kerajaan dan rakyat Inggris.
Pernyataan Paus ini memantik kembali amarah para baron yang sebelumnya telah sepakat untuk berdamai dengan raja. Kemudian pemberontakan kembali terjadi hingga John II meninggal pada tahun 1216. Situasi mereda ketika penerus John II, yakni Henry III memutuskan untuk menerima piagam Magna Carta pada tahun 1225.
Magna Carta dipandang sebagai salah satu tonggak awal hak asasi manusia. Piagam ini memangkas absolutisme penguasa dan menjadi peletak dasar demokrasi, khususnya di Inggris. Ratusan tahun kemudian, Magna Carta menjadi inspirasi bagi negara lain untuk membuat aturan anti-absolutisme penguasa, seperti American Bill of Rights (1689) dan Déclaration des Droits de l'Homme et du Citoyen (1789).
Editor: Irfan Teguh