tirto.id - Pada perayaan Natal pagi hari tahun 800 Masehi, Paus Leo III meletakkan mahkota kekaisaran Romawi di atas kepala seorang Raja Jermanik bernama Karl. Raja yang berusia 26 tahun, yang belakangan dikenal dengan nama Charles the Great atau Karolus Magnus atau Charlemagne itu, mengolah rancangan bentuk dasar bagi seluruh daratan Eropa pada masa-masa setelahnya. Di berbagai belahan Eropa, sejumlah pihak yang berkepentingan ikut mendukung penobatan raja.
Imajinasi Charlemagne yang liar kemudian menuntunnya dalam usaha menaklukkan seluruh daratan Eropa lewat perang dan diplomasi yang sangat terencana. Keahlian diplomasi yang sangat baik itu juga berperan dalam kemitraannya dengan Paus untuk menyatukan Eropa di bawah kekuasaannya. Ia meredam ambisi Ratu Irene dari Bizantium, memberi ruang bagi komunitas Yahudi, dan membina hubungan baik dengan seorang Khilafah Islam yang sangat berpengaruh. Langkah-langkah strategis ini menjadi inspirasi bagi para pemimpin modern seperti Napoleon dan Hitler dalam usaha menaklukkan seluruh daratan Eropa dan menguasai dunia.
Di sepanjang abad ke-8 Masehi, sebagian besar wilayah Eropa adalah daratan yang luas dan gelap. Wilayah itu dipenuhi begitu banyak hutan rimba. Keadaan geografis yang demikian, membuat Charlemagne memulai peradaban dengan sebuah kerajaan Jermanik kecil yang ia kembangkan dengan bendera Kristen. Ia mengklaim bahwa kekuasaannya adalah daulat resmi yang diberikan Tuhan dalam nama Kristus. Klaim ini didukung oleh para penyair kerajaan yang semakin memantapkan statusnya sebagai wakil Tuhan di dunia.
Dalam waktu singkat, ia mendominasi medan-medan pertempuran fisik dan meja-meja perundingan. Satu persatu kerajaan kecil di sekitarnya mulai tunduk dan mengakui Charlemagne. Beberapa dari mereka adalah Aquitaine di Prancis Selatan, Lombardy di Italia Utara, Bayern, Britania, dan Sachsen. Di sisi lain, Paus mengandalkan Charlemagne untuk menjadi pelindung, sementara orang-orang Pagan menyerah dan tunduk pada otoritasnya dengan membayar upeti. Seiring waktu, semakin banyak pihak yang menghormatinya. Ia pun dianggap sebagai raja yang baik.
Menurut Jeff Sypeck dalam Becoming Charlemagne: Europe, Baghdad, and the Empires of A.D. 800 (2006:xiv), kejayaan Charlemagne sejak tahun 800 Masehi merupakan landasan paling penting dan menentukan arah sejarah panjang peradaban Imperium Romawi.
“Penobatan di hari Natal itu menandai dimulainya dua belas abad sejarah Eropa. Dimulailah sebuah Kekaisaran Romawi suci yang membentang luas membentuk perbatasan wilayah Eropa dan mengilhami idealisme zaman modern”, tulisnya.
Pada kenyataannya, masa pemerintahan Charlemagne bukan hanya mengawali peradaban Barat melainkan juga menentukan arah interaksi antara dunia Barat dan Timur. Jika Paus, pendeta, dan biarawan Kristen memilih untuk memisahkan diri menjadi Kristen Ortodoks dan Kristen Roma, Charlemagne dengan cerdik menjadi mediator bagi pihak-pihak yang bersengketa.
Keahlian sebagai mediator konflik itu pula yang membuatnya bisa merangkul Khilafah Islam yang sebelumnya sangat menutup diri. Posisi Charlemagne terbilang unik dan berbeda dengan raja-raja penguasa di zaman itu yang punya tipikal brutal, kejam, dan cenderung menyelesaikan semua konflik hanya dengan jalan peperangan terbuka.
Di era kekuasaannya, Charlemagne membuat banyak perubahan mendasar dalam pemerintahan kerajaan. Soal agama Kristen, misalnya, ia memberikan ruang sebesar-besarnya bagi pengembangan struktur organisasi. Ia membuat standarisasi liturgi, menjamin peran gereja dalam politik, dan melindungi gereja dari berbagai ancaman termasuk dari orang-orang Pagan.
Perhatiannya terhadap pengembangan keilmuan juga terlihat dari begitu besarnya dukungan untuk memproduksi buku-buku seni, literatur, dan arsitektur. Juga pembangunan perpustakaan besar yang konon menjadi sumber utama penyedia informasi mengenai bahasa dan keimanan Kristen di antero Eropa.
Meski demikian, pada tiga dekade pertama kekuasaannya, Charlemagne juga fokus terhadap pengembangan kekuatan perang kerajaan. Ada beberapa aspek yang perlu ia pertimbangkan seperti menjaga wilayah kekuasaan dari serbuan pihak asing yang di luar dugaan, berjaga-jaga terhadap perubahan konstelasi politik yang bisa terjadi kapan saja, serta ambisinya untuk menyebarkan ajaran Kristen ke seluruh dunia.
Salah satu peperangan terberat yang dialaminya adalah ketika melawan bangsa Saxon. Ensiklopedia Britannica mencatat peperangan ini menghasilkan banyak peristiwa besar dalam dunia militer Romawi. Upaya penaklukan wilayah antara sungai Rhine dan Elbe bahkan menyebabkan pembunuhan massal dan kekejaman lain yang didorong oleh keputusan memaksakan agama Kristen.
Kombinasi kekuatan militer yang hebat dan keahlian diplomasi yang hampir sempurna terus menerus memberi catatan sukses Charlemagne. Ia berhasil membangun relasi yang stabil dengan beberapa musuh potensial seperti Denmark, suku Slavia, dan Muslim Spanyol. Khusus untuk urusan dengan orang-orang Muslim, Charlemagne menjalin persahabatan dengan Khalifah Abbasid di Baghdad (Harun al-Rashid).
Diplomasi memang sempat beberapa kali diusahakan dengan dunia Islam, terutama dengan komunitas Islam yang berekspansi ke Spanyol. Sebelum Charlemagne berkuasa, pada tahun 765 Masehi Raja Pippin sempat mengirim perwakilan diplomasi ke Baghdad. Setelah itu, pada tahun 768 Masehi, Saracen seorang utusan orang-orang Muslim di Spanyol melakukan kunjungan ke Aquitaine.
Sejarawan Henri Pirenne dalam Mohammed and Charlemagne (1959:160) menceritakan kunjungan-kunjungan diplomatik itu.
“Pada 788, Pippin menerima utusan dari Saracen Spanyol di Aquitaine yang datang melalui Marseilles. Pada 810, Harun al-Rashid mengirim utusan untuk menemui Charlemagne. Akhirnya pada 812 Charlemagne menandatangani sebuah perjanjian damai dengan El-Hakem Spanyol”, tulisnya.
Pada 28 Januari 814, tepat hari ini 1207 tahun silam, Charlemagne sakit demam setelah mandi air hangat di tempat favoritnya di Aachen. Dan seminggu kemudian ia meninggal dunia. Pada 840-an, cucunya, sejarawan Nithard, mengakui bahwa pada akhir hidupnya raja yang agung itu telah membuat seluruh Eropa dipenuhi segala kebaikan.
Sementara sejarawan modern membuat analisis yang lebih lengkap terhadap pernyataan positif tersebut. Sejumlah analisis mengangkat sisi gelap Charlemagne di luar jasa-jasanya terhadap peradaban Eropa. Beberapa menganggap terdapat kekurangan besar dalam hal politik internal di pemerintahannya. Keterbatasan pasukan militernya dalam menghadapi ancaman baru dari musuh pelaut, serta kegagalan reformasi agamanya untuk mempengaruhi massa besar umat Kristen, juga merupakan nilai negatif. Selain itu, tradisionalisme sempit dan bias budaya dalam berbagai kebijakannya juga menjadi faktor penghambat.
Upaya Charlemagne dalam menyesuaikan idealisme tradisi bangsa Frank tentang kepemimpinan dan kebijakan publik dengan pola interaksi masyarakat baru pada masa itu, menjadi tonggak penting dalam sejarah Eropa. Satu hal yang membuatnya dijuluki “Pater Europae”, The Father of Europe.
Bagaimanapun juga, masa kekuasaan Charlemagne diakui sebagai tonggak penting dimulainya sebuah era yang dikenal dengan Abad Pertengahan. Masa ini memiliki ciri khas penting berupa persekutuan yang akrab antara negara dengan agama. Di antara kedua pihak terjalin sebuah relasi saling memengaruhi dan tidak terpisahkan hampir dalam seluruh kebijakan. Persekutuan itu tampil dengan begitu akrabnya hubungan raja dengan gereja. Hal ini memperkuat struktur organisasi dan praktik liturgi yang akhirnya merangkul sebagian besar Eropa menjadi satu "Gereja".
Pembaruannya atas kekaisaran Romawi Barat menjadi landasan ideologis bagi Eropa yang bersatu secara politik. Di luar itu, gagasan politiknya memberi semacam standar baru yang menginspirasi para pemimpin di masa-masa setelahnya, hingga timbul pula gagasan mengenai Uni-Eropa di masa modern.
Editor: Irfan Teguh