tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan bahwa Komisi Eropa tengah mengusulkan penundaan implementasi kebijakan Peraturan Deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) selama satu tahun. Akan tetapi, pemerintah lebih memperhatikan pelaksanaan kebijakan EUDR daripada penundaan kebijakan tersebut.
“Bagi Indonesia yang paling penting adalah implementing regulation-nya apa, bukan cuman ditunda saja,” katanya kepada awak media, usai Konferensi Pers Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) OECD, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (3/9/2024).
Airlangga mengungkapkan, ada beberapa aturan dalam Undang-Undang EUDR yang memberatkan beberapa negara, termasuk Indonesia dan Malaysia yang merupakan penghasil sawit terbesar di dunia. Salah satu aturan yang memberatkan tersebut adalah Uni Eropa dapat melacak perjalanan produk komoditas perusahaan-perusahaan yang melakukan impor maupun ekspor dari dan/atau ke Eropa.
Hal ini dimaksudkan sebagai jaminan dan transparansi pada rantai pasok global, untuk mengatasi dan mengurangi dampak lingkungan akibat deforestasi.
“Ada beberapa yang kita memang keberatan terkait dengan geolocation, karena mereka ingin bahasa anak mudanya shareloc semua hasil. Padahal Indonesia yang wilayah deforestasi dan wilayah kebun itu sudah jelas diatur,” sambung Airlangga.
Airlangga menambahkan, Indonesia sudah memiliki dashboard nasional terkait wilayah deforestasi hutan dan kebun.
Selain itu, untuk mendukung keberlanjutan dan komitmen Indonesia terhadap pengurangan deforestasi, pemerintah juga telah mewajibkan produsen sawit dan produk dari sawit yang selama ini jadi sorotan dunia sebagai penyumbang deforestasi terbesar untuk memenuhi persyaratan tertentu. Adapun standar yang telah ditetapkan pemerintah adalah dengan menyertakan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), sementara Malaysia menggunakan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO), dan Eropa memiliki Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
“Kami hanya meminta mereka, suruh ngecek ke kita punya dashboard nasional saja. Tapi mereka ingin dapat sampai detail geolocation, kalau itu kan kita baca secara security,” ujar dia.
Dengan aturan ini, Airlangga khawatir EUDR justru dapat menimbulkan masalah keamanan bagi Indonesia.
Di sisi lain, mantan Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) itu juga merasa keberatan terhadap pemeringkatan negara terkait tingkat deforestasi yang ditentukan oleh Uni Eropa. Hal ini jelas dapat menimbulkan ketidakadilan bagi negara-negara di dunia karena Uni Eropa bukan merupakan perusahaan pemeringkat (rating agency).
“Kalau undang-undangnya tidak diubah, itu sama aja mereka stand still. Kami tidak ingin negara itu, mereka yang tentukan, ini negara yang risiko. Karena kalau bicara risiko mengenai komoditas kehutanan kan tidak ber-impact hanya komoditas kehutanan, tetapi keseluruhan ekosistem daripada perdagangan,” jelas Airlangga.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Andrian Pratama Taher