tirto.id - Masih ingat Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie dan Pergolakan Pemikiran Islam karya Ahmad Wahib? Dua buku ini sama dalam tiga hal. Pertama, para penulis adalah (mantan) aktivis mahasiswa. Kedua, diangkat dari catatan harian. Ketiga, diterbitkan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Pada era 70-an sampai awal 90-an, bendera LP3ES berkibar kencang di lingkungan aktivis dan akademis. Namanya harum sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) berwibawa, yang membawa suara alternatif dari hegemoni negara Orde Baru.
Orang yang menjabat direktur pertama LP3ES adalah Nono Anwar Makarim. Penunjukkannya tak bisa dilepaskan dari lomba penulisan esai yang dihelat LSM Jerman, Friedrich Naumann Stiftung (FNS), di Indonesia. Setelah meraih juara pertama lomba bertema “Persepsi Indonesia tentang Kemerdekaan” tersebut, Nono diundang jalan-jalan ke Jerman selama dua pekan.
Bukan hanya itu. Ayah Mendikbud Nadiem Makarim ini diminta Kepala FNS di Jakarta, Dr Dietrich G Wilke, menjadi direktur lembaga baru yang dibentuk FNS bersama Perhimpunan Indonesia untuk Pembinaan Pengetahuan Ekonomi dan Sosial (Bineksos).
Saat diminta menjadi direktur, Nono adalah Pemimpin Redaksi Harian KAMI. Usianya menjelang 32 tahun, berstatus mahasiswa Fakultas Hukum UI dan baru mundur dari DPR-Gotong Royong (DPR-GR). Ia masuk DPR-GR dari golongan mahasiswa pada 1967-1971. Sebagai anggota parlemen, dalam “LP3ES Pernah Berfungsi Sebagai Mercu Suar” yang dimuat dalam LP3ES: Kenangan 35 Tahun, Nono mengaku berpenghasilan Rp36 ribu sebulan. Sebagai Pemimpin Redaksi Harian KAMI? Cuma Rp8 ribu.
Pendiri Bineksos adalah para tokoh senior seperti Sumitro Djojohadikusumo, Selo Sumardjan, Emil Salim, dan Suhadi Mangkusuwondo. Selain mereka, ada juga sosok yang lebih muda seperti Juwono Sudarsono dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.
“Untuk jaga gengsi, saya bilang mau pikir-pikir dulu. Keesokan harinya saya terima tawaran FNS itu. Gaji Rp250 ribu sebulan, punya mobil baru dan punya sopir,” kenang Nono yang setelah lulus PhD dari Harvard University lalu mendirikan firma hukum.
Lembaga baru tersebut adalah LP3ES, yang resmi berdiri pada 19 Agustus 1971, persis 51 tahun silam.
LP3ES diplot menjadi badan pelaksana konsep-konsep yang disusun Bineksos. FNS membantu soal pembiayaan. LSM Jerman yang dekat dengan Partai Demokrat Liberal itu sepakat membiayai LP3ES selama 10 tahun pertama dan menjadi donor tunggal.
Prisma Meluncur
Tiga bulan kemudian, November 1971, muncul jurnal Prisma yang kelak menjadi etalase terdepan LP3ES, selain buku-buku terbitannya, di hadapan publik. Bersama Nono, figur penting lain di LP3ES pada tiga tahun pertama adalah Ismid Hadad, yang diserahi amanat memimpin jurnal Prisma. Sebelumnya Ismid juga bekerja di Harian KAMI sebagai redaktur pelaksana.
“Karena sejak awal yang mengurus LP3ES praktis hanya Nono Anwar Makarim dan saya yang berlatar belakang komunikasi, obsesi ketika itu tentu soal program penerbitan,” tulis Ismid dalam esai “Masa Awal Bersama LP3ES” yang dimuat dalam LP3ES: Kenangan 35 Tahun.
Setelah penerbitan, baru dirintis program-program pelatihan bagi mahasiswa tingkat akhir atau sarjana yang baru lulus tentang metode riset. Kemudian digelar program radio kaum muda, pers daerah, pendampingan industri kecil, dan pengembangan masyarakat melalui pesantren.
Dalam program-program itu, asumsi teori modernisasi tentang pentingnya agent of development coba diterapkan. Dalam program pengembangan masyarakat melalui pesantren, pesantren diharapkan menjadi agent of development, masyarakat sekitar menjadi target yang dibayangkan. Sampai awal 1980-an, program ini berlangsung cukup sukses. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang baru pulang belajar di Mesir dan Irak, sempat terlibat.
Kelompok sasaran LP3ES adalah kaum muda di rentang usia 15-35 tahun. Menurut Ismid, yang kelak menjadi direktur periode 1976-1980, kelompok ini dipilih dengan kesadaran bahwa mereka berjumlah banyak, ada di bagian bawah piramida kependudukan, yang menuntut tersedianya pendidikan dan lapangan kerja yang lebih banyak.
“Sampai dengan 1980, ketika saya meninggalkan LP3ES, program penerbitan sudah dalam posisi mampu memberi subsidi pada program-program lain. Komponen utamanya jelas penerbitan, usaha yang memberi sumbangan pada kegiatan lain, berupa buku dan jurnal Prisma,” lanjut Ismid yang kelak juga sempat mengelola LSM lingkungan.
Terlihat membawa Prisma merupakan kebanggaan para aktivis mahasiswa pada 1970-an sampai pertengahan 1990-an. Citra keren dan intelek mencuat. Sebab, jurnal bulanan itu menyajikan tulisan-tulisan kritis dan analitis menyangkut persoalan ekonomi dan sosial, termasuk menyajikan amunisi dalam menyikapi ideologi dan praktik pembangunan a la Orde Baru.
Secara umum, para pengasuh Prisma dipercaya berada di “perahu ideologis” yang sama dengan para teknokrat dan militer. Harap diingat, sejumlah pendiri Bineksos seperti Emil Salim dan Suhadi Mangkusuwondo termasuk dalam barisan teknokrat.
Sebagai Aktivis 66, Nono dan Ismid ikut mendirikan Orde Baru. Namun “bulan madu” kelar saat pihak militer semakin kuat menancapkan kuku kekuasaan.
“Gagasan awal mendirikan LP3ES itu adalah menjadikannya wadah alternatif untuk persiapan buat para aktivis melanjutkan perjuangan…Sudah mulai kelihatan tanda-tanda bahwa bulan madu mahasiswa, kesatuan aksi, dan tentara berakhir. Dugaan kita pada waktu itu frekuensi friksi, perbedaan, tidak hanya menyangkut taktik tetapi perbedaan prinsip dan strategi,” ujar Ismid seperti dikutip Daniel Dhakidae dalam Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru.
Waktu terus berjalan. Daftar catatan kritis terhadap proses pembangunan, yang notabene sebagian juga dikelola senior mereka di Bineksos, semakin panjang.
“Dengan model pembangunan seperti itu, unsur manusia atau rakyat kecil yang miskin hanya dihitung seakan-akan sebagai nomor-nomor dalam statistik kependudukan. Seolah hanya sekrup-sekrup dalam mesin besar yang bernama pembangunan. Maka tak mengherankan pula kalau model itu menampilkan pembangunan dengan wajah yang kurang manusiawi,” tulis Ismid dalam esai “Pembangunan: Mengapa Harus Urusan Rakyat Kecil?” dalam Prisma Vol. 4/1975.
Tonggak historis Prisma bukan terkait tema pembangunanisme. Manusia dalam Kemelut Sejarah (Agustus 1977) merupakan edisi Prisma yang paling laris. Dicetak dua kali sebagai jurnal, lalu dibukukan dan tetap diburu. Kabarnya, dalam bentuk jurnal dan buku, total eksemplar yang terjual mencapai 40 ribu.
Edisi tersebut memuat biografi kritis para tokoh seperti Sukarno, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan Jenderal Sudirman. Deretan penulisnya bukan “kaleng-kaleng” – ada Taufik Abdullah, Onghokham, YB Mangunwijaya, Alfian, Mohamad Roem, dan sejumlah nama lain.
Perihal berurusan dengan aparat kekuasaan, pengasuh Prisma pernah pula mengalami. Pada Maret 1983, Departemen Penerangan mengirim surat. Isi surat, kurang lebih, menyatakan Prisma dipakai kaum kiri untuk menyebarluaskan ajaran komunis. Ini terkait pemuatan biografi tokoh-tokoh kiri seperti DN Aidit dan Amir Sjarifuddin.
Satu bulan kemudian, sebagai kelanjutannya, M Dawam Rahardjo (Direktur LP3ES), Ismid Hadad (Pemimpin Redaksi Prisma), dan Daniel Dhakidae (Ketua Sidang Redaksi Prisma) diperiksa Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Dalam format buku, keluaran LP3ES juga menjadi primadona, baik buku teks kuliah maupun buku umum. Dari ranah buku teks, hadir buku legendaris seperti Pengantar Metode Statistik karya Anto Dajan, Metode Penelitian Survei suntingan Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Perhitungan Pendapatan Nasional karya Ace Partadiredja, atau Ilmu Hubungan Internasional karya Mohtar Mas’oed.
Buku umum tak kalah berkilau. Selain Catatan Seorang Demonstran dan Pergolakan Pemikiran Islam, hadir puluhan terbitan LP3ES yang melegenda. Misalnya, terjemahan karya agung Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas. Lalu, gubahan sosiolog Peter L Berger, Piramida Kurban Manusia, dan Kecil itu Indah dari filsuf EF Schumacher.
Dari karya cendekiawan Indonesia, dua sampel terbitan LP3ES yang layak disebut adalah Esei-esei Ekonomi Politik karya Dawam Rahardjo dan Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan karya Ignas Kleden. Keduanya banyak menjadi rujukan para aktivis dan peneliti muda.
Pelarangan Buku
Kontroversi juga merebak ketika dua buku LP3ES ditarik dari peredaran. Pertama, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 karya Yahya Muhaimin. Buku olahan dari disertasi di Massachusetts Institute of Technology (MIT) tersebut diprotes pengusaha Probosutedjo yang merasa nama baiknya dicemarkan dalam salah satu bagian. Ia mengajukan somasi, minta buku ditarik dari peredaran.
Sepanjang Mei 1991 itu terjadi polemik di media massa, bahkan demo mahasiswa yang meminta penulis dan penerbit untuk melawan gugatan tersebut.
Kesepakatan “damai” akhirnya tercapai di antara ketiga pihak. Yaitu, buku ditarik dari pasar. Namun, mengutip tulisan di LP3ES: Kenangan 35 Tahun, buku tersebut sempat dicetak ulang dan terjual 8.000 eksemplar – jumlah yang lumayan bagus untuk karya seserius itu.
Kedua, beberapa bulan setelahnya, Kejaksaan Agung RI melarang peredaran Kapitalisme Semu Asia Tenggara karya ekonom Jepang, Yoshihara Kunio. Buku tersebut dianggap mendiskreditkan presiden karena membandingkan gaya pemerintahan Soeharto dengan diktator Filipina, Ferdinand Marcos.
Sekali lagi, ada kritisisme terhadap kemapanan dalam sepak terjang LP3ES. Seperti diingatkan Tarli Nugroho dalam Sumitro, Dawam, & LP3ES: Sedikit tentang Kajian Pemikiran Ekonomi Indonesia, secara berkelakar, LP3ES sering disebut sebagai kelanjutan “koalisi Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi”-- dua partai yang keras mengkritisi Presiden Sukarno.
Nono adalah menantu petinggi PSI, Hamid Algadri. Ismid adalah kemenakan Hamid Algadri. Sementara, Tawang Alun (pengganti Nono pada 1973) dan Dawam Rahardjo (Direktur LP3ES 1980-1986) dianggap perwakilan sayap Masyumi.
Dawam merupakan salah seorang sahabat Ahmad Wahib. Diskusi-diskusi mereka kerap digelar di rumah Dawam di Yogyakarta. Rangkaian diskusi di sana juga yang “melahirkan” catatan harian Wahib dan semakin melambungkan nama LP3ES.
Editor: Nuran Wibisono