tirto.id - Prabowo Subianto resmi menunjuk Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Salahudin Uno, sebagai cawapresnya di Pilpres 2019. Ia menyatakan penunjukan Sandiaga sudah disetujui tiga partai pendukungnya: Gerindra, PAN, dan PKS.
“Pimpinan dari tiga parpol, Gerindra, PKS, dan PAN, telah memutuskan dan memberi kepercayaan kepada saya, Prabowo Subianto, dan Sandiaga Salahudin Uno, untuk maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden,” kata Prabowo di rumahnya, Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Kamis malam (9/8/), sekitar pukul 23.30 WIB.
“Kami akan memohon kekuatan dari Allah SWT agar kami tak mengecewakan kepercayaan pada kami berdua.”
Menurut Prabowo, proses pemilihan Sandiaga telah melalui tahapan panjang nan melelahkan. Tak lupa, mantan Danjen Kopassus ini menyampaikan terima kasih kepada PAN maupun PKS yang merelakan posisi cawapres.
Petinggi PAN dan PKS angkat bicara sehubungan dengan pemilihan Sandiaga. Presiden PKS, Sohibul Iman, misalnya, menyatakan partainya semula memang berharap (salah satu) kadernya menjadi cawapres Prabowo. Namun, menurutnya, “realitas politik berkata lain.”
“Kami berharap ada wakil kami di capres atau wapres. Tetapi, kan, realitas politik seperti ini. Dari sekian partai tidak bisa tertampung (aspirasi) semuanya,” kata Sohibul di kantor KPU RI, Jakarta, Jumat sore (10/8).
PKS sempat mengajukan sembilan nama kadernya sebagai kandidat cawapres Prabowo. Belakangan, Ketua Majelis Syuro PKS, Salim Segaf, jadi prioritas PKS setelah Ijtima Ulama GNPF merekomendasikan namanya.
Kendati begitu, Sohibul optimistis pemilihan Sandiaga sebagai cawapres tidak akan menggerus elektabilitas Prabowo di Pilpres 2019. Ia menegaskan Sandiaga merupakan pasangan ideal bagi Prabowo. Apalagi, mesin partainya juga telah siap mendukung pasangan ini.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum PAN, Hanafi Rais, mengungkapkan bahwa pemilihan Sandiaga merupakan hasil “kompromi antara partai-partai koalisi pendukung Prabowo.”
“Karena kami juga memahami kalau memang tidak menjadikan Pak Zulkifli Hasan, ya, tentu kemudian mari berkompromi (memilih) siapa. Dan jatuhnya kepada Mas Sandi,” kata Hanafi.
Sandiaga mengklaim bersedia jadi cawapres karena ingin "menghadirkan pemerintahan yang kuat dan fokus untuk kemandirian bangsa."
Menanggalkan Tugas Awal
April 2017, Sandiaga Uno resmi memenangkan Pilkada 2017. Bersama Anies Baswedan, pasangan ini mengalahkan Basuki ‘Ahok’ Purnama dan Djarot Saiful dalam pertarungan dua putaran yang sangat intens dan melelahkan.
Enam bulan berikutnya, Anies-Sandiaga disumpah sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 di Istana Negara oleh Presiden Joko Widodo. Tak lama usai dilantik pada Oktober 2017, Anies-Sandi langsung mencoba merealisasikan janji-janji yang mereka ucapkan selama kampanye.
Beberapa prioritas utama program kerja Anies-Sandi adalah memperbaiki pelayanan publik di bidang pendidikan dengan mengeluarkan Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus. Kemudian, mereka juga berjanji hendak menata ulang fasilitas kesehatan DKI Jakarta lewat program puskesmas keliling, yang berfokus pada penanggulangan dan pencegahan penyakit. Harapannya, program puskesmas keliling dapat meniadakan penumpukan pasien di rumah sakit.
Dua kebijakan lain yang dijanjikan Anies-Sandi adalah pembenahan sistem transportasi massal serta penghentian reklamasi Teluk Jakarta. Pembenahan sistem transportasi massal akan dilakukan dengan pengintegrasian layanan bus dan angkutan kota.
Di ranah ekonomi, Anies-Sandi berjanji menggenjot pendapatan warga melalui OK OCE (One Kecamatan One Center for Enterpreneurship) agar produk-produk ciptaan masyarakat bisa terdistribusi lewat jejaring pemasaran yang lebih baik.
Sayangnya, politik seringkali bukan soal janji kampanye. Belum genap satu tahun menjabat wakil gubernur, Sandi justru meninggalkan jabatan wakil gubernur untuk maju ke ajang kontestasi Pilpres 2019.
“Ini hari terakhir saya di sini (kantor balaikota), dan menggunakan kendaraan dinas ini,” terang Sandiaga, Jumat (10/8) pukul 09.34, setelah turun dari mobil dinasnya, Land Cruiser bernomor B 1764 PQH.
“Saya sedihlah. Saya juga pengennya di sini lebih lama hingga akhir.”
Meniru Jokowi, Mengabaikan Risma
Mundur dari jabatan untuk mengincar posisi yang lebih tinggi tak hanya dilakukan Sandiaga. Orang nomor satu di Indonesia hari ini, Jokowi, juga pernah melakukan hal yang sama. Bahkan, Jokowi melakukannya sejak duduk di kursi walikota Solo.
Pada 2012, Jokowi yang saat itu masih menjabat walikota Solo periode 2010-2015, mengajukan surat pengunduran diri kepada DPRD Solo. Pasalnya, Jokowi memutuskan untuk maju ke ajang Pilkada DKI Jakarta bersama Ahok dengan dukungan PDI Perjuangan dan Gerindra.
Jokowi menegaskan, kesediaannya menerima tawaran PDI-P untuk maju Pilkada DKI Jakarta 2012 karena ia punya niat murni dan menilai perannya kelak di Jakarta adalah satu amanat yang bisa menjangkau lebih luas masalah kesejahteraan banyak orang.
Belum genap dua tahun bekerja di Balaikota Jakarta, Jokowi lagi-lagi memutuskan mundur. Kali ini untuk ikut Pilpres 2014 bersama Jusuf Kalla. Lawannya: Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Di akhir pertarungan, Jokowi-JK berhasil menang dengan perolehan suara 70.997.85 (53,15%), selisih 8.421.389 suara dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang meraih 62.576.444 suara (46,85%).
Kabar majunya Jokowi menggugurkan pernyataannya yang berkali-kali menyatakan bahwa ia hanya ingin memprioritaskan Jakarta, bukan yang lainnya.
"Pokoknya kalau ditanya soal capres, jawaban saya konsisten," ujarnya dilansir Tempo.co. "Saya mau berfokus, enggak mau mikir polling dan survei, maunya mikirin MRT, monorel, macet, dan banjir."
Surat pengunduran diri Jokowi disepakati lima dari sembilan fraksi DPRD DKI Jakarta, yakni PDI Perjuangan, Demokrat-PAN, Nasdem, PKB, dan Hanura. Dengan mundurnya Jokowi, otomatis wakilnya, Ahok, naik jabatan menggantikannya, meski masih berstatus pelaksana tugas (Plt)—sebelum nantinya ditetapkan jadi gubernur oleh Menteri Dalam Negeri.
“Pak Jokowi kalau sudah mundur, sudah enggak ngantor lagi (di Balaikota),” kata Basuki kepada Kompas (10/10/14).
Lewat pidato perpisahannya, Jokowi meminta maaf pada masyarakat DKI Jakarta serta anggota parlemen daerah karena tidak optimal dalam menunaikan tugasnya sebagai gubernur.
“Sejak dilantik 7 Oktober 2012 sampai hari ini, saya ingin garis bawahi keberhasilan dengan segala kendala hingga saat ini adalah kinerja bersama dari hasil pembangunan sebelumnya,” tutur Jokowi pada awal Oktober 2014, sebagaimana diberitakan Liputan6. “Saya minta maaf bila ada tutur kata atau sikap selama jadi gubernur yang tidak berkenan di hati bapak-ibu.”
Sebelum mundur, Jokowi lebih dulu mengajukan cuti dari pekerjaannya sebagai gubernur. Masa cuti Jokowi dimulai sejak 19 Mei 2014 sampai selesainya Pilpres.
Namun, tak semua mengikuti jejak Jokowi atau Sandi yang meninggalkan jabatannya demi posisi yang lebih tinggi. Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, misalnya. Pada gelaran Pilkada DKI 2017, Risma menjadi kandidat kuat PDI-P untuk maju sebagai calon gubernur. Tapi, Risma memilih untuk tetap di Surabaya.
Risma menolak ajakan berlaga di Pilkada Jakarta 2017 karena ia menilai jabatannya di Surabaya adalah amanah masyarakat, sehingga tak bisa diingkari begitu saja apapun alasannya.
"Sampai sekarang keinginan pun tidak ada, kepikiran pun tidak ada. Saya tidak ngomong soal Jakarta karena saya sudah berjanji kepada warga Surabaya," tandasnya.
Kenyataannya, kesempatan serupa tak hanya datang sekali untuk Risma. Sebelum Pilgub Jatim dilaksanakan, Risma kembali menolak ajakan PDI-P untuk maju jadi cawagub mendampingi Saifullah Yusuf. Risma menegaskan ingin tetap fokus menyelesaikan masa tugasnya di Surabaya hingga 2020 dan tak bersedia jika waktunya mengabdi sebagai walikota tersita untuk perkara politik di Pilkada Jawa Timur.
"Mohon maaf, saya terus terang masih ingin di Surabaya, saya tidak ingin berubah, sudah beberapa tahun lalu, saya masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan di Kota Surabaya," katanya kepada wartawan di rumah dinasnya di Jalan Wali Kota Mustajab, Surabaya, Sabtu (6/1/2018).
Memang Tidak Dilarang Undang-Undang, Tapi ...
Tak ada regulasi yang melarang seorang pejabat publik untuk mundur demi jabatan yang lebih tinggi. Hanya saja, bagi kepala daerah yang akan maju menjadi capres-cawapres—dalam hal ini kasus Sandi—harus mengantongi izin dari presiden, sesuai yang termaktub lewat Pasal 171 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
“Izin dari presiden ini merupakan dokumen persyaratan yang harus dipenuhi kepala daerah yang memutuskan mau atau diusung partai politik sebagai calon presiden atau sebagai calon wakil presiden,” kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar, sebagaimana tercantum dalam situs Setkab.
Pasal 171 ayat (3) UU Pemilu menegaskan bahwa, “Surat permintaan izin gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada KPU oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai dokumen persyaratan calon Presiden atau calon Wakil Presiden.”
Bahtiar menyatakan, ketika surat permintaan izin dari kepala daerah sudah masuk, maka tahapan berikutnya ialah proses pengurusan yang menurut UU Pemilu memakan waktu paling lama 15 hari.
“Sesuai ayat (3) Pasal 171, apabila (Presiden) belum memberikan izin, sementara permintaan izin sudah disampaikan, izin dari kepala daerah bersangkutan dianggap sudah diberikan oleh Presiden,” jelas Bahtiar.
Secara undang-undang, loncat jabatan ala Jokowi dan Sandi memang tak bermasalah. Namun, yang jadi soal adalah bagaimana nasib daerah yang ditinggalkannya?
Peneliti LIPI, Latifah Letty Aziz, lewat artikelnya berjudul “Peran Leadership dalam Pembangunan Kota” mengatakan bahwa maju atau tidaknya kota juga ditentukan oleh sikap pemimpin dalam menangani berbagai masalah yang ada. Peran pemimpin dalam pembangunan kota cukuplah krusial. Ia jadi pencetus gagasan, pelaksana ide, sampai jembatan penghubung komunikasi antar pemerintah-masyarakat.
Hal tersebut, catat Latifah, sangat penting mengingat tantangan yang dihadapi perkotaan sangat kompleks, mulai dari perubahan iklim, arus urbanisasi, hingga kesenjangan sosial dan ekonomi. Peran pemimpin dibutuhkan untuk mengatasi segala masalah ini melalui perangkat-perangkatnya. Ia, tegas Latifah, memegang mandat rakyat yang diharapkan bisa mengurai satu per satu kerumitan demi tercapainya tujuan kolektif.
Untuk mencapai itu semua, butuh proses yang tak sebentar. Masalahnya, bagaimana bisa tujuan kolektif yang dibangun pemerintah-masyarakat tercapai apabila pemimpinnya cabut duluan?
Tapi, bukankah para politikus yang lompat jabatan selalu mengatasnamakan kepentingan kolektif yang lebih besar?
Mari kita kembali ke pernyataan Jokowi dan Sandi. Ketika meninggalkan Solo, Jokowi mengatakan bahwa perannya kelak di Jakarta bisa menjangkau lebih luas masalah kesejahteraan banyak orang. Sedangkan bagi Sandi, pilihannya untuk maju sebagai cawapres dilatarbelakangi oleh niatnya "menghadirkan pemerintahan yang kuat dan fokus untuk kemandirian bangsa."
Kedua pernyataan sama-sama memperluas cakupan "kolektif" tersebut. Namun, bagaimana dengan partai?
Nampaknya akar persoalan ini masih sama sejak 2012: partai kekurangan—atau menutup diri dari—kader yang dinilai kompeten dan layak maju di pemilu maupun pilkada. Sebuah fenomena yang juga menyebabkan partai jualan calon yang berada di luar struktur—belakangan sering disebut "kader bangsa"—atau mengalah pada mahar para cukong.
Editor: Windu Jusuf