Menuju konten utama

Pilgub 2018 Bukan Kunci Kemenangan Pilpres 2019

Pilgub dinilai menjadi tempat menguji efektivitas mesin parpol di daerah guna menghadapi Pilpres 2019.

Pilgub 2018 Bukan Kunci Kemenangan Pilpres 2019
Warga menunggu giliran untuk melakukan pencoblosan pada Pilkada Serentak Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur NTB di TPS 015 Lingkungan Peresak Tempit, Kelurahan Ampenan Tengah, Mataram, Rabu (27/6/2018). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi

tirto.id - Pemilihan gubernur (Pilgub) yang digelar 17 provinsi di Indonesia dianggap menjadi ajang pemanasan mesin partai politik menjelang pemilu 2019. Pesta demokrasi lokal yang baru digelar 27 Juni 2018 itu dinilai menjadi tempat menguji efektivitas mesin parpol di daerah, tapi bukan kunci kemenangan di Pilpres 2019.

Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas Hugo Pareira mengatakan ajang pilkada adalah alat bagi parpol menguji kekuatan mesin di daerah. “Karena kehidupan berpolitik ini kan bukan hanya bicara satu event, tetapi berkesinambungan," ujar Andreas kepada Tirto, Selasa (3/7/2018).

Andreas menyebut hasil Pilkada 2018 akan dievaluasi untuk menghadapi Pemilu 2019. Politikus dari Nusa Tenggara Timur (NTT) itu mengklaim seluruh kader dan pengurus PDIP di daerah telah memahami arti Pilkada untuk Pemilu 2019.

Ia mengatakan DPP PDIP selalu menyampaikan pesan kepada kader agar tak larut dalam sebuah situasi politik, seperti Pilkada, dan bergegas menghadapi ajang selanjutnya yakni Pemilu 2019.

“Melalui rapat partai, peraturan, instruksi, maupun komunikasi dialogis selalu disampaikan kepada struktur dan kader. Menang kami syukuri, kalau belum menang kami berjuang lagi,” tutur Andreas.

Pengakuan serupa disampaikan anggota Badan Komunikasi DPP Partai Gerindra Andre Rosiade. Menurutnya, Pilkada 2018 menjadi tempat evaluasi akhir parpol sebelum menghadapi Pemilu 2019. “Kalau dianggap Pilpres itu final, ini [pilkada] semi finalnya,” kata Andre kepada Tirto.

Pada sisi lain, Andre menyebutkan, Pilkada menjadi ajang menguji kesiapan kader di daerah agar hasil positif dapat diraih pada Pemilu 2019. Ia mengklaim, seluruh kader Gerindra di daerah sudah bersiap, sesuai instruksi DPP. “Tidak perlu disuruh, mereka [kader di daerah] sudah otomatis bekerja keras dari beberapa bulan lalu,” kata Andre.

Selain PDIP dan Gerindra, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk Freidrich Paulus menilai Pilkada punya arti penting untuk mengevaluasi kinerja mesin partai menghadapi Pemilu 2019.

Salah satu poin penting yang digarisbawahi adalah apakah mesin partai sudah bergerak optimal atau belum. Gerak mesin ini dianggapnya jauh lebih penting meski kandidat di Pilkada kalah.

“Kalau ternyata kami menang tapi mesin partai tidak gerak, ya apa artinya kemenangan itu apabila dihadapkan dengan Pileg dan Pilpres nanti," kata Lodewijk di Kantor DPP Golkar, Senin (2/7/2018).

DPP PKS juga memperhatikan kinerja mesin partai. Ketua Departemen Politik DPP PKS Pipin Sopian mengakui panasnya mesin partai akan membuat kerja-kerja politik PKS menjadi lebih cepat.

“Setelah Pilkada 2018, Insya Allah mesin partai PKS siap memenangkan pasangan capres-cawapres untuk 2019, plus Pemilu legislatif,” ujar Pipin kepada Tirto.

Ia menyebutkan PKS telah menyiapkan daftar calon anggota legislatif di tingkat kabupaten/kota hingga nasional. Menurut pengakuan Pipin, saat ini hampir semua daftar caleg milik PKS telah terisi.

Parpol Berusaha Meyakinkan Diri

Pilkada serentak 2018 menjadi ajang pemanasan menjelang Pilpres 2019, tapi efektivitas penggunaan hasil pesta demokrasi lima tahunan ini untuk menghadapi Pilpres 2019 dianggap tidak begitu signifikan.

Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Aditya Perdana berkata, hasil Pilkada 2018 tak sepenuhnya bisa mencerminkan kesiapan parpol menghadapi Pemilu. Ia menilai banyak parpol yang hanya mengklaim kemenangan di Pilkada untuk meyakinkan kader dan pengurus masing-masing.

“Misalnya ada partai A mengklaim dapat 60 persen kemenangan, partai B klaim 70 persen kemenangan [di Pilkada], itu kan klaim untuk meyakinkan diri dan meningkatkan kepercayaan diri mereka. Kedua, patut dilihat setiap kemenangan di Pilkada kan tergantung dua aspek: figur kandidat dan mesin partai efektif atau tidak,” ujar Aditya kepada Tirto.

Pengajar Departemen Ilmu Politik UI ini menyebutkan tak semua hasil Pilkada ditentukan kekuatan mesin parpol di daerah. Menurutnya, beberapa hasil Pilkada ditentukan kekuatan figur kandidat, alih-alih peran mesin partai dalam memenangkan para calon kepala daerah.

Ia mencontohkan, peran mesin partai dalam pemenangan Pilkada mungkin dapat dilihat dari keberhasilan PKS dan Gerindra meningkatkan elektabilitas kandidatnya pada Pilgub Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Pada dua Pilkada itu, kandidat yang diusung PKS dan Gerindra memang menelan kekalahan, tapi elektabilitas kandidat yang mereka usung melonjak signifikan dibanding hasil survei pra-pilkada.

“Tapi kalau figur yang kuat, bisa jadi menonjol juga seperti di Sulawesi Selatan misalnya di mana Nurdin Abdullah menang. Kondisinya memang bisa jadi [pilkada] hanya untuk mengecek apakah mesin partai di daerah bisa bekerja efektif atau tidak,” kata Aditya.

Kunci Pilpres di Bupati dan Wali Kota?

Bila Pilgub adalah pemanasan mesin untuk Pilpres, pemilihan bupati atau wali kota dianggap punya peran lebih signifikan bagi Pilpres 2019. Pengamat politik dari UI Cecep Hidayat menyebutkan peran vital bupati dan wali kota bisa muncul apalagi jika mereka sudah mendeklarasikan dukungan resmi untuk salah satu kandidat di Pilpres. Ia percaya dukungan bupati dan wali kota terhadap salah satu kandidat di pemilu presiden akan membawa dampak.

Menurut Cecep, bupati dan wali kota dapat menggiring warganya untuk memilih kandidat yang mereka dukung, apalagi jika bupati dan wali kota yang mengajak punya rekam jejak yang baik. “bisa jadi akan menggiring pilihan masyarakat pada pemilu," ujar Cecep kepada Tirto.

Selain itu, Cecep menganggap para bupati dan wali kota juga bisa berperan dengan mengandalkan jabatannya. Menurutnya, sebagai kepala daerah mereka bisa menggunakan fasilitas daerah untuk menyalurkan dukungan ke kandidat di Pilpres.

Fasilitas daerah yang dimaksud, contohnya, dana bantuan sosial. Menurut Cecep, penyaluran dana bansos jelang Pilpres 2019 dapat diklaim sebagai hasil kerja kepala daerah yang juga mendukung salah satu kandidat di Pilpres.

“Ini sebetulnya keunggulan para penguasa dan mereka memiliki legitimasi itu. Kadang itu [penggunaan dana bansos] juga bisa diklaim bagian kampanye,” ujar Cecep.

Andreas Pareira dan Andre Rosiade sudah punya taksiran ihwal masalah ini. Andreas mengatakan PDIP akan memaksimalkan peran kepala daerah yang mereka usung dan menang di Pilkada 2018 guna menghadapi Pemilu. Menurut Andreas, ada dua hal yang harus dilakukan kepala daerah terpilih dari PDIP.

Pertama, kepala daerah yang diusung PDIP diminta bekerja dengan baik. Kedua, mereka juga diharap menjadi model kepemimpinan di daerah masing-masing agar mendapat apresiasi rakyat. Menurut Andreas, bila apresiasi sudah diberikan maka dampak positif pasti akan dirasakan PDIP di Pilpres 2019.

“Dengan para kepala daerah bekerja baik saja sudah langkah awal kontribusi kemenangan di 2019. Karena rakyat akan melihat apa yang dikerjakan, dan mendengar apa yang dikatakan [para kepala daerah]," ujar Andreas.

Sama seperti PDIP, Gerindra juga memiliki instruksi khusus untuk para kepala daerah yang mereka usung dan menang di Pilkada 2018. Menurut Andre, ada tiga instruksi yang diberikan partainya untuk kandidat kepala daerah yang menang.

Pertama, Gerindra meminta kepala daerah yang menang pilkada bekerja untuk rakyat. Kedua, partai yang dipimpin Prabowo Subianto itu mendesak kepala daerah terpilih memenuhi janji kampanye. Ketiga, Gerindra minta kandidat yang menang pilkada menjauhi perilaku korupsi.

“Dengan mereka bekerja memenuhi janji kampanye, untuk rakyat, dan menjauhi korupsi, otomatis rakyat akan menilai dan memberi dukungan pada Gerindra karena tahu kepala daerahnya diusung kami," ujar Andre.

Hanya Berlaku untuk Kader

Pengamat politik dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Rully Akbar punya pandangan berbeda. Menurutnya, belum tentu bupati/wali kota akan bergerak mendukung salah satu calon di Pilpres. Ia memprediksi pergerakan hanya dilakukan bupati/wali kota yang merupakan kader dari parpol tertentu.

“Untuk pemimpin yang hanya diusung koalisi dan tidak berlatarbelakang kader partai, agak sulit untuk bergerak kecuali sudah ada konsesi sebelumnya dengan partai pengusung untuk konteks Pilpres,” kata Rully.

Dalam catatan Tirto, persebaran bupati/wali kota yang menang pilkada banyak didukung beragam parpol. Sesuai hasil hitung cepat berbagai lembaga survei di kawasan Banten, dua calon bupati dan wakil bupati yang unggul pada Pilkada 2018 diusung partai berbeda.

Pada Kabupaten Lebak, keunggulan dimiliki kandidat yang diusung Demokrat, PDIP, Gerindra, Hanura, PPP, PKS, dan PPNU. Sementara di Pilkada Kota Tangerang, keunggulan menjadi milik kandidat dari PDIP, Hanura, PKB, PPP, Nasdem, Demokrat, Golkar, Gerindra, PAN, PKS, Perindo, dan PSI.

Di Provinsi Jawa Barat, persebaran lebih beragam. Hampir semua partai yang mengusung kandidat di Pilkada kabupaten/kota di sana meraih minimal satu kemenangan. Kondisi yang sama juga terjadi di Pilkada tingkat kabupaten/kota pada Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih