tirto.id - Mesin partai PDIP banyak yang gagal memenangkan para kandidat yang bertarung di Pilkada 2018. Dari 17 pemilihan gubernur yang diselenggarakan serentak Rabu (27/7/2018), PDIP hanya mampu memenangkan empat pasangan calon yang mereka usung.
Keempat pasangan calon adalah Ganjar Pranowo-Taj Yasin di Jawa Tengah, Wayan Koster-Oka Artha di Bali, Nurdin Abdullah-Sudirman Sulaiman di Sulawesi Selatan, dan Murad Ismail-Barnabas Onro di Maluku. Kemenangan di empat wilayah itu juga tidak terlalu mengejutkan. Paling tidak, mereka berhasil mempertahankan suara di kantong basis lantaran calon-calon di tempat lain harus tumbang.
Kemenangan Ganjar Pranowo di Jateng, misalnya. Perolehan suara petahana itu berdasarkan hasil hitung cepat SMRC hanya 58,57 persen meski Jawa Tengah merupakan basis merah (PDIP) sejak dulu. Begitu juga Wayan Koster yang menurut hitung cepat SMRC mendapat suara 58,25 persen, padahal Bali merupakan basis massa PDIP sejak lama.
Sementara kekalahan yang harus mereka rasakan terjadi di 13 provinsi lain. Berdasarkan hitung cepat SMRC, pasangan Syaifullah Yusuf-Puti Guntur kalah dengan perolehan suara 47,72 persen di Jawa Timur. Demikian juga di Jawa Barat, TB Hasanudin-Anton Charlian hanya mendapat 12,77 persen.
Pasangan Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus yang diusung di Sumatera Utara juga kalah dengan mendapat 41,12 persen suara. Pun yang dialami Herman HN-Sutono di Pilgub Lampung yang hanya mendapat 25,50 persen suara berdasarkan hitung cepat SMRC.
Di Sumatera Selatan juga sama, Dodi Reza Alex Noerdin-Giri Ramanda Kiemas, hanya dapat suara 31,9 persen suara berdasarkan hitung cepat LSI. Di Riau, calon PDIP Rachman-Suyatno hanya dapat suara 24,35 persen suara berdasarkan hitung cepat Polmark.
Kenyataan serupa harus mereka terima di NTT setelah Marianus Sae tumbang dengan perolehan suara 27,31 persen. Kekalahan lain juga tampak di NTB. Tuan Guru Haji Ahyar Abduh-Mori Hanafi juga kalah dengan 25,5 persen suara berdasarkan hasil dari hitung cepat LSI.
Karolin Margaret Natasa-Suryadman Gidot yang didukung PDIP di Kalimantan Barat juga tumbang. Berdasarkan hitung cepat LSI mereka hanya mendapat 43,50 persen suara. Di Kalimantan Timur calon PDIP Rusmadi-Safaruddin hanya dapat suara 24,4 persen berdasarkan hitung cepat LSI.
Makin Terpuruk
Banyaknya kekalahan di Pilgub 2018 membuat PDIP punya tugas berat pada tahun politik 2019. Mengingat partai berlambang banteng moncong putih itu juga banyak kalah dalam kontestasi Pilgub 2017.
Dari tujuh Pilgub 2017, PDIP hanya menang di Aceh dan Papua Barat. Calon PDIP di Bangka Belitung Rustam Effendi-Muhammad Irwansyah kalah, pun Rano Karno-Embay Mulya Syarief di Banten, dan pasangan Hana Hasanah-Tonny Jati juga kalah di Gorontalo. Kekalahan telak juga dialami PDIP di DKI Jakarta. Ahok-Djarot tumbang melawan Anies- Sandi.
Kekalahan beruntun dalam Pilgub 2018 ini menjadi kegelisahan kader PDIP di tingkat bawah. Dadang Danubrata, selaku Ketua DPC PDIP Kota Bogor, misalnya. Ia bercerita bagaimana mereka sudah berupaya mendongkrak suara pasangan TB Hassanudin dan Anton Charlian di Jabar, tetapi hasilnya jauh dari yang diharapkan.
Bila dibandingkan dengan Pilgub Jabar 2013, PDIP saat ini lebih buruk. Pada 2013, mereka mengusung Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki dan mendapat 28,41 persen suara, sedangkan Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar mendapatkan 32,39 persen suara.
“Memang kelemahannya calon sekarang tidak terlalu dikenal, kami terbatas waktunya [karena] Jabar itu [wilayahnya] luas. Kalau Rieke dulu memang sudah terkenal, sehingga kami lebih mudah mengenalkannya,” kata Dadang kepada Tirto, Rabu (27/7/2018).
Keputusan PDIP mengusung TB Hassanudin dan Anton Charlian ini memang mengejutkan. PDIP sempat terlihat akur dengan Ridwan Kamil, yang kini justru menang Pilgub Jabar 2018 dan diusung koalisi Nasdem, PKB, PPP, Hanura, sebelum akhirnya mengusung Hasan dan Anton.
“Pertimbangan kenapa tidak jadi Ridwan Kamil itu ada di DPP, mungkin ada komunikasi yang tidak bisa diterima DPP,” kata Dadang.
Kesalahan DPP PDIP
Selain masalah di Jawa Barat, PDIP tampaknya juga salah menentukan pilihan calon di dua provinsi lain yang jadi lumbung suara yakni Jawa Timur dan Sumatera Utara. Pilihan mendukung Puti yang adalah cucu dari Sukarno rupanya tidak membuahkan hasil. Jualan nama besar sang proklamator tidak jauh lebih berpengaruh ketimbang Khofifah yang pernah menjadi menteri di kabinet pemerintahan Joko Widodo.
Begitu pula pilihan menaruh Djarot bertarung lagi di Sumatera Utara setelah kalah di DKI Jakarta. Nama besar Djarot juga tidak membuat PDIP bisa meraup suara lebih banyak dari saingannya Edy Rahmayadi yang merupakan mantan Pangkostrad.
Kondisi ini membuat PDIP harus melakukan evaluasi besar-besaran menjelang 2019. Pengamat politik dari Unair, Airlangga Pribadi mengatakan perlu ada pembenahan total. Bahkan pembenahan itu mungkin bisa dilakukan melalui Munaslub.
“Ya, apa pun mekanismenya, harus ada evaluasi total terhadap kesiapan kader partai, dalam proses elektoral politik, strategi politik,” kata Airlangga kepada Tirto.
Airlangga menilai kegagalan berturut-turut dalam dua pilkada serentak ini merupakan kesalahan dari Dewan Pengurus Pusat PDIP. Selama ini, semua pengambilan keputusan terkait dengan kader-kader yang akan maju dalam Pilkada ditentukan langsung DPP PDIP yang masih dipimpin Megawati Soekarnoputri.
“Ini kegagalan DPP sekarang dalam menentukan calon kepala daerah yang bisa mengangkat PDIP dan itu berlangsung selama putaran ini dan kemarin. Ini harus ada evaluasi total di internal. Tentu ini akan jadi kebijaksanaan ketua partai,” terangnya.
Kekalahan ini menjadi ironi sebab saat calon pilihan PDIP kalah, calon yang punya kedekatan personal dengan Jokowi justru memenangkan pilkada. Untuk kasus ini, Khofifah dan Ridwan Kamil adalah contohnya.
Khofifah pernah jadi menteri dalam kabinet Kerja. Ridwan Kamil pun sempat disarankan Jokowi agar tidak maju dalam Pilkada DKI Jakarta melawan Ahok dan tetap fokus di Jawa Barat.
“Dalam kasus Khofifah, dia diuntungkan dengan Pak Jokowi tidak banyak bicara. Orang tahu Khofifah ini mantan menterinya Pak Jokowi dan dekat. Ridwan Kamil juga dekat dengan Jokowi,” kata Airlangga.
Apakah fakta ini bisa membuka peluang Jokowi untuk memimpin partai agar lebih baik? Airlangga justru berpendapat Jokowi tidak perlu mengambil alih partai. Menurutnya Jokowi lebih baik memainkan perannya sebagai penyeimbang.
“Tapi evaluasi di dalam yang perlu dilakukan,” tambahnya.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Mufti Sholih