tirto.id - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terancam menelan kekalahan dalam perhelatan Pemilihan Gubernur 2018 di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu hanya diprediksi bisa menang dalam Pilgub Jawa Tengah, padahal tiga daerah tersebut merupakan basis massa yang menentukan untuk Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019.
Peluang kekalahan itu mengacu hasil survei tingkat kedipilihan (elektabilitas) mutakhir oleh sejumlah lembaga survei.
Untuk Pilgub Jatim, survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) periode 21-29 Mei 2018 menyatakan elektabilitas pasangan Saifullah Yusuf (Gus Ipul)-Puti Guntur Soekarno, yang diusung PDIP dan PKB, meraih angka 40,8 persen. Angka ini kalah dari pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Listianto Dardak yang memperoleh 48,5 persen.
Hasil nyaris mirip ditunjukkan survei Litbang Kompas dan Poltracking Indonesia. Survei Litbang Kompas menyatakan pasangan Gus Ipul-Puti mendapatkan elektabilitas 45,6 persen, lebih rendah dari Khofifah-Emil dengan angka 48,6 persen. Demikian juga survei Poltracking (18-22 Juni 2018) menyatakan Gus Ipul-Puti mendapat 43,5 persen, kalah dari Khofifah-Emil yang mendapat 51,8 persen.
Hanya lembaga survei Indo Barometer yang menyatakan Gus Ipul-Puti unggul dengan memperoleh angka 45,2%, sedangkan pasangan Khofifah-Emil mendapatkan angka 39,5%.
Prediksi kalah kandidat PDIP juga terjadi di Pilgub Jabar. Empat lembaga survei menempatkan pasangan Tubagus (TB) Hasanudin-Anton Charliyan pada posisi paling buncit dari empat kandidat lain. Indo Barometer menyatakan elektabilitas pasangan ini sebesar 5 persen, SMRC 6,5 persen, Litbang Kompas 4,1 persen, dan Poltracking 5,5 persen.
Pasangan itu kalah jauh dari pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum (NasDem, PPP, dan PKB) dan pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi (Golkar dan Demokrat). Dua pasangan calon ini diprediksi memperoleh elektabilitas lebih dari 20 persen dan diunggulkan menjadi jawara di tanah Sunda.
Hasil serupa diprediksi terjadi di Sumut. Elektabilitas Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus (PDIP dan PPP) kalah dari Eddy Rahmayadi-Musa Rajekshah (Gerindra, PKS, dan PAN).
Survei CSIS (16-30 April 2018) menyatakan elektabilitas Djarot-Sihar sebesar 36,6 persen, jauh di bawah Edy-Musa dengan 44,8 persen. Begitupun survei LSI-Denny JA (8-12 Juni 2018): Djarot-Sihar 34,7 persen, Edy-Musa 45,5 persen.
Survei Median (16-25 Januari 2018) bahkan memampangkan selisih yang besar: Djarot-Sihar 19,2 persen, sedangkan Edy-Musa 33,1 persen.
Survei Indo Barometer (4-10 Februari 2018) menunjukkan kemenangan yang sangat tipis untuk Djarot-Sihar dari Edy-Musa: 37,8 persen lawan 36,9 persen.
Pada Pilgub Jateng 2018, PDIP boleh jadi bisa bernapas lega. Elektabilitas pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin unggul jauh dari Sudirman Said-Ida Fauziyah.
Hasil survei Indo Barometer menyatakan elektabilitas Ganjar-Yasin sebesar 67,3 persen, sedangkan Sudirman-Ida sebesar 21,1 persen. Sementara Survei SMRC (21-29 Mei 2018) menyatakan elektabilitas Ganjar-Yasin sebesar 70,1 persen dan Sudirman-Ida 22,6 persen. Adapun survei Litbang Kompas menyatakan elektabilitas Ganjar-Yasin sebesar 76,6 persen dan Sudirman-Ida 15 persen.
Hasil survei ini berbeda jauh dari peraihan kursi PDIP di DPRD. Di DPRD Jatim, PDIP punya 19 kursi atau terpaut satu kursi dari PKB (20 kursi). Sedangkan di DPRD Jabar dan Jateng, PDIP menjadi penguasa parlemen dengan 20 dan 31 kursi. Sementara di DPRD Sumut, PDIP punya 16 kursi.
Konsultan Politik: 'Salah Memilih Calon'
Terseoknya calon kepala daerah yang diusung PDIP di Jabar, Jatim, dan Sumut dinilai peneliti politik dari SMRC Sirojuddin Abbas lantaran dua hal.
Pertama, PDIP dianggap salah memilih tokoh. Kedua, PDIP kurang memberikan ruang kepada Jokowi untuk terlibat dalam membuat keputusan partai.
Untuk masalah pertama, Sirojuddin menyoroti kasus Jabar dan Sumut. Pasangan TB Hasanudin-Anton Charliyan dan Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus dianggap bukan tokoh yang familiar di mata publik.
Untuk kasus Jabar, Ridwan 'Emil' Kamil, Wali Kota Bandung, nyaris merapat ke PDIP. Emil bahkan berkunjung ke DPP PDIP pada pekan terakhir menjelang pendaftaran Pilgub Jabar pada Januari 2018. Ia batal diusung PDIP karena Megawati Soekarnoputri lebih memilih TB Hasanudin, seorang kader PDIP.
“Kalau waktu itu PDIP bersedia mengusung Ridwan Kamil, tentu hasilnya akan lebih kuat. Kandidatnya sudah populer dan PDIP punya basis massa,” kata Sirojuddin kepada Tirto, Selasa (26/6/2018).
Begitu juga di Sumut. Menurut Sirojuddin, sosok Djarot Saiful Hidayat belum banyak dikenal masyarakat Sumut karena “cangkokan” dari daerah lain. Ini berbeda dari Edy Rahmayadi, yang dianggap sudah familiar di kalangan masyarakat Sumut karena pernah menjadi Pangdam Bukit Barisan.
Selain cangkokan, Sirojuddin menilai PDIP tak punya waktu cukup untuk menyosialisasikan Djarot berikut prestasinya selama memimpin DKI Jakarta dan Blitar ke masyarakat Sumut.
“Jadi sebaik apa pun tokoh seperti Mas Djarot, kalau waktunya tidak cukup [akan] susah [menang]. Karena prestasi yang dibuat selama di Jakarta belum tentu didengar orang Sumut yang banyaknya di perdesaan,” kata Sirojuddin.
Pemilihan kedua pasangan tersebut, kata Sirojuddin, menunjukkan PDIP kurang mempertimbangkan aspek lokalitas dalam mengusung kandidat dan lebih cenderung memaksakan kehendak elite partai.
“[Padahal] dalam Pilkada tokoh itu lebih menentukan ketimbang mesin partai,” tambah Sirojudin.
Sementara terkait minimnya Jokowi terlibat dalam membuat keputusan partai, kata Sirojuddin, tergambar dari minimnya jabatan strategis yang diduduki Presiden Republik Indonesia tersebut di kepengurusan DPP PDIP.
Sirojuddin berkata naiknya suara PDIP di sejumlah daerah pada Pemilu 2014 erat terkait dengan sosok Jokowi. Dengan kata lain, Jokowi adalah mesin penggerak PDIP saat ini.
“Orang memilih PDIP rupanya bukan karena pengurus partainya. Bukan karena tokoh-tokoh di DPR dan ketua umumnya saja, tapi karena prestasi Jokowi,” kata Sirojuddin.
Kondisi ini, menurut Sirojuddin, berbeda dari Partai Demokrat yang menempatkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ketua dewan pembina dan ketua umum. SBY bahkan membuat Demokrat sebagai partai pemenang pada 2004 dan 2009 yang mampu menyelaraskan keberhasilannya pada tingkat daerah.
Tetapi, pendapat berbeda dikemukakan peneliti politik dari LSI Denny JA, Rully Akbar, yang menilai lemahnya elektabilitas kandidat PDIP di Jatim, Jabar, dan Sumut lantaran partai tidak luwes menggarap wilayah-wilayah di luar basis massa.
“Mereka hanya fokus menggarap loyalis mereka,” kata Rully kepada Tirto.
Ini ditunjukkan peta keunggulan Djarot-Sihar di wilayah sekitar Danau Toba, yang memang dihuni mayoritas suku Batak dan menjadi basis pemilih PDIP. Begitu juga di Jatim, yang hanya mampu bersaing di wilayah Mataraman yang menjadi basis PDIP.
“Ini berbeda dari partai lain yang bisa menggarap wilayah baru untuk mem-branding kandidatnya,” kata Rully.
Seperti halnya Sirojuddin, Rully menilai absennya Jokowi dalam kampanye di Pilkada 2018 sebagai faktor lemahnya elektabilitas kandidat yang diusung PDIP. Ia menduga hal itu lantaran Jokowi dan PDIP memiliki fokus politik yang berbeda.
“Jokowi seperti ingin menjaga jarak dari PDIP dan lebih memilih untuk mengampanyekan dirinya sendiri dengan tidak mengambil cuti,” kata Rully.
Tanggapan PDIP
Saat dihubungi Tirto, Ketua DPP PDIP Komarudin Watubun membantah analisis dari dua pendapat di atas. Ia menyangkal partainya salah memilih kandidat. Sebaliknya, kandidat yang diusung PDIP telah melalui pertimbangan politik yang matang. Tidak hanya secara pragmatis elektoral, melainkan secara ideologi kepartaian.
“Percuma kalau bisa menang tapi tidak bisa merawat basis partai. Tidak bisa mengembangkan ideologi partai. Kami ini partai ideologis, jangan disamakan dengan yang pragmatislah,” kata Komarudin.
Komarudin menolak pendapat yang menyebut pilihan kandidat PDIP hanya berdasarkan keputusan elite partai. Menurutnya, PDIP selalu melakukan survei internal terlebih dulu kepada publik dalam memutuskan kandidat.
“Dua-duanya harus seimbang. Itulah namanya demokrasi. Kami perhatikan suara kader sekaligus masyarakat,” kata Komarudin.
Perihal absennya Jokowi dalam kampanye, Komarudin menilai sebagai "keputusan tepat" yang diambil PDIP dan Jokowi. Sebab, menurutnya, itu menunjukkan pemerintah bersikap netral dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018.
“Justru saya bertanya waktu dulu Pak SBY cuti itu apa dia tidak curang? Tidak mengintervensi?” kata Komarudin.
Meski Komarudin mengakui absennya Jokowi dalam kampanye membawa imbas berkurangnya suara pemilih PDIP di Pilkada 2018, tapi masih yakin mesin partai dan kapabilitas sosok yang telah diusung dapat membawa kemenangan.
“Publik akan menilai siapa yang netral. Pemilih juga sudah cukup cerdas untuk tahu mana yang berkemampuan dan tidak. Kami masih optimistis menang,” kata Komarudin.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih