Menuju konten utama

Nestapa PDIP Jualan Sukarno dan Akhirnya Kalah di Pilgub Jatim

Salah satu kelemahan kubu Gus Ipul-Puti di Pilgub Jawa Timur masih terjebak dengan romantisme simbol Sukarno dan tokoh-tokoh NU.

Nestapa PDIP Jualan Sukarno dan Akhirnya Kalah di Pilgub Jatim
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno putri didampingi Cagub Jatim Saifullah Yusuf atau Gus Ipul dan Cawagub Puti Guntur Soekarno menyampaikan orasi politik saat kampanye akbar di Lapangan Gulun, Madiun, Jawa Timur, Kamis (21/6/2018). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf

tirto.id - “Karena kami melihat kami tidak mau dikalahkan, oleh sebab itu saya minta izin kepada beliau [Bung Karno]: ‘kali ini bapak saya terjunkan salah satu cucu kamu yaitu Puti Guntur Sukarno’, saya minta kepada rakyat Jawa Timur untuk dapat menghargai yang namanya Bung Karno dengan memenangkan seorang cucunya bagi Jawa Timur.”

Megawati Sukarno Putri terisak-isak saat mengucapkan kalimat penutup pidatonya dalam acara haul ke-48 Sukarno di Kompleks Pemakaman Sukarno, Blitar, Jawa Timur, Rabu 20 Juni 2018. Air mata menetes dari pelupuk mata putri sulung Sukarno ini saat meminta hadirin memenangkan salah satu keponakannya yang bernama Puti Guntur Sukarno di Pilgub Jawa Timur (Jatim). Meski Megawati mengatakan acara haul bukan acara politis tapi isi pesan terakhirnya dan mereka yang hadir di dalam acara itu jelas tak bisa dikesampingkan dari realitas politis yang sedang berkembang saat itu: Pilgub Jawa Timur.

Sejak Puti dinobatkan menjadi calon wakil gubernur (cawagub) Jawa Timur pada 10 Januari 2018—menggantikan Azwar Anas yang mengundurkan diri—nama Sukarno memang kian nyaring digemakan PDIP. Selain oleh sang ketua umum, elite, dan kader banteng juga kompak menggaungkan retorika dengan premis senada: Hargailah jasa Bung Karno dengan cara memenangkan cucunya di Pilgub Jawa Timur.

Tengok saja misalnya usaha Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto saat memanfaatkan momentum hari kelahiran Sukarno untuk memperkuat sosok Puti dalam memori kolektif masyarakat Jawa Timur. Hasto bukan saja mengulang-ulang retorika bahwa Puti adalah penerus Sukarno, tapi ia juga memilih makam Sukarno sebagai tempat menyampaikan pesan.

“Semakin tebal semangat dan keyakinan kami untuk memenangkan cucu beliau: Mbak Puti Guntur Sukarno sebagai wakil gubernur Jawa Timur,” kata Hasto usai berziarah di Kompleks Pemakaman Sukarno, Blitar, Jawa Timur.

Hasto bilang Sukarno adalah pejuang dari muda hingga akhir hayat. Ia mencoba meyakinkan publik Jatim bahwa Puti tidak saja mewarisi darah Sukarno, tapi juga mewarisi gagasan dan ideologinya. Singkatnya, cita-cita Sukarno mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur akan diwujudkan Puti di Jawa Timur jika berhasil memenangkan pilgub.

“Seperti pendidikan gratis SMA/SMK Negeri, nutrisi makmur bagi ibu-ibu hamil dan pemilik balita, Kartu Jatim Sehat, pemberdayaan ekonomi bagi kaum perempuan. Itu contoh rencana kebijakan Mbak Puti Soekarno ke depan,” kata Hasto.

“Juni adalah bulan Bung Karno, ini momen tepat untuk menyatukan semua tekad, memenangkan Gus Ipul-Mbak Puti Sukarno di Pilkada Jawa Timur.”

Meski gencar menggaungkan nama Sukarno, nyatanya hal itu tidak cukup membuat pasangan Gus Ipul—Puti memenangkan Pilgub Jawa Timur pada 27 Juni 2018 lalu. Berdasarkan 96,91% data C1 yang masuk ke KPU, mereka kalah dari pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak dengan selisih suara 53,62 persen berbanding 46,38 persen.

Strategi Jual Sukarno Tak Efektif?

Peneliti politik Universitas Brawijaya Wawan Sobary berpendapat kekalahan Gus Ipul-Puti merupakan salah satu penanda tidak efektifnya strategi menjual sosok Sukarno kepada pemilih, khususnya di Jatim. Menurutnya meski Sukarno masih dihormati dan dikagumi rakyat Indonesia, tapi ia tidak serta merta bisa menjadi magnet elektoral yang signifikan. Efektivitas menjual Sukarno, kata Wawan, sangat ditentukan oleh strategi mengemas isu agar tetap relevan dengan persoalan pemilih.

Menurut Wawan relevansi antara strategi mengemas isu agar sejalan dengan kebutuhan pemilih sejalan riset yang mengindikasikan dominasi pemilih rasional di Jatim. Survei yang dilakukan Poltracking Indonesia pada di Jatim dari 6-11 Maret 2018 misalnya mengindikasikan prosentase pemilih rasional lebih dominan (49,0%) dibandingkan pemilih sosiologis (16,1%), dan pemilih psikologis (17,8%).

Indikator tersebut didasarkan preferensi pemilih yang menganggap rekam jejak (63%) lebih penting dalam memilih pemimpin dibandingkan agama (52,5%), usia (36,8%), gender (25,5%), asal daerah (24,6%), dan suku (23,1%).

“PDIP harus kaji ulang strateginya jika ingin tetap menjual Sukarno. Karena meski secara ideologi Sukarno dihormati namun penting mengemas ulang gagasannya seperti Trisakti, Berdikari sesuai kebutuhan saat ini,” katanya.

Wawan mengatakan menurutnya kedekatan pemilih terhadap partai politik (party id), turut berpengaruh terhadap simbol-simbol yang dibangun partai. Dalam konteks PDIP simbol itu adalah Sukarno. “Riset yang dilakukan lembaga survei menunjukkan party id memilih karena kedekatan itu semakin sedikit hanya total 12-13 persen, jadi orang karena memilih trah Sukarno semakin sedikit,” ujarnya.

Wawan menduga PDIP sengaja menjual nama Sukarno untuk menggaet pemilih nasionalis abangan di wilayah mataraman mencakup Bojonegoro, Kediri, Jombang, Tuban, Blitar, Ponorogo, Ngawi, Tulungagung, Nganjuk, Magetan, Trenggalek, dan Pacitan.

Namun strategi ini tidak terlalu efektif karena wilayah itu kini sudah mulai didominasi oleh Partai Demokrat yang identik dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ini misalnya terlihat dari keberhasilan Edhie Baskoro Yudhyono (Ibas) merajai perolehan sebagai anggota DPR dari Dapil Jatim VII yang meliputi Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Magetan, dan Ngawi.

Dalam Pilgub Jatim 2013, dari data KPUD Jatim, Soekarwo yang merupakan kader Demokrat juga menang di 7 kabupaten/kota di wilayah Mataraman. “Artinya trah Sukarno di wilayah itu dikikis oleh trah SBY [mendukung Khofifah],” kata Wawan.

Karyono Wibowo peneliti Indonesia Public Institute Karyono Wibowo menilai penyebab kekalahan Gus Ipul-Puti tidak semata-mata terletak pada kesalahan strategi menjual sosok Sukarno tapi juga tokoh-tokoh NU yang mewakili Gus Ipul. Menurutnya dua partai politik utama pengusung Gus Ipul—Puti yakni PKB dan PDIP gagal mengemas sosok Sukarno dan tokoh-tokoh NU sebagai tawaran untuk memilih.

“Salah satu kelemahan yang ada di Tim Puti masih terjebak pada romantisme simbol Sukarno dan tokoh-tokoh NU, kemasannya masih konvensional,” kata Karyono kepada Tirto.

Karyono mengatakan mestinya selain menyajikan kemasan klasik, tradisional, sangat diperlukan kemasan baru yang lebih disukai kalangan pemilih milenial. Tantangannya adalah bagaimana mengemas Gus Ipul dan Puti disukai kalangan pemilih milenial. Lalu penting juga membuat kemasan sosok dan pemikiran Sukarno dan tokoh NU agar nyambung dan diterima kalangan pemilih yang lebih luas.

“Kelemahannya adalah di persoalan cara mem-branding dan cara "menjual". Sebagaimana dalam ilmu marketing, sebelum melempar produk di pasaran diperlukan suvei pasar (marketing riset) untuk menentukan positioning produk di antaranya adalah soal branding agar konsumen memahami dan tertarik,” katanya.

Selain itu, dari segi pengaruh figur cagub, di kalangan NU nampaknya Khofifah lebih kuat dari Gus Ipul. Khofifah memang pernah kalah dua kali di pilkada Jatim melawan Gus Ipul tetapi sejatinya kekuatan terbesar mengalahkan Khofifah ada di figur Sukarwo. “Khofifah hanya bisa "ditaklukkan" dua energi politik yakni kekuatan pendukung Sukarwo dan Gus Ipul bersatu,” katanya.

Infografik Profil Paslon Pilgub Jatim 2018

Tetap Menjual Sukarno

Ketua Bidang Hubungan Internasional dan Pertahanan DPP PDI Perjuangan Andreas Hugo Pariera membantah strategi menjual figur Sukarno yang mereka lakukan di Jatim tidak efektif. Menurutnya, efektivitas figur Sukarno dalam kampanye di Pilkada Jatim 2018 adalah hal yang relatif.

"Soal efektivitas dan tidak efektivitas itu relatif ya bahwa proses yang dilakukan baik Gus Ipul maupun Mbak Puti dengan dukungan kader-kader itu sudah maksimal dan hasil yang sekarang kita harus menghargai itu," ucap Andreas di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta Pusat, Kamis (28/6/2018).

Andreas mengatakan, figur Sukarno tetap efektif untuk digunakan dalam kampanye karena tidak bisa terlepas dari sejarah Indonesia.

"Ya tetap efektif. Bahwa suatu simbol akan menjadi ukuran untuk semua ya itu pilihan masyarakat tentunya tapi tidak akan mengurangi juga arti Sukarno terhadap masyarakat karena itu adalah sejarah," ucap Andreas.

Andreas mengatakan efektif atau tidaknya figur Sukarno dalam kampanye Pilgub bukan penyebab utama atas kekalahan Gus Ipul di Jatim. Menurutnya, ada faktor-faktor lain yang harus diperhatikan juga.

"Ya banyak faktor kalau soal itu. Tapi tidak bisa kita karena ini, karena ini, tidak bisa," ungkap Andreas.

Walaupun kalah, Andreas mengatakan figur Sukarno tetap digunakan PDIP dalam kegiatan kampanye karena partai pimpinan Megawati itu tidak bisa lepas dari sosok Sukarno.

"Ya pastilah karena itu bagian dari turunan ideologi yang ada di PDIP ini. Dan itu adalah hak paten yang ada di bangsa ini. Yang ada di PDIP," kata Andreas.

Baca juga artikel terkait PILGUB JATIM 2018 atau tulisan lainnya dari Muhammad Akbar Wijaya

tirto.id - Politik
Penulis: Muhammad Akbar Wijaya
Editor: Muhammad Akbar Wijaya