Menuju konten utama

Babak Baru Sengketa Reklamasi Jakarta: Konsumen vs Pengembang

Pengembang pulau reklamasi disengketakan oleh konsumennya sendiri karena tidak ada jaminan proyek terus berlanjut.

Babak Baru Sengketa Reklamasi Jakarta: Konsumen vs Pengembang
Kondisi daratan Pulau C Reklamasi Teluk Jakarta, Jakarta, Selasa (31/10/2017). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Pemerintah pusat melalui Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan menegaskan bahwa proyek reklamasi Teluk Jakarta bisa dijalankan pascamoratorium dicabut, Oktober lalu. Di satu sisi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mencabut Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dari Program Legislasi Daerah (Prolegda). Pencabutan Raperda membuat proyek ini kembali mandek.

Belum selesai satu kasus, kini mencuat masalah lain yang sebelumnya tidak ada, meski masih terkait erat dengan apa yang terjadi beberapa waktu ke belakang.

Sembilan orang konsumen menggugat PT Kapuk Naga Indah (KNI) --anak perusahaan Agung Sedayu yang berperan sebagai pengembang Pulau D--ke Badan Penyelesaian Sengketa dan Konsumen (BPSK). Mereka menuntut pengembalian uang cicilan pembelian dan booking fee sebesar Rp36 miliar.

Sembilan orang ini telah mencicil pembelian rumah dan rumah kantor di kawasan yang sedianya akan jadi perumahan elit Golf Island itu sejak tahun 2013. Harga hunian berkisar antara Rp2-9 miliar per unit. Sementara khusus yang menghadap pantai, harganya mencapai Rp11 miliar/unit.

Sembilan orang konsumen ini, yang dalam bahasa pengadilan disebut pemohon, mencicil karena percaya dengan pengembang. Divisi marketing KNI memastikan bahwa pembangunan properti di Pulau D telah berizin, tidak bermasalah/bersengketa, sehingga dapat berlangsung cepat.

Ketika itu, pengembang mengatakan bahwa proyek akan berjalan lancar dan semua izin telah diurus ke Pemprov DKI. Namun ternyata itu tidak sesuai rencana.

April 2016, pengembang meminta konsumen menunda pembayaran cicilan yang sedianya dibayar perbulan dengan dalil perlu waktu lebih panjang untuk memastikan keberlangsungan pembangunan. Salah satu klausul menyebut bagi pemesan yang telah mencicil, tetapi kemudian pembangunan ternyata tidak jadi karena satu dan lain sebab, maka dana pemesan akan dikembalikan.

Sementara kalau unit yang dipesan terlambat diserahterimakan, maka konsumen akan mendapatkan kompensasi.

Penundaan pembayaran kemudian diperpanjang sampai September 2017 dengan alasan moratorium reklamasi yang dikeluarkan pemerintah pusat pada 11 Mei 2016 belum dicabut. Moratorium diberlakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (Menko Maritim) yang ketika itu dijabat Rizal Ramli.

Di sini konsumen mulai ragu. Sebab pada awalnya pengembang memastikan bahwa mereka telah punya izin membangun properti. Konsumen semakin ragu karena ternyata moratorium pemerintah pusat diberlakukan karena adanya pelanggaran izin yang dilakukan pengembang.

Kuasa hukum konsumen Rendy Anggara Putra mengatakan kliennya kemudian meminta pengembalian uang secara "kekeluargaan". "Kami kirimkan surat untuk bertemu pengembang, ada pertemuan pada 10 Agustus," katanya kepada Tirto, Jumat (22/12/2017).

Konsumen ingin uangnya kembali bukan hanya karena merugi, tapi juga ada indikasi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 9 UU tersebut menyatakan bahwa "pelaku usaha dilarang mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti."

Sayang permintaan tersebut ditolak PT KNI, bahkan ketika somasi telah dilayangkan. Menurut Rendy, KNI merasa tidak bersalah. Mereka berdalih mangkraknya pembangunan adalah karena adanya force majeure atau perubahan kebijakan yang dianggap darurat.

Konsumen menganggap alasan penolakan pengembalian cicilan tidak masuk akal karena toh perubahan kebijakan terjadi karena kesalahan pengembang sendiri. Moratorium diberlakukan karena pelaku usaha memproduksi barang yang tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan UU Perlindungan Konsumen.

Pada 18 September 2017, pengembang malah meminta kepada konsumen untuk melanjutkan kembali pembayaran cicilan yang selam ini tertunda.

Konsumen menganggap permintaan tersebut lagi-lagi bermasalah secara hukum. PT KNI dianggap melakukan perbuatan ilegal seperti yang diatur dalam Pasal 9 Ayat (1) huruf k UU Perlindungan Konsumen: "menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti."

Hingga saat ini, menurut Rendy, masih banyak konsumen yang meminta pengembalian uang. Apalagi, ujarnya, "sekarang Raperda Reklamsinya ditarik. Ya makin enggak ada kepastian."

Kasus Dihentikan di BPSK

Konsumen kemudian mengajukan permohonan ke BPSK pada 27 September. Namun, sengketa ini tidak selesai di BPSK. Majelih hakim memutus kasus ini ditutup pada 18 Desember dengan alasan kedua belah pihak tidak sepakat kasus mereka di selesaikan di sana. Keduanya ingin sengketa ini dibawa ke Pengadilan Tinggi.

BPSK sebetulnya mendorong kasus ini selesai, tapi karena tidak tercapai titik temu, peradilan diakhiri dan dilanjut ke pengadilan tinggi. "Ini kan peradilannya berdasarkan kesepakatan. Pelakunya enggak sepakat, [jadi] ditutup kasusnya," kata Juru Bicara BPSK, Nur Fauzi kepada Tirto.

"Sudah 3 kali pertemuan kalau tidak salah," imbuhnya.

Rendy membantah bahwa keduanya tidak sepakat sengketa selesai di BPSK. Ia justru mengatakan bahwa usulan agar kasus dibawa ke Pengadilan Tinggi datang dari PT KNI. Konsumen, katanya, meminta majelis hakim melanjutkan penyelidikan terkait pelanggaran yang dilakukan PT KNI.

"Karena ini ada di Undang-undang Perlindungan Konsumen. Hakim bisa melakukan penyelidikan dan menjatuhkan sanksi administratif."

Merasa bahwa BPSK tidak cukup kuat menghadapi kasus ini, Rendy malah berencana melakukan judicial review tugas BPSK dalam UU Perlindungan Konsumen ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun hal itu baru akan dilakukan jika putusan majelis hakim BPSK 27 Desember mendatang memuat poin-poin yang malah memberatkan konsumen.

"Ngapain ada BPSK kalau semua harus dibawa ke Pengadilan Tinggi. Lebih baik dihilangkan saja kalau begitu," katanya.

Infografik HL INdepth Reklamasi

Baca juga artikel terkait REKLAMASI TELUK JAKARTA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Hukum
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino