Menuju konten utama

Potensi Bahaya Pipa Gas PLN dari Reklamasi Pulau G

Pengurukan sisa Pulau G, yang dibangun anak usaha Agung Podomoro Land, hanya menunggu rekayasa teknologi atas aliran air dingin pembangkit listrik PLN Muara Karang.

Potensi Bahaya Pipa Gas PLN dari Reklamasi Pulau G
Pos penjagaan Reklamasi Teluk Jakarta Pulau G, Selasa, 31 Oktober 2017. tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Seperti pulau hantu. Barangkali kesan itulah yang muncul ketika Anda menyambangi gundukan pasir reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta. Sejak moratorium diberlakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada April 2016, pulau itu memang tampak tak terurus dan selalu sepi.

Sampah-sampah plastik, beling, dan kayu berserakan di atas pasir kecokelatan yang menghampar dua puluhan hektare. Sebagian besar lahan juga sudah ditumbuhi alang-alang dan rumput liar.

Saat kami melongok ke sana pada Selasa, 1 November lalu, hanya ada dua nelayan dengan kapal kecil di perairan selatan pulau yang kedalamannya berkisar dua meter. Mereka mencari udang kecil dan kerang tahu untuk digunakan sebagai umpan ikan sembilang—biota laut yang berkurang drastis sejak perairan itu diuruk jutaan meter kubik pasir.

Dari kejauhan, tiga rumah semipermanen mencuat di antara gundukan pasir. Kalil Charliem, nelayan Kali Adem yang mengantar kami berkeliling ke pulau reklamasi, mengatakan tempat itu dijaga oleh beberapa orang secara bergantian. Mereka tak pernah risau dengan aktivitas nelayan yang lalu-lalang di tempat tersebut.

“Ini dulu disegel nelayan,” ungkap Kalil saat kami memasuki perairan dangkal Pulau G.

Ia bercerita, penyegelan itu dilakukan secara simbolis oleh Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia menyusul tertangkapnya Ketua Komisi D DPRD Jakarta Muhammad Sanusi oleh KPK satu setengah tahun lalu.

“Waktu itu perahu nelayan ke sini semua, sampai enggak muat (bersandar).”

Pemandangan tersebut jauh berbeda dari Pulau D yang dikelola oleh PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Group. Setiap hari, puluhan truk bermuatan penuh lalu-lalang di atas pulau yang tersambung dengan jembatan ke Pantai Indah Kapuk 1, kawasan elite di pesisir utara Jakarta.

Di sisi selatan pulau, bangunan ruko empat lantai sudah berdiri kokoh. Ratusan orang terlihat sibuk bekerja siang-malam. Ada yang berkutat di kanal-kanal, ada yang mengebor, ada pula yang menyuntikkan pondasi tiang pancang di kawasan yang masih berupa tanah.

Baca juga: Menengok 2 Pulau Reklamasi Agung Sedayu yang Abaikan Perintah Anies

Lantas, kapan aktivitas di Pulau G akan bergeliat?

Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Tuty Kusumawati mengatakan, PT Muara Wisesa Samudra selaku pengembang pulau, anak bisnis properti Agung Podomoro Land, sudah melengkapi semua persyaratan yang diminta Kementerian LHK untuk melanjutkan reklamasi.

Beberapa di antaranya adalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis baru sebagai dasar penerbitan izin lingkungan, serta panduan rancangan kota (urban design guideline) dalam bentuk peraturan gubernur.

Izin lingkungan dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu pada 25 April 2017, sementara Pergub bernomor 137/2017 tentang panduan rancangan kota tersebut diteken oleh mantan Gubernur Djarot Saiful Hidayat pada 2 Oktober 2017.

“Karena bagian dari pencabutan sanksi (moratorium) itu dimintakan juga untuk dibuatkan Urban Desain Guideline," kata Tuty kepada reporter Tirto di Balai Kota, pertengahan Oktober lalu.

Satu-satunya yang membuat pengurukan pulau tersendat dan masih mandek hingga sekarang adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Muara Karang, yang hanya berjarak 300 meter.

Tempat yang juga objek vital nasional itu memproduksi 1.648 MW listrik untuk pasokan di Jawa dan Bali—terdiri PLTGU Blok 1 dengan kapasitas 508 MW, PLTGU Blok 2 dengan 740 MW, dan PLTU Unit 4 dan 5 berkapasitas 400 MW.

Direktur Proyek Muara Wisesa Samudra, Andreas Leodra, menegaskan bahwa perusahaan masih mempelajari detailed enginering design yang dibuat Perusahaan Listrik Negara sebagai alternatif mitigasi agar pengurukan pulau tidak mengganggu operasional pembangkit listrik Muara Karang.

"Kami akan ikuti semua arahan dari pemerintah. Mengenai teknis pembuatannya, itu yang masih kami pelajari," katanya saat dihubungi reporter Tirto, 9 November lalu.

Potensi Bahaya dan Kerugian karena Pulau G

PLTGU Muara Karang mengandalkan air laut untuk menghasilkan listrik sekaligus mendinginkan pembangkit. Situsweb resmi PLN pada 2012 pernah merilis bahwa reklamasi akan berdampak pada semakin sempitnya zona sirkulasi air pendingin dan air baku. Hal itu dapat mengakibatkan meningkatnya suhu air pendingin yang saat ini sudah mencapai 31,3 derajat celsius.

Direktur Bisnis Regional Jawa bagian Barat PLN Haryanto WS mengungkapkan, kenaikan suhu dapat menyebabkan pemborosan lantaran kapasitas pembangkit listrik anjlok dan tak bisa bekerja secara maksimal.

“Kalau air panas dan air dingin tak bisa dipisahkan secara jangka panjang, efisiensi PLTGU Muara Karang akan turun," ujarnya.

Sayangnya, ia tak memiliki hitung-hitungan terbaru soal berapa potensi pemborosan tersebut. Berdasarkan kajian yang pernah ia lakukan, kenaikan suhu air sebesar 10 derajat celsius dapat menurunkan kemampuan produksi listrik hingga 10 MW. Jika hal itu berlangsung secara konstan, kerugian akibat pemborosan yang ditanggung PLN bisa menyentuh angka Rp576 juta per hari per unit mesin pembangkit.

Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said, mengatakan bahwa pasokan energi di Indonesia di ambang krisis. Jika reklamasi Pulau G dilanjutkan, ujarnya, “pasokan daya listrik untuk wilayah DKI akan sangat terganggu."

“Pun proses produksi minyak oleh ONWJ (Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java) akan mengalami gangguan.”

Jika kelanjutan pembangunan pulau tak dipertimbangkan dengan baik, kata Sudirman, “masalahnya akan semakin menekan kelanjutan pasokan energi secara nasional.”

Baca juga: "Reklamasi Wujud Arogansi Pengembang & Lemahnya Pemprov Jakarta"

Infografik HL INdepth Reklamasi

Tarik Ulur Pengembang dan PLN

Adanya potensi gangguan terhadap PLTU dan PLTGU Muara Karang menyebabkan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenko Maritim) bertindak lebih jauh demi memperlancar pencabutan moratorium Pulau G. Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan membentuk tim teknis terdiri beberapa pemangku kepentingan.

PLN sebagai pihak yang berpotensi dirugikan meminta ada alternatif mitigasi atas ancaman keberlangsungan pembangkit listrik di Muara Karang tersebut.

Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Andono Warih menjelaskan, Muara Wisesa Samudra sebenarnya telah memiliki rancangan pembuatan tanggul horizontal di antara Pulau G dan PLTGU sebagai solusi mitigasi. Namun, hal ini diminta diubah lantaran dianggap mengganggu jalur nelayan serta berpengaruh terhadap pipa laut milik PT Pertamina

Tanggul yang diusulkan dalam AMDAL tersebut, kata Andono, berada di atas pipa milik PT Nusantara Regas.

“Bahaya kalau nanti pondasinya akan menimpa pipa bawah laut. Itu kekhawatirannya,” jelas Andono di kantornya, Kamis pekan lalu.

PLN akhirnya mengajukan opsi lain berupa pemotongan pulau. Andono menyebut, opsi ini sebelumnya juga pernah disodorkan Kementerian Kelautan dan Perikanan ke Menko Maritim Luhut. Usulan lain adalah rekayasa teknologi untuk mengamankan sirkulasi air pendingin PLTGU Muara Karang.

"Nah, kalau DKI pasti melihat mana yang paling aman dengan PLTU. Jadi kita terima, walaupun dengan catatan siapa yang menanggung biayanya," tutur Andono.

Opsi-opsi tersebut dibahas beberapa kali sejak pertengahan September 2017 dengan melibatkan pihak pengembang, kementerian, dan Pemprov DKI Jakarta. Menurut Andono, pembahasannya berjalan alot lantaran pengembang dan PLN bersikukuh dengan opsinya masing-masing.

Agar solusi bisa tercapai, tim teknis memutuskan agar rapat terakhir dipimpin Adang Saf Ahmad, Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bidang Keterpaduan Pembangunan.

Rapat itu berlangsung di Gedung Kementerian PUPR pada 26 September 2017. Setelah berjalan lebih dari 7 jam, pembahasan pun mengerucut, dan bermuara pada opsi rekayasa sirkulasi air pendingin yang diajukan PLN.

"Punya mereka yang terpilih. Tapi ini masih konsepsi awal, yang menurut mereka aman," katanya.

Dalam hal ini, PLN merancang detailed enginering design berupa kolam penampung, box culvert, serta bangunan pelengkapnya untuk mengalihkan aliran air tanah agar tak mengganggu aliran air pendinginan PLTU.

Pengembang, kata Andono, diwajibkan membiayai semua hal dalam pembangunan konstruksi rekayasa teknologi tersebut.

"Bahkan maintenance-nya bila butuh biaya, pengembang yang akan tanggung," ungkapnya.

"Itu semua sudah masuk sebagai adendum atau perbaikan AMDAL kemarin. Tinggal pelaksanaannya saja."

Kepala Satuan Korporate Komunikasi PLN, I Made Suprateka, justru menyebut pemotongan pembangunan Pulau G hasil reklamasi tetap menjadi solusi terbaik, meski pemerintah telah menyetujui usulan rekayasa teknologi yang diajukan PLN.

“Solusi yang benar ya tetap dipotong sebanyak-banyaknya Pulau G,” ujar Suprateka saat dihubungi usai rapat pembahasan di Kementerian PUPR.

Menurutnya, pipa gas PLTGU Muara Karang tak semestinya terhalangi benda apa pun. Jika tak hati-hati, pengurukan pulau dapat menekan pipa gas yang memicu ledakan keras.

“Intinya, mau apa pun, selain dipotong itu berbahaya. Tapi mau bagaimana lagi? Coba tanyakan kepada mereka, kenapa mereka kekeh tidak mau potong. Kita di sini hanya memberi saran, ya sudah mau bagaimana lagi?” ujarnya, seakan pasrah.

Baca juga artikel terkait REKLAMASI TELUK JAKARTA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Politik
Reporter: Hendra Friana & Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Fahri Salam