Menuju konten utama

Serba Mengebut Izin Reklamasi Jakarta Menuai Pengusutan Pidana

Penyidik Polda Metro Jaya menilai pajak pembeli untuk Pulau D dianggap merugikan negara. Ombudsman mendalami dugaan maladministrasi atas izin reklamasi.

Serba Mengebut Izin Reklamasi Jakarta Menuai Pengusutan Pidana
Aktivitas pembangunan gedung-gedung di Pulau D Reklamasi Teluk Jakarta, Selasa, 31 Oktober 2017. tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah DKI Jakarta Edi Sumantri melangkah cepat usai rapat bersama komisi C di Gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa pekan lalu. Dikuntit dua wartawan, ia sama sekali tak mau menggubris. Rautnya tampak cemas. Jalannya semakin bergegas.

“Aduh, jangan tanya-tanya ke saya dulu,” katanya.

Edi adalah satu dari sekian nama yang dipanggil penyidik Polda Metro Jaya terkait dugaan korupsi dalam penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Reklamasi Teluk Jakarta. Waktu itu, pertanyaan yang disodorkan wartawan menyangkut tiga orang staf BPRD yang dipanggil lebih dulu oleh penyidik pada 8 November lalu: Joko Pujiyanto (Kepala Bidang Peraturan BPRD), Yuandi Bayak Miko (Kepala Bidang Perencanaan BPRD), dan Andri (Staf BPRD Penjaringan).

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono, mengatakan bahwa penyidik membutuhkan keterangan ketiga orang itu untuk mendalami kesesuaian penetapan NJOP Pulau C dan D oleh tim appraisal dan BPRD. Selang sehari, lanjut Argo, giliran Edi yang digiring ke kursi penyidikan. Bersama Edi, Dwi Haryantono, Kepala Kantor Jasa Penilai Publik yang menetapkan NJOP dua pulau tersebut, juga dimintai keterangan sebagai saksi.

Meski demikian, keduanya mangkir dari pemeriksaan. Melalui surat ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Edi meminta jadwal pemeriksaan diatur ulang lantaran harus mengikuti rapat koordinasi di Balai Kota.

“Akan kami mintai keterangan lagi. Schedule-nya tanggal 15 hari Rabu depan,” kata Argo. “Untuk kepala KJPP, akan kami agendakan lagi hari Senin, 13 November (hari ini).”

Jauh sebelum polisi memulai penyidikan, Edi sebenarnya telah berencana merevisi NJOP yang menimbulkan kontroversi tersebut. Soalnya, angka Rp3,1 juta per meter persegi dianggap terlalu rendah bagi kawasan yang diperuntukkan pembangunan perumahan mewah dan pusat perdagangan elite. Apalagi penetapannya dilakukan dalam waktu sangat singkat, yakni 15 hari. Jika dilihat menggunakan dua metode Dirjen pajak, mustahil nilainya di bawah Rp 5 juta.

Dalam rencana perubahan anggaran dan kegiatan perubahan BPRD, ia mengajukan tambahan sebesar Rp100 juta untuk pembiayaan tenaga ahli yang totalnya mencapai Rp775 juta. Untuk membayar Kantor Jasa Penilai Publik baru yang merevisi NJOP kedua pulau yang jadi proyek pengembang Agung Sedayu Group itu, kata Edi, "Anggarannya Rp48 juta.”

Sementara sisanya, “akan digunakan untuk menyesuaikan NJOP di Jakarta mendekati harga pasar.”

Kepada para anggota komisi C, dalam rapat Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara 2018, Edi menjelaskan bahwa penyesuaian NJOP tersebut untuk mengerek Pendapatan Asli Daerah 2018 dari sumber Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, yang targetnya dinaikkan Rp950 miliar menjadi Rp8,5 triliun.

Izin dan Sertifikat Pulau Reklamasi Serba Dikebut

Penentuan NJOP Pulau C dan D tak bisa dilepaskan dari Hak Pengelolaan Lahan yang sertifikatnya dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah mengatakan, sertifikat HPL Pulau D telah terbit lebih dulu pada 19 Juli 2017. Atas dasar itulah, Pemprov DKI mulai menjajaki perjanjian kerja sama atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan pengembang, yakni PT Kapuk Naga Indah, terkait pemanfaatan pulau tersebut.

Kepala Badan Pengelola Aset Daerah DKI Jakarta Achmad Firdaus didapuk sebagai fasilitator dalam perundingan antara Pemprov dan Pengembang tersebut. Dari pantauan reporter Tirto, pembahasan ini berlangsung beberapa kali di ruang rapat Sekretaris Daerah di lantai 4 Balai Kota, dan berlangsung tertutup. Baik pihak pengembang maupun Pemprov enggan memberikan komentar setelah pertemuan bubar.

Saefullah sempat hadir dalam perundingan itu pada 27 Juli 2017. Namun, mantan Wali Kota Jakarta Pusat tersebut irit bicara saat diwawancarai. Ia hanya menyampaikan bahwa pembahasan meliputi poin-poin terkait izin mendirikan bangunan, Hak Guna Bangunan, dan sebagainya. Namun, ia enggan merinci poin lain yang dibahas dalam MoU tersebut.

"Ya intinya perjanjian kerja pemanfaatan pulau bersama PT KNI. Ini masih dalam pembahasan," cetus Saefullah sambil berlalu.

Pada 11 Agustus 2017, poin-poin kerja sama pemanfaatan Pulau D disepakati kedua belah pihak. Namun, lantaran dua Perda yang menjadi alas hukum pelaksanaan reklamasi masih mandek di DPRD, kesepakatan itu hanya didasari Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta serta perjanjian kerja sama antara Pemprov dan pengembang pada 1997.

Artinya, pengembang terlepas dari kewajiban kontribusi tambahan sebesar 15 persen dan hanya perlu membayar bea perolehan hak atas tanah dan bangunan sebesar 5 persen dari NJOP untuk dapat mengantongi sertifikat HGB.

Tak lama setelah perjanjian kerjasama pemanfaatan Pulau D diteken, pengembang mengurus sertifikat HGB ke Kantor Pertanahan Jakarta Utara. Namun, baru sertifikat untuk Pulau D yang diproses lantaran pengurukan Pulau C belum beres.

Beberapa hari setelahnya, surat bertanggal 23 Agustus 2017 tentang NJOP untuk Pulau C dan D dikeluarkan oleh BPRD. Dan, tanpa ba-bi-bu, esoknya Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Utara Kasten Situmorang membubuhkan tanda tangan di atas sertifikat HGB Pulau D.

Barulah pada 26 Agustus, melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, pengembang menyetorkan pajak pembeli untuk Pulau D seluas 312 hektare. Belakangan diketahui jumlahnya mencapai Rp483,6 miliar.

Ketua Komisi C dari parlemen Jakarta, Santoso, menilai tak ada yang keliru dengan besaran NJOP dua pulau tersebut. Dalam rapat dengar pendapat antara komisi C dan BPRD, akhir September lalu, klarifikasi soal rendahnya NJOP itu bisa diterima.

"Yang aneh itu kenapa bisa begitu cepat (penerbitan NJOP-nya)? Ya wajar aja dong kalau curiga," kata Santoso saat dihubungi reporter Tirto.

Politisi Partai Demokrat itu juga menyinggung ihwal pendekatan yang digunakan Kantor Jasa Penilai Publik. Menurutnya, harga rendah itu disebabkan belum dicabutnya moratorium reklamasi oleh pemerintah pusat. Alhasil, lahan tersebut dianggap tak produktif dan hanya hamparan pasir tanpa nilai komersial.

“Tapi itu, kan, ada perubahan kondisi. Dia bisa naik setelah diukur lagi. Karena moratoriumnya sudah dicabut.”

Infografik HL INdepth Reklamasi

Dugaan Maladministrasi

Kejanggalan dalam proses penerbitan sertifikat HGB juga telah lama menjadi sorotan Ombudsman Republik Indonesia. Soalnya, selain proses yang kilat, penerbitan ini di luar pengetahuan Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Djarot Saiful Hidayat.

“Kalau benar (Djarot) tidak tahu berarti ada prosedur yang tidak berjalan,” kata Komisioner Ombudsman, Alamsyah Saragih, di Gedung Ombudsman beberapa hari setelah HGB diterbitkan. “Itu bisa mengarah pada dugaan maladaministrasi.”

Sayangnya, waktu itu Ombudsman tak dapat bertindak lebih jauh lantaran belum ada laporan yang cukup dari masyarakat. Alamsyah mengatakan, "Kita bisa proaktif kalau menyangkut kepentingan banyak orang, untuk melakukan pencegahan.”

Barulah, pada 1 November lalu, Ombudsman membentuk tim khusus untuk meninjau proses administrasi pengurukan pantai dan laut di berbagai provinsi di Indonesia.

Ia menjelaskan, langkah itu diambil setelah ada peningkatan laporan dugaan maladministrasi pelaksanaan reklamasi yang masuk ke Ombudsman. Beberapa di antaranya reklamasi Pantai Makassar, Teluk Jakarta, dan Palu (Sulawesi Tengah).

"Mengevaluasi administratif itu dari regulasi sampai prosesnya. Jadi, dari perizinan sampai praktik," ungkapnya.

Laporan terakhir yang masuk, ujar Alamsyah, adalah dugaan maladministrasi atas pemberian HPL dan HGB Pulau D oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil dan Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Utara, Kasten Situmorang, pada 3 November lalu. Ia mengungkapkan, laporan itu telah disampaikan sejak lama oleh Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta.

“Tapi mereka belum lengkapi laporannya, jadi belum ditindaklanjuti."

Salah satu anggota koalisi, Nelson Nikomendus Simamora, mengatakan sebelumnya Koalisi telah mengajukan keberatan atas terbitnya dua sertifikat pulau reklamasi tersebut pada 14 Agustus lalu. Koalisi menilai, proses penerbitan HPL dan HGB cacat administrasi lantaran tak ada Perda Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Dugaan adanya maladministrasi mengemuka lantaran kedua pulau masih terbelit pelbagai masalah seperti izin lingkungan yang baru diajukan setelah Pulau C dan Pulau D berdiri.

"Ketiadaan izin lingkungan yang diatur dalam rezim hukum lingkungan dan administrasi tersebut juga berimplikasi pada ancaman pidana," ujar pria yang juga pengacara publik LBH Jakarta itu.

Baca juga artikel terkait REKLAMASI TELUK JAKARTA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Hukum
Reporter: Hendra Friana & Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Fahri Salam