tirto.id - Selama beberapa hari terakhir, mama Alex Jones mendadak viral. Ia jadi sasaran blokir para raksasa teknologi sehubungan perilakunya di media sosial. Jones, yang acapkali disebut sebagai pabrik teori konspirasi sayap kanan ini dianggap kelewat brutal beraktivitas di media sosial. Lewat platform bikinannya, InfoWars, Jones rutin menyebarkan informasi-informasi palsu yang berlandaskan pakem othak-athik-gathuk.
Singkatnya, bombastis adalah prioritas. Benar atau tidak, itu urusan belakangan.
Dilansir The New York Times, pada Selasa (14/8), Twitter resmi menangguhkan akun pribadi Jones selama seminggu ke depan. Penyebabnya, Jones kedapatan mengunggah tweet bernada kebencian yang disertai tautan video seruan untuk “angkat senjata” melawan media dan lainnya—entah siapa atau apa yang Jones maksud dengan ‘lainnya’ ini.
Penangguhan tersebut membuat Jones, catat The Guardian, tidak bisa menggunggah tweet maupun me-retweet dari akun pribadinya. Ia hanya bisa mengamati cuitan-cuitan yang bersliweran di linimasa.
Melalui keterangan resminya, Twitter mengatakan bahwa akun Jones dibekukan karena unggahannya dinilai “menghasut kekerasan” serta “melanggar ketentuan perusahaan.” Tak cuma menangguhkan, Twitter juga meminta Jones menghapus tweet terakhirnya. Permohonan itu segera ditindaklanjuti oleh Jones.
Meski begitu, Twitter hanya menangguhkan akun pribadi Jones saja, sementara akun InfoWars masih bebas beroperasi.
Bulan lalu, Twitter mengambil keputusan yang berbeda. Saat itu, di tengah tekanan yang begitu kuat dari perusahaan-perusahaan teknologi lainnya untuk membatasi propaganda Jones, Twitter nyatanya tidak mengambil langkah serupa. Twitter bahkan menilai aktivitas Jones di platform mereka “tidak melanggar aturan main.”
“Kami tidak menangguhkan (akun) Alex Jones atau InfoWars,” tulis Jack Dorsey, Chief Executive Twitter, di sebuah unggahan, dilansir CNBC. “Kami tahu, ini sulit diterima banyak orang. Namun, yang perlu ditegaskan: Jones tidak melanggar peraturan kami. Jika memang ia melanggarnya, kami akan ambil tindakan. Dan tentunya kami akan terus mempromosikan lingkungan percakapan yang sehat di Twitter.”
Sikap Twitter kemudian memantik kritik dari pengguna dan pekerjanya. Mereka menyatakan bahwa Twitter seolah tutup mata dari tindak-tanduk Jones yang jelas-jelas mengkhawatirkan.
Dihajar Raksasa
Twitter bukan satu-satunya perusahaan teknologi yang mengambil langkah keras untuk Jones. Awal Agustus, Apple, Spotify, YouTube, dan Google ramai-ramai memblokir akun Jones.
Facebook, misalnya, menghapus empat fanpage milik Jones. Satu dari sekian page tersebut punya jumlah pengikut sekitar 1,7 juta. Facebook berpendapat, Jones telah “mengglorifikasi tindak kekerasan", "menggunakan bahasa yang tidak manusiawi untuk menggambarkan transgender, Muslim, dan imigran", hingga "menyebarkan berita hoaks".
YouTube memblokir kanal Jones yang telah diikuti 2,4 juta pengguna dengan alasan bahwa siaran-siaran Jones "mendorong kebencian".
Apple menegaskan “tidak mentolerir sedikit pun” tingkah Jones. Spotify juga punya argumen serupa ketika mereka memilih menghilangkan podcast miliknya.
Langkah perusahaan-perusahaan teknologi ini didukung banyak pihak, salah satunya Southern Law Poverty Center. Organisasi nirlaba yang berfokus pada hak-hak sipil ini mengatakan bahwa aktivitas Jones bisa memicu gejolak kebencian dan kekerasan secara masif, mengingat acara-acaranya diikuti jutaan orang.
Tapi, pembela Jones pun angkat suara. Politikus Partai Konservatif Inggris, Nigel Farage, mengatakan lewat Twitter pribadinya bahwa Jones adalah korban kolusi raksasa teknologi. Sedangkan Jones sendiri menyebut upaya penyensoran yang dilakukan para raksasa teknologi ini sebagai “langkah tiran.”
Bebal Mah Bebas
Jadi, apa yang sebetulnya dilakukan Alex Jones sampai-sampai ia dihajar habis-habisan oleh para titan teknologi?
Jones punya banyak predikat. Di satu waktu, ia adalah penyiar radio. Di waktu yang lain, ia pegiat film dokumenter. Lalu, di hari berikutnya, ia bisa menjelma pembawa acara yang kehadirannya dinanti para pemirsa.
Petualangan Jones bermula di Austin, Texas. Vox mencatat, kampung halaman Jones turut membentuk pola pikirnya sebagai produsen teori konspirasi. Pasalnya, Texas dikenal sebagai “pusat budaya tandingan” serta “surganya penggemar teori konspirasi”.
Texas, catat Vox, adalah tempat meleburnya kelompok sayap kanan anti-pemerintah federal dan aktivis radikal dari zaman hippie tahun 1960an. Hasil dari peleburan itu kelak menghasilkan beraneka ragam teori konspirasi yang intinya mengatakan: pemerintah sedang menyusun konspirasi jahat.
Jones memulai debutnya pada pertengahan 1990an, ketika akses internet masih belum semasif sekarang. Lewat siaran radio lokal, ia membikin teori konspirasi yang mengklaim bahwa serangan teroris di Oklahoma pada 1995 “palsu belaka.” Serangan yang menewaskan 168 orang itu, sebut Jones, hanyalah rencana pemerintah—bukan teroris—untuk menggulung orang-orang yang kritis.
Tuduhan Jones didasari oleh insiden Pengepungan Waco 1993. Dalam peristiwa yang terjadi antara 28 Februari dan 19 April 1993 ini, militer dan kepolisian Texas mengepung sebuah kompleks milik sekte Cabang Davidian yang dipimpin David Koresh. Dampak pengepungan tersebut cukup signifikan karena berhasil meradikalisasi aktivis-aktivis ultra-kanan di era pemerintahan Bill Clinton. Seru sikap anti-pemerintah federal oleh milisi-milisi ini tak jarang disertai aksi kekerasan, yang salah satunya terwujud dalam aksi pengeboman di Oklahoma City oleh teroris legendaris Timothy McVeigh.
Sejak itulah Jones kian getol memproduksi teori konspirasi. Memasuki awal tahun 2000-an, Jones membuat situsweb bernama InfoWars dan PrisonPlanet, yang ia gunakan untuk menyebarluaskan pesan-pesan gilanya. InfoWars dan PrisonPlanet memproduksi kaset VHS yang berisi video-video dokumenter serta monolog Jones.
Popularitas Jones lama-lama tak terbendung. Ketika teknologi internet semakin canggih, Jones pun memboyong InfoWars dan PrisonPlanet ke YouTube, agar menjangkau lebih banyak audiens.
Hasilnya tokcer. Pada 2010, masih dilaporkan Vox, saluran PrisonPlanet dan InfoWars di YouTube dikunjungi empat juta pengunjung tiap bulan. Sementara medium lainnya yang berwujud siaran radio, didengar oleh dua orang per bulan. Situsweb InfoWars punya jumlah pengunjung lebih banyak dibanding Economist, Newsweek, bahkan majalah konservatif nomor satu di AS, National Review. Sekitar 10 juta orang diprediksi membuka InfoWars tiap bulannya.
Tiga tahun berselang, Jones diperkirakan mengantongi $10 juta per tahun dari aktivitasnya di media sosial. Status Jones kini bukan lagi penyiar amatir, melainkan, mengutip pendapat Mark Potok dari Southern Poverty Law Center, “produsen utama teori konspirasi Amerika saat ini.” Singkatnya, di kalangan sayap kanan pecinta teori konspirasi, Alex Jones dianggap nabi dan InfoWars adalah kitab sucinya.
Namun, dari hari ke hari, teori-teori Jones makin dahsyat sekaligus kian sulit dinalar. Dalam ceritanya tentang Pizzagate, misalnya, Jones menyatakan bahwa Bill dan Hillary Clinton (yang Jones percaya sebagai "jelmaan iblis") berulangkali melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak di sebuah sebuah toko pizza bernama Comet Ping Pong, Washington DC.
Jones juga berulangkali mengklaim bahwa penembakan massal di SD Sandy Hook pada Desember 2012 adalah “kebohongan belaka.” Menurut Jones, penembakan Sandy Hook adalah plot yang disusun oleh pemerintahan Obama sebagai dalih agar senjata api diatur lebih ketat. Penembakan Sandy Hook sendiri dilakukan Adam Lanza dan menewaskan 27 orang (20 di antaranya anak-anak).
Yang tak kalah absurd, Jones senantiasa menegaskan bahwa pemerintah AS diam-diam telah dikendalikan komplotan rahasia internasional bernama New World Order. Dalam khayalan Jones, New World Order tengah menyetir jalannya pemerintahan Abang Sam.
Daya khayal Jones rupanya hampir tanpa batas. Ia yakin seluruh warga AS akan dijebloskan ke kamp konsentrasi oleh agen federal. Ia percaya “Mafia Yahudi” mengendalikan Uber dan sistem perawatan kesehatan Amerika. Ia berfantasi bahwa film besutan Robert Rodriguez, Machete (2010), bisa memicu perang antara Meksiko dan Amerika. Ia membayangkan pemerintah AS mampu mengontrol cuaca.
Menurut Jones, Michelle Obama aslinya seorang laki-laki, Lady Gaga melakukan ritual pemujaan setan di acara Super Bowl, dan Pentagon menyimpan ‘bom gay’ yang konon bisa membuat seekor katak jadi homoseksual.
Dilihat dari karya-karyanya, Jones sepertinya lebih cocok jadi penulis fiksi, alih-alih komentator politik. Namun, kibul-kibul Jones rupanya semakin laku keras. Southern Poverty Law Center mencatat, jumlah kelompok yang setuju dengan teori konspirasi New World Order-nya Jones mengalami lonjakan signifikan. Pada 2009, jumlah kelompok 'ngablu' ini—yang umum dikenal sebagai “Kelompok Patriot”—hanya sekitar 149. Tiga tahun berselang, angkanya naik drastis jadi 1.360 (800%).
Popularitas Jones pun makin meroket ketika selama kampanye Pilpres 2016, Donald Trump, yang kemudian jadi Presiden AS, tak ragu berulang kali menyanjung Jones sebagai tokoh dengan "reputasi luar biasa.”
Fakta bahwa halusinasi Jones didengar banyak orang, mengingatkan akan teori-teori konspirasi klasik ala Indonesia, mulai dari "Garut kota Illuminati", Soekarno punya harta emas yang bisa bikin Indonesia kaya raya, sampai NASA menyimpan kitab suci Al Qur’an. Tak bisa dipungkiri bahwa narasi-narasi ini kerap luar biasa kreatif sekaligus menggelikan. Namun, konsekuensinya juga tak main-main, apalagi jika menumbuhkan prasangka sektarian di masyarakat.
Pertanyaannya: apakah fiksi-fiksi politik ini bisa dihilangkan? Tentu akan sulit, jika tak ingin dibilang mustahil.
Pun ketika para raksasa teknologi ramai-ramai memblokir kanal Jones. Aktivitas InfoWars dan pendirinya bisa saja dibatasi, tapi bagaimana dengan para pengikutnya yang mungkin malah terdorong untuk semakin giat beternak teori konspirasi dengan dalih menjaga Amerika dari serangan Illuminati dan alien?
Editor: Windu Jusuf