Menuju konten utama

Benarkah Facebook Terlibat dalam Pembantaian Rohingya?

Lewat Facebook, biksu ultra-nasionalis Myanmar menyebarkan hoaks, fitnah, dan kebencian terhadap etnis Rohingya.

Benarkah Facebook Terlibat dalam Pembantaian Rohingya?
Pengungsi Rohingya menyimak berita dari sebuah warung internet di kamp pengungsi Sittwe, Myanmar (21/5/15). REUTERS/Soe Zaya Tun

tirto.id - Lupakan sejenak geger Cambridge Analytica. Penyelidik HAM dan tim investigasi PBB untuk kasus Rohingya di Myanmar mengatakan bahwa Facebook terindikasi memiliki andil dalam terciptanya kerusuhan dan persekusi yang mengakibatkan sekitar ribuan orang tewas dan lebih dari 650 ribu orang mengungsi dari Rakhine, Myanmar, sejak Agustus 2017 lalu.

Anggota tim investigasi Yanghee Lee menyebutkan bahwa Facebook punya popularitas tinggi di Myanmar dan membuatnya jadi faktor kunci penyebaran ujaran kebencian (hate speech) yang menyasar kelompok Rohingya.

“[Facebook] digunakan untuk menyampaikan pesan publik, tetapi kami tahu bahwa para ultra-nasionalis Buddha Myanmar menggunakan Facebook untuk menyebarkan kebencian terhadap Rohingya atau etnis minoritas lainnya,” ujarnya. “Saya khawatir Facebook sekarang berubah jadi binatang buas dan bukan apa yang dimaksudkan pada awalnya.”

Facebook menolak tuduhan tersebut dan menegaskan pihaknya sudah berupaya untuk menjaga iklim kondusif di Myanmar. "Tidak ada tempat untuk ujaran kebencian," tulis Facebook.

“Kami menganggap serius hal ini dan kami telah bekerja dengan para ahli di Myanmar selama beberapa tahun untuk mengembangkan keamanan dan kampanye melawanan ujaran kebencian,” kata juru bicara Facebook kepada BBC.

Beberapa langkah yang sudah dilakukan, menurut klaim Facebook, antara lain menganulir kata-kata yang dianggap bakal memperuncing kerusuhan seperti “kalar” (cercaan kepada Muslim), mengadakan pelatihan tentang media sosial kepada masyarakat sipil, hingga menutup akun-akun yang dianggap ‘bermasalah.’

Di Myanmar, Facebook Adalah Internet

Myanmar telah lama hidup di bawah cengkeraman junta militer yang memberlakukan aturan sensor ketat agar arus informasi bisa dikontrol. Salah satu langkahnya adalah menetapkan harga yang tinggi untuk kartu SIM ponsel.

Pada 2011, kala Thein Sein duduk di kursi presidenan, pemerintah Myanmar memutuskan untuk melonggarkan sensor. Kebijakan ini turut berdampak pada terbukanya akses internet, turunnya harga kartu SIM ponsel (dari yang semula $3.000 menjadi $1), serta meledaknya penggunaan teknologi seluler.

Salah satu pihak yang diuntungkan dari keterbukaan ini adalah Facebook. Sebagaimana diwartakan The New York Times, selepas sensor dilonggarkan dan teknologi seluler mulai berada di genggaman masyarakat Myanmar, Facebook dapat menarik sekitar 30 juta pengguna dalam kurun waktu 2014 sampai sekarang.

Tingginya angka tersebut memperlihatkan antusiasme masyarakat dalam beraktivitas di Facebook. Di Facebook, mereka seperti bisa melakukan apa saja. Bahkan, lebih banyak warga Myanmar yang punya akses ke Facebook dibanding jaringan listrik di rumah mereka. Facebook, singkat kata, telah menjadi bagian dari hidup masyarakat Myanmar. Facebook adalah internet dan begitu juga sebaliknya.

“Facebook telah menjadi semacam internet secara de facto untuk Myanmar,” ungkap Jes Kaliebe Petersen, kepala eksekutif Phandeeyar, pusat teknologi sekaligus mitra Facebook di Myanmar kepada The New York Times. “Ketika orang beli smartphone, Facebook sudah terpasang.”

Namun, ada harga yang harus dibayar untuk pengadopsian internet Myanmar. Tej Parikh dalam “Social Media Exhibits Its Disruptive Power in Myanmar” yang terbit di The Diplomat menyebut tingginya akses internet dan Facebook di Myanmar turut meningkatkan sentimen terhadap minoritas Rohingya yang digulirkan oleh biksu-biksu ultra-nasionalis.

Lewat internet, terutama Facebook, mereka menyebar fitnah yang ganas sampai ujaran kebencian yang pada akhirnya mampu membentuk skeptisisme masyarakat akan keberadaan Rohingya. Dari kebencian kelompok tertentu menjadi kebencian berskala nasional—dan Facebook adalah media penyalurnya.

Beberapa konten anti-Rohingya yang beredar di Facebook antara lain karikatur rasis, foto palsu, sampai laporan-laporan menyesatkan. Konten-konten itu kemudian jadi viral, mendorong kebencian, hingga membentuk persepsi publik akan Rohingya. Kekerasan terhadap Rohingya semakin dilegitimasi dan dirayakan sebagai “keberhasilan negara.”

Salah satu pihak yang getol berlaku seperti ini adalah Ashin Wirathu yang mempunyai ratusan ribu pengikut di Facebook. Setiap hari, ia mengunggah informasi yang menyudutkan Rohingya. Menyebut Rohingnya sebagai “orang luar yang agresif,” membagikan foto maupun video biksu yang tewas “akibat serangan Rohingya,” hingga narasi-narasi lainnya yang menegaskan bahwa Rohingya merupakan ancaman bangsa dan agama.

Facebook berkali-kali memblokir akun Wirathu, tapi ia selalu saja berhasil membikin akun baru dan meneruskan kebenciannya kepada Rohingya lewat Facebook. Dalam satu wawancara, ia pernah mengatakan, apabila Facebook menghapus akunnya, ia tinggal membuat akun lagi. Ia juga menambahkan jika ada yang tak suka dengan unggahannya di Facebook, “mereka bisa menuntut saya.”

Selain Wirathu, ada pula Thu Seikta, biksu ultra-nasionalis dari Yangon yang menggunakan Facebook sebagai alat mobilisasi massa. Ia menyerukan pada pengikutnya untuk menentang penggunaan istilah “Rohingya” serta mengajak mereka mengintimidasi orang-orang Muslim di sekitaran Pagoda Shwedagon.

Dalam satu kesempatan, Seikta pernah mengatakan eksodus Rohingya ke Bangladesh membuatnya bahagia. Ia menambahkan, “Mereka [Rohingya] adalah orang paling berbahaya di dunia. Wajar jika mereka pergi ke rumah mereka [Bangladesh]. Jika mereka kembali ke sini, akan ada lebih banyak kekerasan.”

Tak hanya digunakan kelompok ultra-nasionalis, Facebook juga digunakan pemerintah dan militer untuk melancarkan propaganda yang semakin memperkeruh suasana. Misalnya saja Zaw Htay, juru bicara Aung San Suu Kyi, yang mengunggah lusinan gambar yang memperlihatkan seolah-olah orang Rohingya membakar rumah mereka sendiri. Meski gambar-gambar itu banyak ditentang, Facebook tak menghapusnya.

Lalu ada Min Aung Hlaing, panglima tertinggi angkatan bersenjata Myanmar yang berkali-kali menegaskan melalui akun Facebook dan Twitter-nya bahwa operasi di Rakhine adalah respons atas “upaya bengis ekstremis untuk membangun sebuah kubu.” Pembenaran itu lantas dibagikan ke 1,3 juta pengikutnya.

Pemberitaan pemerintah tentang Rohingya, catat Parkih dalam tulisannya di The Diplomat, dibuat secara tidak proporsional. Bagi pemerintah, tak ada yang namanya pelanggaran HAM. Lewat Facebook, pemerintah dan militer Myanmar dalam kasus Rohingya, kian gencar melakukan propaganda bahwa apa yang mereka lakukan terhadap kelompok Rohingya—membantai, memperkosa, dan mengusir—dapat dibenarkan.

Di saat bersamaan, pemerintah juga menggunakan Facebook untuk mengawasi mereka yang kritis atas isu Rohingya. Siapa yang mengatakan pemerintah dan militer bersalah sekaligus dianggap mencemarkan nama baik kedua institusi itu, maka penjara merupakan balasannya. Walaupun pemerintah melonggarkan kebijakan sensor, tapi mereka tak benar-benar melonggarkan sepenuhnya. Militer masih mengontrol akses informasi dan membungkam masyarakat sipil yang kritis terhadap pemangku kebijakan.

Pada dasarnya, Facebook tidak selalu mengawasi miliaran unggahan maupun status yang beredar di seluruh dunia tiap harinya. Dalam menanggulangi kasus-kasus seperti “pelanggaran konten” (menyebar hoaks, foto vulgar), Facebook hanya mengandalkan apa yang disebut “standar komunitas” (pengguna melaporkan unggahan yang negatif, diproses Facebook, dan ditentukan apakah dapat dihapus atau tidak) yang seringkali justru membingungkan.

Ihwal kebingungan “standar komunitas” ini juga berlaku pada kasus Rohingya. Ketika Facebook kerap membiarkan unggahan hoaks dari kelompok ultra-nasionalis dan militer tentang Rohingya, mereka justru menghapus bukti-bukti pelanggaran HAM oleh negara yang dipublikasikan aktivis dan LSM dengan alasan “bermuatan kekerasan.”

Infografik Facebook dan Rohingya

Media Sosial, dari Alat Demokrasi ke Pembunuh Demokrasi

Sara Badoura dalam “The Role of Social Media in the Arab Spring” yang diterbitkan University of Southern Denmark menyebut media sosial menjadi alat protes yang ampuh sekaligus efisien guna menggoyang rezim lalim. Media sosial, tulis Sara, seketika jadi ancaman dan tekanan bagi pemerintah.

Pada 2011, di Mesir, revolusi berkobar dari laman Facebook yang dibuat Wael Ghonmin. Laman tersebut ia dedikasikan untuk Khaled Said yang tewas disiksa aparat. Kematiannya menjadi salah satu pemicu kemarahan masyarakat atas rezim Hosni Mubarak.

Di Tunisia, situasinya juga setali tiga uang. Dengan Facebook dan Twitter, masyarakat menggalang kekuatan melawan Zine Ben Ali. Kemarahan masyarakat kian membuncah kala Mohamed Bouazizi membakar dirinya karena barang dagangannya dijarah aparat polisi.

Peran media sosial dalam aksi protes di kedua negara tersebut berandil dalam menurunkan Mubarak dan Ben Ali. Dari situ, api perlawanan lantas menyebar ke negara sekitar dan kelak dicatat sebagai “Arab Spring.”

Sebelum Arab Spring meletus, media sosial telah lebih dulu digunakan di Iran dan Moldova pada 2009 untuk memprotes kecurangan pemilu. Masyarakat Iran menolak kemenangan Mahmoud Ahmadinejad yang penuh manipulasi. Sementara masyarakat Moldova menentang kemenangan Partai Komunis Republik Moldova yang dianggap tak sah.

Baik masyarakat Iran maupun Moldova sama-sama menggunakan media sosial—Facebook dan Twitter—untuk sarana komunikasi, menyebarkan kabar terkini dari dalam negeri, mengumumkan jadwal demonstrasi, merilis peringatan soal pengawasan aparat, dan yang terpenting, menjaga elan perlawanan.

Sedangkan di Guatemala, media sosial juga punya peran penting dalam aktivisme politik, sebagaimana ditulis Summer Harlow dalam “Social Media and Social Movements: Facebook and an Online Guatemalan Justice Movement that Moved Offline" (2011). Di Guatemala, Facebook punya andil besar menyatukan puluhan ribu orang yang dibuat marah atas skandal rekayasa pembunuhan pengacara Rodrigo Rosenberg.

Media sosial, catat Harlow, tidak hanya jadi media mobilisasi massa namun juga jadi titik balik lahirnya gerakan yang sama di dunia nyata. Facebook hanya pemantik, lalu terus berlanjut secara offline sampai sekarang.

Namun, narasi-narasi akademik dan populer tentang peran positif media sosial lambat laun berubah seiring dengan fenomena bangkitnya kekuatan sayap kanan dan populisme di seluruh dunia. Media sosial yang pada satu dekade silam digunakan sebagai alat protes terhadap pemerintahan lalim dan berbagai ketidakadilan, sekarang digunakan kelompok-kelompok fasis untuk menancapkan dominasinya.

David Brooker dan Julie Barnett dalam “Where is the Alt Left on Social Media?” menyebut gerakan sayap kanan telah memanfaatkan media sosial secara efektif dalam dua peristiwa besar pada 2016: terpilihnya Donald Trump dan Brexit.

Mereka menambahkan, kelompok sayap kanan memanfaatkan blog, cuitan, tagar, sampai meme untuk mempropagandakan supremasi kulit putih, Islamofobia, homofobia, anti-Semitisme, anti-feminisme, dan anti-imigran.

Mereka bahkan menggunakan media sosial untuk menggalang aksi seperti yang dilakukan kelompok neo-nazi sebelum demonstrasi di Charlottesville yang berujung ricuh dan menewaskan satu orang. Atau sama halnya yang dilakukan Thu Seikta kala menghimpun massa untuk mengintimidasi orang-orang Muslim di sekitaran Pagoda Shwedagon.

Tak jarang, dalam menyampaikan ide-ide mereka terselip propaganda hoaks hingga hate speech seperti yang dilakukan kelompok ultra-nasionalis di Myanmar kepada penduduk Rohingya.

Richard Hasen pengajar ilmu politik dari University of California mengatakan bahwa internet dan media sosial mempermulus aksi-aksi kelompok sayap kanan.

“[…] Aksi mereka menjadi lebih mudah untuk diatur; menyebarkan berita, menentukan titik bertemu, mengumpulkan donasi, sampai melakukan serangan di media sosial. Tak cuma di dunia maya, tapi juga dalam kenyataan,” tegasnya.

“Ditambah lagi keberadaan informasi palsu memperkuat prasangka mereka. Keduanya, informasi palsu dan sayap kanan, lantas bisa saling membangun.”

Baca juga artikel terkait KRISIS ROHINGYA atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Politik
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf