tirto.id - Menjelang Ramadan, Satgas Penanganan COVID-19 mengeluarkan surat edaran yang intinya menyatakan Genose boleh digunakan untuk screening COVID-19 sebelum penerbangan domestik. Kebijakan ini dinilai tidak tepat.
"Pemilihan [strategi screening] itu harus berdasarkan rekomendasi WHO. Sejauh ini rekomendasi baru dua, yaitu PCR sebagai gold standard dan tes rapid antigen," kata epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman kepada reporter Tirto, Selasa (30/3/2021). "Dalam hal ini testing, kalau bicara kualitas, pilih yang sudah direkomendasikan," tambah Dicky.
Dicky mengingatkan bahwa saat ini kondisi pandemi di Indonesia, kendati menurun, tapi masih jauh dari terkendali. Pada Senin (29/3/2021) lalu ditemukan 5.008 kasus dari tes terhadap 39.042 orang sehingga positivity rate mencapai 12,8 persen, lebih dari dua kali lipat batas maksimal yang ditetapkan WHO yakni 5 persen.
Indonesia juga dibayang-bayangi dengan penyebaran varian baru virus COVID-19. Karenanya, pemerintah justru harus makin memperkuat kualitas dan kuantitas dari 3T (testing, tracing, treatment).
Genose merupakan alat penapisan COVID-19 karya Universitas Gadjah Mada (UGM) yang penelitiannya didanai Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN). Alat yang nama panjangnya Gadjah Mada Electronic Nose ini diklaim mampu mendeteksi virus COVID-19 dalam waktu cepat, sekitar 80 detik saja.
Orang yang dites cukup mengembuskan nafas dan sensor dengan kecerdasan buatan akan mengidentifikasi apakah terdapat Volatile Organic Compound (VOC) atau tidak. Hasil tes dinyatakan reaktif jika VOC terdeteksi.
Selain mengatakan sebaiknya pemerintah tidak menggunakan Genose, Dicky bilang tim peneliti Genose sebaiknya melakukan studi cohort atas alatnya terhadap populasi umum sehingga klaim ketepatan diagnosis bisa divalidasi. Diklaim akurasinya mencapai 97 persen. Dicky mengatakan pengujian alat ini dilakukan terhadap populasi rumah sakit sehingga hasilnya tidak representatif.
NIHR Felow dari Department of Biostatistics and Health Informatics King’s Colege London Ihsan Fadilah juga pernah menyoroti soal ini akhir Januari lalu. Dia mengatakan desain penelitian Genose di komunitas tidak representatif.
Merujuk pada registri studi peneliti Genose, menurutnya jika tujuannya untuk penapisan, seharusnya yang menjadi subjek penelitian adalah kontak erat atau suspek COVID-19 di masyarakat, sementara dalam fase 1 penelitian (machine learning model development) peneliti menggunakan 43 subjek positif COVID-19 dan 40 subjek negatif COVID-19 dari Rumah Sakit Bhayangkara dan RSLKC Bambalipuro Yogyakarta. "Jauh dari populasi target, hanya sejumlah sampel kecil, diduplikat, dan subjek dari rumah sakit bukan dari komunitas," katanya.
Sementara pada penelitian fase 2 (external validation/uji diagnostik/uji klinik) sampelnya adalah pasien suspek COVID-19 yang datang ke fasilitas rawat jalan rumah sakit.
"Jadi Genose ini model machine learning-nya sudah tidak dilatih di sampel yang sesuai realitas, divalidasi di sampel yang tidak sesuai tujuan juga. Bias," simpul Ihsan.
Ia menyarankan alih-alih pada komunitas, sebaiknya Genoce diaplikasikan hanya pada pasien suspek di rumah sakit atau pasien rawat jalan.
Penggunaan Genose sebagai alat tes sebelum perjalanan tertuang dalam Surat Edaran Satgas Penanganan COVID-19 Nomor 12 tahun 2021. Pelaku perjalanan udara wajib menunjukkan surat keterangan negatif COVID-19 berdasarkan tes PCR yang berlaku 3 hari, tes rapid antigen yang berlaku 2 hari, dan tes Genose yang sampelnya diambil sesaat sebelum perjalanan. Ketentuan serupa berlaku untuk perjalanan laut.
"Penggunaan alat deteksi dini COVID-19 berbasis embusan nafas hasil produksi dalam negeri, GeNose C19, akan diperluas pada seluruh moda transportasi sebagai alternatif screening kesehatan pelaku perjalanan orang dalam negeri," kata Ketua Satuan Tugas COVID-19 Doni Monardo sebagaimana ditayangkan di situs resmi Sekretariat Kabinet RI, setkab.go.id, Senin.
Salah satu pendiri PandemicTalks, Firdza Radiani, menilai kebijakan ini ironis karena dikeluarkan beberapa hari setelah pemerintah mengumumkan melarang mudik lebaran 2021. Firdza mengatakan spirit dari Genose adalah mempermudah masyarakat dalam bepergian dengan tes yang mudah dan murah, padahal pelarangan mudik bertujuan untuk membatasi mobilitas warga agar tak menularkan COVID-19 di daerah tujuan.
"Kalau ingin melarang mudik, justru syarat naik pesawat, kereta, bus, dan mobil untuk lintas daerah menggunakan tes PCR, atau ekstremnya selama periode mudik dilakukan penutupan untuk bandara, stasiun, terminal, dan perbatasan kota/provinsi," kata Firdza kepada reporter Tirto.
Pemerintah pun bisa dikatakan nekat dengan kebijakan ini. Berkaca pada Lebaran tahun lalu, meskipun telah dijaga cukup ketat, nyatanya mudik masih saja terjadi. Akibatnya, kenaikan kasus harian melonjak 60 persen. Pada tanggal sebelum mudik, kasus harian tak pernah mencapai 1.000, pada 23 Mei terdapat 949 kasus baru dan 25 Mei hanya ditemukan 479 kasus baru. Namun pekan kedua setelah lebaran, kasus harian melonjak hingga 1.250.
Pada hari lebaran, kasus kumulatif COVID-19 mencapai 22.271. Dua minggu berselang, jumlahnya melonjak 44 persen menjadi 32.033. Lonjakan ini diikuti dengan meningkatnya kematian hingga 37 persen dalam kurun waktu dua minggu.
"Ini keputusan buru-buru pemerintah untuk menaikkan atau mengembalikan ekonomi di industri penerbangan dan pariwisata," kata Firdza.
Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan hasil tes Genose sebagai syarat perjalanan telah dipertimbangkan dengan baik. "Pada prinsipnya setiap kebijakan disusun dengan berbagai pertimbangan termasuk pelaksana teknis di lapangan maupun pakar di bidangnya," kata Wiku dalam konferensi pers dari Gedung BNPB, Jakarta, Selasa (30/3/2021).
Meski begitu dia mengatakan pemerintah sadar penggunaan Genose bisa memicu lonjakan kasus karena masyarakat jadi lebih gampang melakukan perjalanan. Terkait ini, dia mengatakan: "Mengingat adanya konsekuensi dari kemudahan prasyarat akses perjalanan menggunakan Genose, kebijakan teknis operasional pelarangan mudik akan ditetapkan... untuk menghindari lonjakan kasus saat Lebaran."
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino