tirto.id - Kivlan Zen telah menjalani agenda konfrontasi antara dia dengan Iwan Kurniawan dan Habil Marati. Konfrontasi berkaitan dengan rencana pembunuhan empat tokoh nasional dan satu pimpinan lembaga survei.
Kuasa Hukum Kivlan, Muhammad Yuntri membantah jika kliennya menerima uang senilai SGD15.000 atau setara Rp150 juta dari Habil.
"Kalau yang SGD15.000 setara Rp150 juta murni uangnya Pak Kivlan. Uang yang dari kantong beliau sendiri," ucap Yuntri saat dikonfirmasi, Kamis (20/6/2019).
Uang tersebut, lanjut dia, didapat Kivlan atas jasanya yang telah membebaskan sandera kelompok Abu Sayyaf di Filipina pada tahun 2016.
"Itu uang jasa atau uang operasional yang diberikan Menteri Pertahanan dan Panglima TNI waktu ia pernah membebaskan sandera di Filipina. Tak ada aliran dana yang berasal dari Habil dan kemudian ditujukan untuk membeli senjata," kata Yuntri.
Kivlan menggunakan uang itu guna demonstrasi antikomunis di Monas, Jakarta Pusat. Purnawirawan TNI itu memberikan uang tersebut kepada Iwan untuk mengerahkan massa.
"Karena Iwan dari dahulu mengatakan dia punya massa, dia punya banyak orang yang bisa disuruh untuk demo. Ada dari Jawara Banten dan lainnya," sambung Yuntri.
Selain itu, Kivlan mengakui jika menerima uang senilai 4000 dolar Singapura dari Habil untuk keperluan demo dan sosialisasi di acara Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 2018. “Iya, menerima SGD4.000. Ditambah lagi oleh Kivlan, menjadi total Rp50 juta," ucap Yuntri.
Sementara itu, Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, AKBP Ade Ary Syam mengatakan Habil memberikan dana Rp150 juta kepada Kivlan untuk keperluan membeli senjata api.
"Uang yang diterima tersangka Kivlan berasal dari Habil untuk pembelian senjata api, juta memberikan uang Rp60 juta langsung kepada tersangka Iwan, untuk biaya operasional serta pembelian senjata api," jelas Ade Ary di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Selasa (11/6/2019).
Kivlan juga disebut-sebut menginstruksikan langsung para tersangka kasus penyelundupan senjata untuk membunuh empat tokoh nasional dan satu pimpinan lembaga survei. Ia merasa difitnah dalam konfrontasi itu.
Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menyatakan pendapat Kivlan adalah hak. "Kalau itu merupakan hak konstitusional dari yang bersangkutan dalam pemeriksaan, silakan saja. Polri tetap profesional melakukan proses penyidikan selama ini," ujar dia di Mabes Polri, Rabu (19/6/2019).
Penyidik, lanjut dia, dalam pembuktian perkara bertindak sesuai dengan peraturan. Penyiksaan perlu mencari berbagai bukti dan keterangan seperti keterangan saksi, saksi ahli, keterangan tersangka dan dokumen.
"Semua itu didalami oleh penyidik. Kalau tersangka tidak mengakui perbuatannya (merasa difitnah), itu merupakan hak konstitusional yang bersangkutan," sambung Dedi.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Irwan Syambudi