tirto.id - Hak politik Pegawai Negeri Sipil (PNS) diwacanakan dihapus. Ide itu disampaikan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) setelah meneliti lima daerah yang tahun ini menyelenggarakan pilkada serentak: Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara.
Menurut Direktur Eksekutif KPPOD, Robert Na Endi Jaweng, pencabutan hak politik PNS diperlukan karena masifnya keterlibatan mereka dalam kontes lima tahunan tersebut—meski secara legal telah dilarang.
Penelitian mereka menunjukkan bahwa ada 80 kasus keterlibatan PNS dalam proses pilkada 2018. Kampanye di media sosial menjadi perkara terbanyak dengan jumlah 24 kasus. Pelanggaran terbanyak kedua, 20 kasus, adalah ketika PNS ikut deklarasi calon kepala daerah. Bentuk pelanggaran lainnya adalah PNS ikut berkampanye, berfoto dengan calon, berhubungan dengan partai politik, menjadi tim sukses, memasang alat kampanye, mengukuhkan tim relawan dan sosialisasi.
Sudah ada 219 PNS yang diberhentikan sementara karena terbukti tak netral. Jumlah PNS yang sudah memperoleh surat teguran pertama dan kedua bahkan telah mencapai lebih dari satu juta orang.
Selain temuan-temuan pelanggaran di atas, Robert menganggap ada empat potensi umum penyalahgunaan PNS oleh kepala daerah petahana.
Pertama, PNS disebutnya kerap dimanfaatkan dua tahun sebelum pilkada dalam hal implementasi program dan kegiatan di daerah. Segala kerja dan karya PNS yang dianggap berhasil dalam rentang waktu itu, ujar Robert, pasti "dibonceng" dan diklaim sebagai keberhasilan petahana.
"Kedua, PNS jadi tim penyusun visi dan misi kepala daerah karena mereka ini yang menguasai data dan daerah," ujar Robert kepada Tirto, Senin (25/6/2018).
Ketiga, lanjutnya, besar kemungkinan PNS memfasilitasi tim sukses dan petahana untuk menjalankan kerja politik. Terakhir, mereka bisa terlihat memberi dukungan langsung kepada sang petahana, baik melalui kehadiran di saat kampanye atau memberi komentar serta tanda tertentu di media sosial.
Pencabutan hak politik dinilai bisa mengatasi masalah itu. Dengan tidak bisa memilih ketika hari pencoblosan, segala pelanggaran yang disebut di atas tidak ada artinya.
Selain itu, pencabutan hak politik juga penting karena posisi PNS yang membingungkan. Di satu sisi sejauh ini mereka masih bisa memilih calon, di sisi lain tak boleh mengekspresikan preferensi politiknya di ruang publik.
"Itu kan ambigu sekali. Bagaimana orang yang diberikan hak politik tapi tidak boleh mengekspresikan haknya, entah di FB dan sebagainya? Kalau memang tak mau terjadi begitu ya cabut saja hak politiknya," ujar Robert.
KPPOD menganggap pencabutan hak politik PNS juga harus diikuti dengan pencabutan hak pembinaan kepegawaian yang selama ini dipegang kepala daerah. Keberadaan kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK) dianggap alasan utama kenapa politisasi birokrasi bisa terjadi.
"Harus dicabut dan diberikan pada sekda. Kalau hak politik dicabut tetapi nasibnya dia (PNS) yaitu promosi, demosi, tergantung kepala daerah, ya dia tetap tergantung dengan kepala daerah," ujar Robert.
Bukan Solusi Tunggal
Saat ini ada sekitar 4,37 juta PNS aktif. Aturan spesifik mengenai PNS dapat ditemui salah satunya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.
Beleid itu menyebut 7 larangan bagi PNS dalam melakukan kegiatan politik. Beberapa di antaranya, mereka dilarang menjadi pembicara pada kegiatan pertemuan parpol dan melakukan foto bersama dengan calon kepala daerah.
Usul KPPOD agar kuasa terhadap PNS dialihkan dari kepala daerah ke sekda senada dengan ide Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Ketua Umum Korpri Zudan Arif Fakrulloh berkata, idealnya birokrasi memiliki sistem yang otonom dari keberadaan kepala daerah selaku eksekutif.
Zudan membayangkan otonomi birokrasi dapat menempatkan sekda atau sekjen masing-masing kementerian sebagai pembina PNS. Sekda dan sekjen merupakan pejabat yang berasal dari Golongan I PNS.
Jika posisi pembina PNS dipegang oleh pejabat yang juga pegawai sipil, Zudan meyakini PNS dapat berkarier lebih nyaman dan tenang tanpa terpengaruh kompetisi politik lima tahunan.
"Ini [konsep otonomi birokrasi] memang tidak nyaman bagi bupati dan wali kota karena tidak bisa mengontrol langsung PNS. Tapi kalau sekarang pembina kepegawaiannya bupati dan wali kota, tiap lima tahun dunia PNS di daerah dan kemungkinan di pusat akan terganggu," ujar Zudan kepada Tirto.
Meski mendukung peralihan kuasa atas PNS dari kepala daerah ke sekda, Korpri masih menganggap penting keberadaan hak politik bagi ASN. Saat ini, ujar Zudan, ketiadaan hak politik justru dapat merugikan PNS karena lemahnya daya tawar mereka di hadapan kepala daerah.
Ia mencontohkan, selama masih memiliki hak politik, PNS memiliki posisi tawar agar tidak diperlakukan semena-mena oleh kepala daerah. Perlakuan semena-mena yang dimaksud contohnya pencopotan jabatan atau demosi oleh kepala daerah.
"Jadi kalau mau [PNS] tidak diberi hak politik, harus ada otonomi birokrasi. Kalau ASN tidak punya hak pilih, sedangkan atasannya perintah, kalau ia tidak nurut dan dicopot terus bisa apa? Tapi kalau masih punya hak pilih, masih punya power untuk bargaining," ujar Zudan.
Tanggapan Pemerintah dan DPR
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menganggap wacana pencabutan hak politik PNS tak akan bisa terwujud tanpa adanya revisi berbagai peraturan. Menurutnya, pembahasan ihwal hak politik PNS harus dilakukan oleh pemerintah dan DPR.
"Kalau nanti ada Undang-Undangnya ya kami ikut," ujar Tjahjo di Mabes Polri, Senin (25/6/2018).
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar mengatakan wacana mencabut hak politik PNS harus dikaji secara komprehensif. Hal ini tak bisa dilakukan terburu-buru, dan bisa dilakukan dengan belajar dari negara lain.
Anggota Komisi II DPR RI dari fraksi PKS, Sutriyono, menganggap wacana pencabutan hak politik PNS sebagai ide yang bagus. Akan tetapi, ia menganggap itu hanya bisa menjadi solusi sementara hingga terciptanya sistem yang memadai agar PNS tidak dimanfaatkan kepala daerah jelang pilkada.
"Sebagai sebuah langkah antisipasi, boleh saja," ujar Sutriyono.
Pandangan berbeda disampaikan politikus Gerindra Azikin Solthan. Anggota Komisi II DPR itu menganggap akar persoalan seputar PNS dan pilkada bukan pada hak politik, namun sistem pemilihan yang digunakan dalam memilih kepala daerah.
Menurutnya, jika pilkada dilakukan secara tidak langsung, maka akan kecil kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang seperti sekarang.
"Jika mau konsisten, harusnya kembali ke pemilihan berdasarkan permusyawaratan perwakilan. Masalahnya di sistemnya, bukan di hak politik ASN," ujar Azikin.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino