tirto.id - Pada 3 April 2018, Wapres Jusuf Kalla (JK) memberikan angin segar soal rencana pemerintah mengangkat guru honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mereka diharapkan akan menggantikan posisi 5 ribu guru yang pensiun setiap tahunnya.
Jika janji tersebut direalisasikan, maka ini akan menjadi kenyataan yang indah untuk para guru honorer. Selama ini, para guru honorer kerap tidak mendapatkan penghargaan yang layak dari pemerintah untuk setiap pengabdiannya. Bagaimana sebenarnya guru honorer bekerja selama ini?
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil junctoPeraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012, tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban APBN atau APBD.
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Tenaga Honorer diganti dengan istilah Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). PPPK, seperti yang dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 2014 Pasal 1 Nomor 4, yaitu warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun pelajaran 2017/2018, jumlah guru honorer daerah sebesar 155.096 orang atau sekitar 1/8 dibandingkan guru dengan status PNS. Jumlah guru tetap dengan status PNS sendiri sebesar 1.276.220 orang.
Guru honorer daerah paling besar berada di tingkat Sekolah Dasar. Jumlahnya mencapai 99.978 orang pada periode 2017/2018. Sedangkan, pada tingkat SMP dan SMA jumlahnya masing-masing sebesar 37.077 dan 18.041.
Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, guru honorer tersebar di beberapa kota di Indonesia. Pada jenjang SD misalnya, Jawa Timur memiliki paling banyak guru honorer dengan 9.318 dari total 99.978 guru.
Posisi selanjutnya ditempati oleh Jawa Tengah dengan 7.642 guru dan Sulawesi Selatan dengan 7.417 guru. Kemudian pada tingkat SMP, jumlah guru honorer terbanyak berada di Sumatera Utara dengan 2.919 dari total 37.077 guru. Posisi selanjutnya diisi oleh Riau dengan 2.824 guru dan Nusa Tenggara Timur dengan 2.783 guru.
Sementara pada jenjang SMA, jumlah guru honorer terbanyak berada di Riau dengan 1.999 dari total 18.041 guru. Posisi selanjutnya ditempati Aceh dengan 1.324 guru dan disusul Nusa Tenggara Timur dengan 1.181 guru.
Pengangkatan guru honorer menjadi PNS sangat perlu dilakukan. Hal ini disebabkan rasio guru per murid di Indonesia masih banyak yang berada di bawah rata-rata nasional, baik di jenjang SD, SMP, maupun SMA. Secara keseluruhan, ada 11 provinsi di Indonesia dengan rasio guru per siswa di bawah rata-rata nasional. SMP merupakan jenjang pendidikan dengan penyumbang terbesar, diikuti oleh jenjang SD dan SMA.
Pada tahun pelajaran 2017/2018, untuk tingkat Sekolah Dasar, Papua merupakan provinsi dengan rasio guru terendah, yaitu 1:28. Artinya, 1 orang guru melayani 28 murid. Padahal, rata-rata nasional adalah 1:17. Sedangkan Jawa Barat merupakan provinsi degan rasio guru terendah untuk jenjang pendidikan SMP dan SMA pada periode yang sama.
Rasionya masing-masing untuk SMP dan SMA adalah 1:22 dan 1:19. Padahal, di tingkat nasional, rata-ratanya baik SMP maupun SMA sebesar 1:16. Pengangkatan guru honorer menjadi PNS memang tidak terelakkan. Dengan perubahan status ini, guru honorer yang awalnya tidak mendapat kejelasan mengenai pendapatan dan tunjangan, selanjutnya akan memiliki kepastian.
Selain itu, pemerintah pun perlu melakukan penataan dan pemerataan guru honorer. Redistribusi perlu dilakukan agar mereka dapat berkontribusi dan membantu kebutuhan guru di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan. Dengan demikian, guru honorer yang nantinya diangkat menjadi PNS dapat menjadi jawaban dalam upaya menekan kekurangan guru secara nasional.
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Suhendra