Menuju konten utama

Nasib Tragis Guru Honorer

Ribuan guru honorer berdemonstrasi menuntut diangkat jadi PNS. Namun, pemerintah terbatasi hukum dan anggaran. Ada tiga alternatif terkait persoalan guru honorer. Yaitu guru yang memenuhi syarat, harus diangkat jadi PNS. jika tidak memenuhi persyaratan jadi PNS guru honorer harus disertifikasi sehingga bisa mendapat tunjangan profesi guru. dan jika tidak memenuhi persyaratan sertifikasi, maka gaji sesuai UMK/UMP.

Nasib Tragis Guru Honorer
Ribuan guru honorer yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menggelar aksi mogok dan unjuk rasa di depan gedung DPR/MPR, Jakarta. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Ribuan guru honorer berkumpul di depan Istana Negara pada 10 Februari 2016. Mereka melakukan aksinya selama tiga hari berturut-turut untuk menuntut pemerintah agar mengangkat mereka menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tuntutan ini dipicu tidak dianggarkannya pengangkatan langsung tenaga honorer kategori K2 (honorer yang tidak diupah dari APBD dan APBN) di dalam APBN 2016.

Guru honorer masygul. Dalam pertemuan dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan guru honorer pada September 2015 silam, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Yuddy Chrisnandi, menyatakan pemerintah akan angkat tenaga honorer kategori K2 yang berjumlah 439.956 secara bertahap.

Rupanya janji pak menteri terbentur aturan dan anggaran. Tidak adanya pengangkatan langsung honorer menjadi PNS terkait dengan moratorium penerimaan PNS sejak 2015. Menteri PAN-RB, Yuddy Chrisnandi, secara tegas mengatakan moratorium ini masih berlaku masih berlaku pada 2016.

Moratorium penerimaan dan pengangkatan PNS ini menurut Yuddy harus dilakukan karena jumlah PNS sudah 4.517.000 pegawai. Angka tersebut tidak efektif dan fantastis, mengingat rasio kepegawaian yang wajar terhadap jumlah penduduk secara nasional ada pada angka 1,77. Di beberapa daerah, bahkan ada yang rasio kepegawaiannya terhadap jumlah penduduk setempat mencapai angka 2,5-3. Dengan rasio tinggi, belanja anggaran pegawainya juga besar.

Selain itu, keterbatasan anggaran negara juga menjadi penyebabnya. Yuddy menjelaskan, belanja pegawai pemerintah pusat saat ini telah melebihi 42 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara itu, di tingkat daerah ada yang malah mencapai 80 persen. Lebih dari 125 kota/kabupaten di Indonesia belanja pegawainya bahkan sudah melebihi 50 persen.

Memang ada pengecualian untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Dua bidang kerja itu masih dapat dilakukan penerimaan pegawai baru khususnya di daerah-daerah perbatasan atau terluar. Selain untuk kebutuhan daerah terpencil, ada juga slot perekrutan CPNS sistem Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Pengangkatan di daerah bisa dilakukan jika ada posisi yang harus diisi segera. Itupun bersyarat. Anggaran pegawai di daerah bersangkutan haruslah memadai.

Nasib guru honorer menjadi tak jelas karena kebanyakan tak bisa masuk dua jalur yang masih tersedia itu. Padahal, jumlahnya tak bisa dibilang sedikit. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, total jumlah guru 3.015.315. Jumlah itu terdiri dari 2.294.191 guru PNS dan guru tetap yayasan (GTY). Sisanya, sebanyak 721.124 merupakan merupakan guru tidak tetap atau honorer K2.

Gaji Guru dan Kualitas Pendidikan

Kualitas guru merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kualitas pendidikan. Sementara kualitas guru ditentukan oleh beragam faktor, salah satunya soal gaji dan tunjangan. Faktor lainnya berkaitan dengan kompetensi, pengembangan karier, pelatihan, dan juga pemberdayaan.

Soal gaji, berdasarkan laporan Education Efficiency Index, Indonesia termasuk negara yang paling kurang mengapresiasi guru. Dari 30 negara yang masuk dalam survei tersebut, gaji guru di Swiss merupakan yang tertinggi dengan nilai USD 68.000 atau sekitar Rp950 juta per tahun. Angka ini lebih tinggi daripada gaji rata-rata kelas menengah di Swiss. Gaji guru tertinggi berikutnya adalah Belanda, Jerman, dan Belgia. Di Perancis, gaji rata rata guru senilai USD 33.000 per tahun, sedangkan Yunani USD 25.000 pertahun.

Indonesia sendiri berada di urutan paling buncit dengan gaji USD 2.830 atau Rp39 juta per tahun. Gaji guru PNS ada dalam rentang Rp1.486.500 dan Rp5.620.300, bergantung pada golongan kepegawaiannya. Sementara itu, menurut Surat dari Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) kepada Presiden RI, rata-rata penghasilan guru non-PNS pada 2012 adalah Rp 200 ribu.

Firman Ahmad, guru honorer asal Garut, adalah salah satu contohnya. Firman menjadi guru di sebuah SD negeri dengan honor Rp250 ribu setiap bulannya. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ia kerja serabutan. Lelaki berumur 28 tahun ini memang amat berharap kelak ia diangkat jadi PNS.

Bagi Firman, menjadi guru adalah pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan pendidikannya, sedangkan status PNS adalah posisi paling aman dalam profesi itu. Meski demikian, Firman menyambut baik jika ada skema lain selain pengangkatan PNS. "Yang penting lebih sejahtera dibanding sekarang," kata Firman.

Ketua Forum Guru Independen Indonesia (FGII) Jawa Barat, Iwan Hermawan, melontarkan tiga alternatif terkait persoalan guru honorer ini. Pertama, guru yang memenuhi syarat, harus diangkat jadi PNS. Kedua, jika tidak memenuhi persyaratan jadi PNS, guru honorer harus disertifikasi sehingga mereka bisa mendapat tunjangan profesi guru.

"Ketiga, jika tidak memenuhi persyaratan sertifikasi, maka berilah mereka gaji sesuai UMK/UMP," tegas Iwan.

Hambatannya memang cukup berat. Soal pertama adalah tingkat pendidikan. Kualifikasi guru menurut UU No. 14 tahun 2015 haruslah lulusan S1 atau D4 dari program pendidikan maupun nonpendidikan. Selain itu, mereka juga wajib memiliki sertifikasi pendidikan, melewati perkuliahan pendidikan profesi. Namun, jangankan pendidikan profesi, sampai sekarang pun banyak guru honorer yang belum lulus program S1.

Untuk mendapat tunjangan sertifikasi juga tak mudah. Hanya honorer yang terdaftar sebagai guru tetap saja yang bisa diuji untuk mendapat sertifikasi, baik di sekolah negeri maupun yayasan swasta. Kewenangan menetapkan guru tetap daerah itu puncaknya ada di tangan walikota atau bupati.

Dibanding dua usulan di atas, alternatif terakhir dari Iwan untuk menggaji guru honorer dengan upah minimum adalah yang paling masuk akal. Namun, hingga hari ini belum tampak tekad pemerintah untuk mengatur agar guru setidaknya dibayar sebesar upah minimum. Padahal, di sisi lain, pemerintah memaksa pengusaha menggaji tak kurang dari upah minimum.

Dalam pasal 90 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), ditegaskan bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Pertanyaannya, kapan pemerintah melarang instansinya sendiri membayar guru honorer dengan upah jauh di bawah upah minimum?

Baca juga artikel terkait GURU atau tulisan lainnya

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Arman Dhani