tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi mengaku menerima informasi insentif tenaga kesehatan dipotong oleh manajemen rumah sakit sebesar 50 hingga 70 persen. Plt Juru Bicara KPK Ipi Maryati Kuding mengatakan uang hasil potong tersebut “kemudian diberikan kepada nakes atau pihak lainnya yang tidak berhubungan langsung dalam penanganan pasien COVID-19.”
Melalui laman resmi KPK, Kamis (25/2/2021), lembaga antirasuah itu meminta manajemen rumah sakit atau pihak terkait tidak melakukan hal tersebut. Kemudian Ipi mengatakan KPK juga meminta inspektorat dan dinas kesehatan “bersama-sama turut melakukan pengawasan dalam penyaluran dana insentif dan santunan.”
Ketua Umum Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia Harif Fadillah mengakui ada pemotongan tersebut.
“Yang banyak terjadi, mereka mendapatkan insentif masuk rekening lalu sama manajemen RS diminta kembalikan, dikelola untuk dibagikan bukan hanya untuk perawat tapi tenaga yang lain yang tidak mendapatkan dengan tujuan akses pemerataan dan keadilan,” kata Harif kepada reporter Tirto, Jumat (26/2/2021).
Harif mengatakan insentif khususnya untuk perawat memang problematis sebab hanya mencakup perawat atau dokter, sementara di dalam penanganan COVID-19 banyak tenaga yang terlibat, mulai dari petugas kebersihan, pemulasaran jenazah, hingga sopir ambulans. Mereka juga memiliki risiko yang sama untuk terpapar sehingga dinilai oleh RS berhak untuk mendapat insentif.
Idealnya insentif yang diterima oleh pekerja memang tidak berasal dari pekerja lain. Namun menurutnya situasi ini bukan salah manajemen rumah sakit. Aturan dari Menteri Kesehatan-lah yang perlu diperbaiki. Aturan harus dievaluasi, konkretnya anggaran untuk insentif ditambah.
Selain perkara pemotongan, dia juga bilang insentif tak selalu sesuai dengan yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/447/2020. Dalam peraturan itu besaran insentif setinggi-tingginya Rp15 per bulan untuk dokter spesialis; dokter umum Rp10 juta; bidan dan perawat Rp7,5 juta; dan tenaga medis lainnya Rp5 juta.
Hal yang sama juga disampaikan Ketua Terpilih Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Muhammad Adib kepada reporter Tirto, Jumat. Pemerataan insentif oleh manajemen rumah sakit ini menurutnya jamak terjadi.
“Perlu ada evaluasi regulasi siapa saja yang harus mendapatkan [insentif] sesuai dengan yang ada dalam pelayanan Covid. Karena kita tahu selain tenaga kesehatan ada tenaga non kesehatan yang itu tidak ada di permenkes,” kata Adib.
Selain itu PB IDI mengusulkan ada ketentuan yang jelas supaya jika kewenangan pemerataan pembagian insentif itu dilakukan oleh kepada dinas, kepala faskes, atau direktur RS. Tujuannya agar tidak menimbulkan rasa ketidakadilan, kata Adib.
Di sisi lain, Adib mengatakan mereka juga menerima laporan dari para dokter yang tak dapat insentif sama sekali dan ada yang dapat namun di bulan berikutnya tak lagi dapat. Hal ini juga perlu dipastikan masalahnya, katanya. “Apakah tidak diberikan atau karena dari pusat ke faskesnya tidak ada? Itu perlu dipastikan,” kata Adib.
Apabila ada temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau KPK, maka menurutnya aparat hukum wajib memantau penyelenggaraan anggaran. PB IDI, kata Adib, mendukung hal itu.
Bantahan Rumah Sakit
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) membantah temuan KPK. Persi menyebut pemotongan tak mungkin terjadi dan meminta KPK tidak asal menuding. “Tolong KPK jaga empati juga lah. Dalam kondisi seperti ini berilah kami kepercayaan pelayanan COVID-19. Sekarang kan digoreng ini rumah sakit,” Sekretaris Jenderal Persi Lia Gardenia Partakusuma kepada reporter Tirto, Jumat.
Persi meminta KPK menjelaskan secara rinci di mana rumah sakit yang memotong insentif nakes. “Kurang tepat kalau KPK belum menjelaskan secara rinci. Kalau memang ada, nanti kami cek dan bisa kami tegur langsung,” katanya.
Ia juga meminta KPK menjelaskan apakah itu merupakan temuan dari KPK sendiri atau hanya aduan dari pihak lain. “Kalau seandainya itu benar, silahkan KPK menindak sesuai prosedurnya,” tuturnya.
Meski membantah, Lia tak menyanggah jika pemerataan pendapatan itu memang ada. Lia bilang sejauh ini para nakes yang mendapatkan insentif lantas bersolidaritas mengumpulkan iuran untuk para nakes non-COVID-19 atau petugas non-medis. Jadi bedanya dengan yang dikatakan KPK, semua itu “diberikan secara sukarela, bukan dipotong langsung dari insentif para nakes yang diberikan Kemenkes.”
Persi pun mendorong agar Kemenkes memperluas pemberian insentif ke petugas lain yang menangani COVID-19. “Kami sudah mengusulkan agar tenaga-tenaga lain ditambah biar bisa dapat insentif,” pungkasnya.
Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) pun membantah KPK dan meminta mereka tidak asal menuduh. “Jangan asbun [asal bunyi] KPK,” ucap Ketua ARSSI Susi Rusli kepada reporter Tirto, Jumat.
Dia mengatakan setelah rumah sakit mengajukan insentif nakes ke dan disetujui, Kemenkes langsung mentransfer uang ke manajemen rumah sakit. Setelah itu manajemen rumah sakit menyalurkannya ke para nakes. “Kami selalu mengimbau ke teman-teman [rumah sakit] untuk tak potong hak orang,” katanya.
Dia bahkan mengklaim apabila ada petugas yang tidak mendapat insentif dari pemerintah, terkadang rumah sakit harus merogoh kocek pribadi. Dia juga mengatakan besaran insentif yang diterima nakes dari pusat berubah-ubah.
Meski begitu, apabila ditemukan rumah sakit yang menyunat insentif nakes, Susi mengatakan siap menegur.
Lebih dari itu Susi tidak mau “dugaan potongan-potongan” seperti ini terus berkembang. Oleh karena itu dia mengusulkan “Kemenkes yang memberikan, Kemenkes transfer langsung saja ke karyawan.”
Penulis: Irwan Syambudi & Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino