tirto.id - Sejak kemarin lusa beredar kabar tentang pemotongan insentif untuk para tenaga kesehatan (nakes) yang menangani COVID-19. Kabar yang mencuat di tengah kasus yang melonjak membuat mereka kecewa dan sedih, terlebih selama hampir satu tahun pandemi insentif yang diterima jarang utuh.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/278/2020 yang ditetapkan pada 27 April 2020 oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, dokter spesialis mendapatkan insentif Rp15 juta per bulan; lalu dokter umum dan gigi Rp10 juta; bidan dan perawat Rp7,5 juta; dan tenaga kesehatan lain Rp5 juta; serta santunan kematian Rp300 juta.
Sementara dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-65/MK.02/2021 bertanggal 1 Februari 2021 yang ditujukan untuk Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, angkanya berkurang hingga 50 persen.
Dokter spesialis paru Eva Sri Diana adalah satu dari sekian banyak nakes yang kecewa. Ia adalah dokter yang bekerja menangani pasien COVID-19 di dua rumah sakit rujukan sekaligus di Jakarta. Di RS swasta dan RS pemerintah.
Mulai Desember 2020, kerjanya meningkat berkali-kali lipat seiring melonjaknya jumlah pasien COVID-19. Di dua rumah sakit itu rata-rata ia menangani 100 pasien. Bebannya makin meningkat tatkala teman dokter lain jatuh sakit.
“Walaupun saya enggak sakit tapi saya sangat lelah karena teman saya dokter paru sakit. Aturannya jaga berempat jadi hanya bertiga. Kerja saya lebih banyak tapi insentif kami malah mau dipotong,” kata Eva kepada reporter Tirto, Kamis (4/2/2021).
Para nakes yang jatuh sakit dan terkena COVID-19 itu, kata Eva, akhir-akhir ini makin banyak dan berpengaruh pada keluarga mereka. Eva bilang juga menangani sesama dokter, perawat, dan keluarga mereka yang terkena COVID-19.
Di tengah kondisi demikian, Eva bilang tak selayaknya pemerintah malah memotong insentif. Dukungan materiil untuk nakes dan keluarganya menurutnya penting dan sebagai bentuk empati pemerintah.
Sebelum ada rencana kebijakan pemotongan pun sebetulnya insentif yang para nakes dapatkan tak selalu penuh. Menurut peraturan, Eva seharusnya dapat Rp15 juta per bulan. Namun selama 10 bulan ia baru tiga kali mendapatkan insentif penuh. Bulan-bulan lain “hanya dibayar Rp3 juta, Rp5 juta, dan Rp13 juta.”
Meski tak selalu penuh, namun insentif itu tetap diandalkan sebab gaji bulanan dari RS menurun drastis. “Kerja saya tiga kali lipat dibanding hari biasa tapi gaji 1/3 dari gaji hari biasa. Jadi lumayan terhibur pas ada insentif. Cuma kalau dipotong begini sedih banget,” kata Eva, yang juga merupakan Ketua Umum Dokter Indonesia Bersatu (DIB).
Rencana pemotongan insentif ini juga membuat Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI) DPP PPNI Harif Fadhillah kecewa. Menurutnya ini mengganggu perawat saat menjalankan tugas.
“Kalau memang pemotongan ini terjadi, pemerintah berarti tidak peka dengan kondisi sekarang, di mana pasien COVID-19 terus meningkat, kerja kami makin meningkat, dan risikonya juga makin tinggi,” kata Harif kepada reporter Tirto, Kamis.
“Negara kita ini dari dulu tidak pernah menghargai nakes karena tidak ada kebijakan yang memberikan kekhususan bagi mereka. Di RS swasta gaji perawat itu sama dengan upah minimum, sama seperti pekerja administrasi biasa […] Sudah gajinya pas-pasan, insentif dipotong,” tambahnya.
Kekecewaan juga diungkapkan dokter spesialis emergensi Tri Maharani. Meski selama ini tak pernah dapat insentif, ia berempati kepada para nakes khususnya perawat yang berjibaku dengan risiko tinggi dan dengan gaji kecil.
Perempuan yang akrab disapa dokter Maha ini bekerja di salah satu RS pemerintah di Kota Kediri Jawa Timur sampai Januari 2021 lalu sebagai kepala IGD. Ia tak dapat insentif lantaran RS tempatnya bekerja tak ditetapkan sebagai rujukan COVID-19.
Meski demikian, selama ini banyak pasien COVID-19 yang juga di rawat di RS tersebut. Beberapa waktu terakhir kata dia tak sedikit pasien suspek bahkan positif COVID-19 yang meninggal di IGD tempatnya bekerja.
Bahkan pada pertengahan 2020 lalu ia juga sempat dinyatakan positif COVID-19, tertular dari pasiennya. Rumah sakit tempatnya bekerja pernah tutup gara-gara ada 15 orang pekerja kesehatan yang positif.
Ia ingin agar pemerintah tak hanya bicara soal insentif, tapi juga menjamin keselamatan para nakes. Ia mencontohkan apa yang dialami sendiri. Selama ini, lantaran RS tempatnya bekerja bukan rujukan COVID-19, ketersediaan alat pelindung diri (APD) sangat minim. Bahkan beberapa waktu lalu dokter jaga terpapar COVID-19 dan harus tes PCR mandiri.
“Pemerintah jangan hanya ngomong insentif untuk menunjukkan kepedulian kepada kami, kami ikhlas. Kalau memang mau memberi kami penghargaan ya diberi saja tidak usah ngomong besarnya berapa,” kata Maha kepada reporter Tirto, Kamis.
Maha yang juga menjadi relawan LaporCovid, sebuah perkumpulan yang dibentuk untuk mengawal isu COVID-19, mengatakan ada banyak nakes yang tak menerima insentif seperti dirinya. Data LaporCovid per 26 Januari 2021 lalu menunjukkan dari survei terhadap 160 nakes, 75,6 persen di antaranya belum mendapatkan insentif. Dari 75,6 persen itu 40 persen di antaranya merupakan nakes yang bekerja di rumah sakit rujukan COVID-19.
Sebanyak 24,4 persen nakes yang telah mendapatkan insentif juga tak mendapatkannya secara penuh. Pun demikian dengan keluarga nakes yang meninggal, belum semuanya mendapatkan santunan.
Diputuskan Tidak Berubah
Kementerian Kesehatan mengatakan pengurangan insentif dilakukan untuk memperluas sasaran penerima. “Kami memperluas sasaran sebenarnya,” kata Juru Bicara Kemkes Siti Nadia Wiweko saat Webinar ‘Tatakelola Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional’, Rabu (3/2/2020).
Para pekerja kesehatan yang bekerja di back office maupun tenaga administrasi yang menunjang pelayanan pasien COVID-19 juga akan diberikan insentif. “Petugas kebersihan, termasuk sopir ambulans atau pengurus jenazah itu juga kami berikan [insentif],” kata Nadia, yang juga menjabat Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kemkes.
Menurut Harif Fadhillah, perluasan penerima tidak selayaknya dijadikan alasan untuk memotong besaran insentif. Jika mau diperluas, “ya, harus ditambah anggarannya, jangan mengurangi orang yang sudah dapat,” kata Harif.
Eva Sri Diana juga berpendapat demikian, tak sepatutnya perluasan penerima insentif jadi alasan pembenar untuk memotong insentif nakes.
Kritik juga datang dari luar lingkaran tenaga kesehatan. Karena kritik-kritik itu akhirnya Kemkes dan Kementerian Keuangan memastikan tak ada pemotongan insentif meski nampaknya sudah hampir pasti berdasarkan pernyataan Siti Nadia Wiweko dan surat dari Kemenkeu yang beredar.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani mengatakan kabar-kabar sebelum ini sifatnya masih sementara. “Sekarang ini kami masih dalam tahap me-review. Dari tahap itu kebijakan update-nya belum ditetapkan,” ucap Askolani, Kamis.
Namun bukan berarti insentif akan selamanya tersedia. Seturut keterangan Askolani, setidaknya yang tidak berubah adalah insentif untuk awal tahun, bukan sepanjang tahun. “Kami tegaskan insentif nakes awal tahun akan kami jaga seperti di 2020.”
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino