tirto.id - Maya, bukan nama sebenarnya, menyayangkan adanya pihak yang menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Maya melihat menegakan hukum dan pemberian keadilan bagi korban kekerasan seksual masih belum berjalan dengan baik karena adanya kekosongan hukum.
“Banyak kejadian yang gak ada dasar hukumnya, sehingga gak bisa dilaporkan,” kata Maya kepada reporter Tirto pada Kamis (31/1/2019).
Maya memerupakan salah seorang korban ancaman revenge porn atau ancaman penyebaran foto dan video pribadinya, oleh salah seorang mantannya. Maya diatur sedemikian rupa oleh mantan pacarnya agar mengikuti keinginannya.
"Dia bilang kalau misalnya kamu masih kecentilan, aku sebar foto kamu lagi telanjang sama aku," kata Maya saat ditemui di Jakarta Pusat, Senin (29/1/2019) kemarin.
Pergerakan Maya sangat dibatasi hingga dilarang ke mana-mana setelah bekerja. Ia juga mengaku tidak diperbolehkan berkomunikasi dan berinteraksi dengan sejumlah orang.
"Dan hingga akhirnya aku dibatasi supaya enggak ketemu sama keluarga aku,” kata Maya.
Saat Maya bercerita ke orang-orang di sekitarnya, mereka justru menganggap wajar perlakuan pacarnya tersebut.
"Ya jelas, wajar, laki-laki cemburu sama pasangannya," ujar Maya menirukan perkataan orang-orang yang mendengar keluhannya.
Maya enggan melaporkan kasus ini kepada kepolisian. Ia mengatakan prosesnya akan rumit dan belum tentu penegak hukum memihak kepadanya.
"Apalagi saat memotret dengan handphone, waktu itu aku yang pegang handphone-nya," kata dia.
Dengan bergemanya penolakan terhadap RUU PKS dari sejumlah pihak, Maya menyayangkannya. Maya mengatakan jika RUU PKS ini dinilai merugikan oleh sejumlah kelompok, kenapa UU ITE yang juga multitafsir justru dapat disahkan.
“Minimal disahkan dulu saja sebagai upaya hukum formal terhadap teman-teman yang mempunyai pengalaman yang sama dengan saya,” ujar Maya.
Komisioner Komnas Perempuan, Indriyati Suparno, pun sempat mengatakan bahwa kasus semacam Maya ini memang masih sulit untuk mendapatkan perlindungan hukum. indriyati menjelaskan bahwa kekerasan seksual di dunia maya selama ini sering ditarik ke ruang hukum melalui Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDTR). Namun hal tersebut hanya berlaku jika memang terjadi dalam hubungan suami dan istri. Ini tidak mencakup hubungan pacaran atau di luar pernikahan.
"Lebih sulit lagi [diselesaikan] karena kendala hukum positif kita, terutama untuk proses pidana itu," jelasnya.
Atas dasar itu, Indriyati mendesak RUU PKS segera disahkan. Pasalnya, dengan disahkannya RUU PKS, persoalan semacam ini dapat memiliki payung hukum.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Nur Hidayah Perwitasari