tirto.id - Di Kamboja, siapapun yang mengkritik Perdana Menteri Hun Sen bisa dipastikan punya mental baja, sebab taruhannya adalah nyawa. Contohnya adalah Kem Ley, seorang aktivis akar rumput terkemuka Kamboja yang senantiasa berdiri di barisan oposisi.
Semua partai politik pernah dikritik Kem, meski yang paling sering adalah Partai Rakyat Kamboja, partai penguasa yang dipimpin Hun Sen. Pada 10 Juli 2016 lalu, Kem Ley ditemukan tewas di sebuah pom bensin di ibu kota Kamboja, Phnom Penh, dengan luka tembak di kepala. Menurut keterangan resmi polisi, Kem Ley terlibat perselisihan terkait uang dengan pelaku penembakan.
Ada dugaan kuat bahwa pembunuhan tersebut bersifat politis, mengingat sepak terjang Kem berkonfrontasi dengan Hun Sen. Setidaknya beberapa indikasi mengarah ke sana. Oeuth Ang, sang tersangka, adalah pensiunan tentara. Selain itu, sebagaimana dikabarkan BBC, beberapa hari sebelum pembunuhan, Kem Ley membuat komentar di muka umum tentang sebuah laporan yang membeberkan gurita bisnis keluarga besar Hun Sen.
Namun, Kem Ley bukan orang pertama dari kalangan aktivis yang meregang nyawa di bawah tiga dekade rezim Hun Sen. Dilansir dari South China Morning Post, sejumlah tokoh terkemuka tewas dibunuh, termasuk aktivis lingkungan Chut Wutty dan pemimpin serikat buruh Chea Vichea.
Jejak Berdarah Hun Sen
“Saya tidak hanya melemahkan oposisi, saya akan membunuh mereka semua ... dan jika ada yang berani demo, saya akan gebuk dan kerangkeng anjing-anjing itu,” ucap Hun Sen pada 2011 silam, sebagaimana dicatat oleh Direktur Human Rights Watch untuk Asia Brad Adams dalam opininya yang dimuat di New York Times.
Di bawah Hun Sen, praktik intimidasi dan kekerasan fisik demi melindungi kekuasaan jadi adalah sebuah rutinitas. Ia mempertahankan jabatan dengan langsung menyerang musuh.
Adams melaporkan bahwa pada Maret 1997, unit pengawal pribadi Hun Sen menyerang massa aksi kubu oposisi yang dipimpin Sam Rainsy dengan granat. Enam belas orang meninggal dunia dan lebih dari 150 lainnya luka-luka.
Sam Rainsy mulai dikenal publik sejak kasus pembunuhan seorang jurnalis pembangkang pada Mei 1996. Menurut laporan “30 Years Of Hun Sen: Violence, Repression, and Corruption in Cambodia” (PDF, 2015) yang disusun Human Rights Watch, sejak itu Rainsy mulai melakukan demonstrasi rutin yang mengangkat isu hak-hak buruh, korupsi, pembalakan liar, masalah lingkungan dan pembungkaman kebebasan berpolitik.
Beberapa bulan pasca-pembunuhan tersebut, kondisi politik di Kamboja memanas lantaran Hun Sen yang saat itu menjabat wakil perdana menteri melancarkan kudeta terhadap Perdana Menteri Norodom Ranariddh. Dalam aksi kudeta itu, 100 orang pendukung Ranariddh dieksekusi tanpa pengadilan. Meski aksi-aksi protesnya tak pernah menggunakan kekerasan, pemimpin opisisi Sam Rainsy dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Ia pun akhirnya memilih kabur ke luar negeri.
Hun Sen pertama kali menjadi Perdana Menteri pada 1985. Usianya yang saat itu baru menginjak 32 tahun membuatnya masuk dalam jajaran kepala pemerintahan termuda di dunia. Namun, karier sebagai perdana menteri berakhir pada 2 Juli 1993. Setelah itu ia menjabat wakil perdana menteri mendampingi Norodom Ranariddh hingga 1997, ketika ia melancarkan kudeta.
Pemilu pasca-kudeta diselenggarakan pada 1998 dan dimenangkan oleh Hun Sen. Kemenangan ini disambut dengan protes besar di jalan-jalan. Masyarakat menilai Pemilu tersebut tidak sah karena diduga penuh dengan kecurangan. Hun Sen merespons protes tersebut dengan mengirim tentara.
Sejak kembali duduk di kursi perdana menteri pada 30 November 1998, tak ada Pemilu yang tak dicurangi Hun Sen. Hingga hari ini, posisinya terus tak tergoyahkan, bahkan siap memenangkan Pemilu pada Juli 2018 nanti.
“Saya sudah menyatakan bahwa saya akan terus menjabat perdana menteri tidak kurang dari 10 tahun ke depan. Sesuai perhitungan dua kali masa jabatan, saya baru akan pensiun pada 2028,” kata Hun Sen bersumpah dalam sebuah pidato di hadapan para pekerja tekstil pada 8 Maret lalu, sebagaimana dilansir media The Phnom Phen Post.
“Bisa jadi lebih,” imbuhnya.
Sama seperti tahun-tahun politik Kamboja sebelumnya, Hun Sen telah banyak bermanuver guna memastikan kemenangannya di bilik suara.
Pada 2 Maret 2018, Channel News Asiamelaporkan bahwa putra sulung Hun Sen, Hun Manet mengisi jabatan sebagai Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Kamboja. Sebelumnya ia menjabat wakil komandan Angkatan Bersenjata Kamboja. Januari lalu, menantu Hun Sen, Dy Vichea juga ditunjuk sebagai wakil kepala kepolisian nasional Kamboja.
Partai Penyelamatan Nasional Kamboja, partai oposisi terkuat di negeri itu, telah dibubarkan oleh Hun Sen pada November 2017. Partai tersebut menjadi kekuatan oposisi besar karena berhasil menggaet massa para pemilih muda dan siapapun yang muak terhadap praktik korupsi serta nepotisme yang dipertontonkan Hun Sen.
Reuters melaporkan beberapa tokoh oposisi melarikan diri ke luar negeri antara September sampai awal Oktober 2017, tepatnya sejak Hun Sen mulai mengancam akan membubarkan partai oposisi.
Pada Februari 2017, parlemen Kamboja meloloskan UU baru yang isinya berpotensi menjegal lawan-lawan politik Hun Sen, baik kelompok maupun perseorangan, yang dianggap rezim punya catatan kriminal sehingga tak layak ikut pemilu.
Media independen yang vokal mengkritik sepak terjang Hun Sen dan masalah-masalah akut di Kamboja seperti korupsi, pemborosan anggaran, masalah lingkungan, dan hak atas tanah pun turut dibubarkan. Pada September 2017 harian Cambodia Daily terpaksa tutup akibat Hun Sen memberlakukan tarif pajak setinggi langit sehingga mustahil dibayar oleh harian Kamboja berbahasa Inggris yang legendaris itu.
Namun, penutupan Cambodia Daily lebih bersifat politis. Dalam edisi cetak yang terakhir terbit, para jurnalis dan editor Cambodia Daily tengah menggarap laporan tentang penangkapan Kem Sokha, pemimpin Partai Penyelamatan Nasional Kamboja. Kem Sokha dituduh berkolusi dengan AS.
Gurita Korupsi
Pada 2008, The Guardian menurunkan laporan panjang berjudul “Country for Sale”. Laporan itu menyebutkan bahwa Hun Sen telah memperlakukan Kamboja sebagai ladang yang siap dijual ke pihak asing. Sang diktator rupanya mengizinkan investor mendirikan perusahaan yang 100% sahamnya dimiliki asing. Investor juga diizinkan membeli tanah dan real estate dengan masa sewa sepanjang 99 tahun.
Dengan dalih dan retorika bahwa Kamboja harus bersolek untuk menandingi pariwisata Thailand, pada Juli 2007 Hun Sen mengubah nama-nama pulau di daerah selatan Kamboja agar bisa dijual. Keindahan alam seperti danau, pantai dan terumbu karang, termasuk hajat hidup ribuan penduduk diam-diam pindah ke tangan pengembang swasta asing.
Pada Maret 2008, hampir semua pantai berpasir yang semula dapat diakses publik sudah jatuh ke kepemilikan swasta. Parahnya lagi, transaksi penjualan tidak diumumkan secara terbuka. Tidak ada tender atau perencanaan yang dipublikasikan secara resmi.
Pada Juli 2016 Global Witness menurunkan laporan tentang keluarga besar Hun Sen yang memegang beberapa perusahaan mapan di Kamboja. Perusahaan-perusahaan ini bergerak dalam banyak sektor strategis, mulai dari perdagangan, keuangan, energi, pariwisata, perjudian, pertanian, hingga pertambangan. Perusahaan-perusahaan itu juga berafiliasi dengan merek-merek besar dunia seperti Apple, Nokia, Visa, Procter & Gamble, Nestlé, dan Honda.
Karier politik Hun Sen dimulai pada 1970, ketika ia bergabung dengan Khmer Merah dan mengganti namanya dari Hun Bunal jadi Hun Sen. Gelar kehormatan yang kini disandangnya adalah “Samdech Akeak Moha Sena Padey Techo Hun Sen” yang artinya “Tuan Perdana Menteri, Panglima Tertinggi Militer Hun Sen”.
Pada pertengahan 2016, para jurnalis diinstruksikan untuk menuliskan gelar kehormatan tersebut tiap kali nama Hun Sen disebut.
Di tengah puncak kebrutalan Khmer Merah yang membantai dua juta orang Kamboja, Hun Sen adalah anggota salah satu faksi yang membelot dan melarikan diri ke Vietnam. Ia baru pulang ke tanah air setelah Vietnam menginvasi Kamboja dan mengakhiri rezim Khmer Merah. Selain menjabat perdana menteri, Hun Sen juga mengepalai Partai Rakyat Kamboja sejak 2015
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf