tirto.id - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan bahwa pembentukan tim independen pencari fakta aksi anarkis akan memperioritaskan kondisi korban dan keluarganya sebagai hal terpenting. Komitmen itu disampaikan usai peresmian tim independen bersama Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman, dan Komisi Nasional Disabilitas (KND).
Wakil Ketua LPSK, Sri Suparyati, mengungkapkan bahwa pembentukan tim independen menjadi langkah penting untuk memastikan suara korban tidak terabaikan. Tim dipastikan akan menghimpun data, informasi, serta pengalaman langsung dari para korban, untuk kemudian dianalisis secara menyeluruh.
"Landasan kerja tim ini didasarkan pada mandat peraturan perundang-undangan yang melekat pada masing-masing institusi sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga," kata Sri dalam keterangan tertulis, Sabtu (13/9/2025).
Lebih lanjut Sri menjelaskan, tim independen LNHAM dibentuk sebagai langkah konkret untuk bekerja secara objektif, imparsial, dan partisipatif. Tujuannya adalah mendorong kebenaran, penegakan hukum, pemulihan korban, serta pencegahan agar pelanggaran serupa tidak berulang.
Sri mengungkapkan, tim juga tidak hanya sebatas mengamati jalannya unjuk rasa dan kerusuhan, tetapi juga melakukan penilaian menyeluruh atas konsekuensi yang ditimbulkan. Perhatian diberikan pada berbagai aspek, mulai dari korban jiwa, yang terkena luka fisik, hingga trauma psikologis.
Selain itu, kata dia, tim akan memetakan kerugian sosial-ekonomi serta kerusakan fasilitas umum yang berimplikasi langsung pada kehidupan publik. Dia menekankan, tim juga berkewajiban mengkaji dampak sosial, psikologis, dan ekonomi yang dialami korban maupun keluarganya.
“Bahwa ruang lingkup kerja Tim Independen ini mencakup pemantauan peristiwa unjuk rasa dan kerusuhan. Tim akan menilai dampak peristiwa, termasuk korban jiwa, korban luka-luka, trauma psikologis, kerugian sosial-ekonomi serta kerusakan fasilitas umum,” ujar Sri.
Menurut Sri, peristiwa-peristiwa seperti ini menjadi prioritas pemerintah agar tidak terulang kembali. Selain itu, agar tuntutan masyarakat bisa ditindaklanjuti.
"Yang perlu digarisbawahi adalah tim ini bukan hanya untuk pencarian fakta, tapi juga mengedepankan kondisi korban,” ungkap Sri.
Nantinya, hasil analisis akan dituangkan dalam rekomendasi yang disampaikan kepada pemerintah. Dengan begitu, pemerintah diharapkan tidak hanya memikirkan aspek penegakan hukum, tetapi juga langkah nyata untuk memulihkan dan melindungi korban.
“Sesuai tupoksi enam lembaga HAM ini, salah satunya adalah menganalisis dampak peristiwa terhadap korban dan keluarganya. Jika ada temuan, tentu harus direkomendasikan kepada pemerintah, dan pemerintah harus memikirkan bagaimana dampaknya terhadap korban dan keluarganya,” ucap dia.
Ditambahkan Sri, pada 1 September 2025 LPSK telah membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Layanan Proaktif dan/atau Darurat bagi saksi dan korban atas tindak pidana yang terjadi dalam peristiwa penyampaian aspirasi masyarakat/unjuk rasa. Satgasus ini dibentuk sebagai langkah strategis untuk memberikan perlindungan hukum, pemulihan, dan bantuan yang cepat bagi mereka yang terdampak.
Hasil penjangkauan LPSK dan data sementara menunjukkan, terdapat 114 korban luka, di mana 7 orang dapat dikategorikan luka berat mencakup kondisi koma, kerusakan organ vital, cedera kepala serius, amputasi atau cedera ekstremitas, cedera tulang belakang, hingga patah tulang parah yang memerlukan tindakan operasi. Sementara 107 korban mengalami luka ringan hingga sedang, seperti sesak napas, iritasi gas air mata, lebam, dan patah tulang.
Dampak yang ditanggung korban dan keluarga mencakup trauma psikologis, kehilangan pencari nafkah, beban ekonomi, dan hambatan proses hukum. Tim Satgasus LPSK pun masih berada di lapangan untuk melakukan penjangkauan langsung terhadap keluarga korban maupun saksi yang terdampak.
Penulis: Ayu Mumpuni
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id


































