Menuju konten utama

Kontroversi AstraZeneca, Vaksin COVID-19 yang Diimpor Indonesia

Vaksin COVID-19 AstraZeneca menuai kontroversi. Beberapa negara menghentikannya. Sementara Indonesia menunda sementara saja.

Kontroversi AstraZeneca, Vaksin COVID-19 yang Diimpor Indonesia
Pekerja kargo menurunkan kontainer berisi vaksin COVID-19 AstraZeneca dari atas pesawat setibanya di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Senin (8/3/2021). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/wsj.

tirto.id - AstraZeneca/Oxford untuk COVID-19 buatan Inggris menuai kontroversi. Dilaporkan ada kejadian pembekuan darah (blood clot cases) termasuk dua kasus fatal di Austria dan Denmark setelah penyuntikan vaksin ini pada bets ABV5300, ABV3025, dan ABV2856.

Sebanyak 15 negara di Eropa untuk sementara tak lagi menggunakannya. Tapi ada pula yang tetap lanjut.

Beberapa badan otoritas obat seperti European Medicines Agency–EMA (Uni Eropa), Medicine Health Regulatory Authority–MHRA (Inggris), Swedish Medical Product Agency (Swedia), Therapeutic Goods Administration–TGA (Australia), dan Health Canada (Kanada) memutuskan tetap menjalankan vaksinasi dengan vaksin ini karena manfaatnya lebih besar. Hal ini didasarkan pada hasil uji klinik--di mana tidak ada indikasi keterkaitan antara vaksin dengan kejadian pembekuan darah.

Lalu bagaimana dengan Indonesia yang telah menerima 1,1 juta dosis vaksin ini?

Walaupun vaksin dengan nomor bets yang dilaporkan bermasalah tidak masuk ke sini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dalam siaran pers, Rabu (17/3/2021), menyatakan bersama dengan tim pakar Komnas Penilai Obat, Komnas PP KIPI, dan ITAGI bakal melakukan kajian lebih lanjut. BPOM juga berkomunikasi dengan WHO dan badan otoritas obat negara lain untuk mendapatkan hasil investigasi dan kajian yang lengkap serta terkini terkait keamanan AstraZeneca.

Meski terdapat laporan sejumlah kasus setelah vaksinasi, BPOM memastikan izin penggunaan kondisi darurat (emergency use authorization/EUA) tidak dicabut. Hal ini juga dinyatakan WHO dalam penjelasannya tanggal 12 Maret 2021.

Sementara riset berjalan, "AstraZeneca direkomendasikan tidak digunakan," tulis BPOM.

Bukan berarti di masa depan AstraZeneca tak bakal digunakan sama sekali. Juru Bicara Vaksin Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, saat memberikan keterangan pers melalui daring, Selasa (16/3/2021), bilang 1,1 juta vaksin vaksin AstraZeneca akan selesai disuntikkan sebelum masa simpan berakhir di akhir Mei 2021.

"Kita cukup yakin bahwa akan habis bahkan sebelum masa simpannya di bulan Mei itu berakhir. Karena kemampuan penyuntikan kita saat ini itu sudah 300 ribu lebih per hari. Kalau misalnya pada populasi tertentu. Kita bikin 200 ribu saja maka akan selesai dalam lima hari," ujarnya.

Rentang penyuntikan antara dosis pertama dan kedua, cukup lama yakni 9 sampai 12 pekan. Menurut ahli biologi molekuler Indonesia di John Curtin School of Medical Research Australian National University Ines Atmosukarto, hal tersebut akan menyisakan persoalan dan menjadi pekerjaan rumah.

"Setelah dosis pertama proteksi masih rendah. Di masa pandemi yang menjadi masalah adalah: kita tahu bahwa jarak 9-12 pekan menginduksi antibodi lebih tinggi, tetapi dalam kurun waktu 9-12 pekan orang rentan terpapar," kata Ines kepada reporter Tirto, Rabu.

Ines yang saat ini mengepalai Lipotek, sebuah rintisan usaha peneliti tentang obat dan vaksin yang berbasis di Australia, menjelaskan pada dasarkan pemberian dosis kedua akan lebih bagus jika diberikan lebih dari satu bulan. Antibodi yang terbentuk akan optimal, kata dia. "Tetapi kalau itu di negara yang pandeminya parah, maka harus dipertimbangkan, apakah lebih penting mencari 'yang terbaik' atau yang memberi cukup perlindungan walau itu bukan yang terbaik."

"Kembali, itu risiko yang harus dipertimbangkan setiap negara sesuai kondisi lokal," kata mantan peneliti Lembaga llmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini.

Jika vaksin itu diberikan di negara yang memiliki kasus yang rendah, maka tidak akan menjadi persoalan. Dalam rentang waktu menunggu 9-12 pekan itu sang penerima vaksin masih dapat berupaya tak terpapar COVID-19."[Namun] impossible kalau di negara yang pandeminya parah, apalagi kalau masyarakatnya tidak disiplin."

IDI: Tak Perlu Ragu

Ketua Satgas COVID-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban berpendapat lain. Indonesia, menurutnya, beruntung mendapatkan AstraZeneca sebab vaksin ini memiliki sejumlah kelebihan yang belum tentu dimiliki vaksin lain, salah satunya efektif untuk menangkal varian P1 asal Brasil.

Sementara terkait dengan pemberian dosis kedua 9-12 pekan setelah dosis pertama, menurut Zubairi juga tak masalah. Ia mencontohkan Inggris yang menggunakan vaksin Pfizer. Warga yang disuntik pertama kali titer antibodinya masih tinggi sampai tiga bulan. "Selama tiga bulan atau 12 minggu kita bisa mencapai orang-orang yang belum tervaksinasi dan sampai 3 bulan pun terlindung,” kata Zubairi kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon, Rabu.

Hal senada juga diungkapkan oleh epidemiolog Indonesia di Griffith University Australia Dicky Budiman. Menurutnya efikasi AstraZeneca sudah cukup tinggi meski baru dosis pertama. “Berdasarkan riset dengan partisipan 17 ribuan, pada suntikan pertama AstraZeneca efikasinya 76 persen. Jadi sambil menunggu sampai tiga bulan untuk dapat suntikan kedua itu sudah 76 persen. Sudah cukup tinggi tapi belum optimal,” kata Dicky kepada reporter Tirto, Rabu.

“Ketika dia diberikan suntikan kedua setelah tiga bulan jeda itu meningkat jadi 81 persen,” tambahnya.

Bagaimana dengan potensi penggumpalan darah? Menurutnya kasus itu harus dilihat secara detail kasus seperti itu lazim di masyarakat. Selain itu, pada saat uji klinik fase 3, AstraZeneca juga tak menunjukkan efek samping tersebut.

Baca juga artikel terkait VAKSIN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino