tirto.id - Koalisi Masyarakat Sipil mengkritisi kewenangan TNI yang boleh menangani konflik komunal dalam operasi militer selain perang sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 UU TNI. Pasal ini termasuk salah satu pasal yang diajukan dalam permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Frasa konflik komunal dalam pasal tersebut dinilai bersifat multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dilarang oleh Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andrie Yunus, mengatakan pelibatan prajurit TNI dalam mengamankan konflik komunal yang terjadi di masyarakat dapat meningkatkan potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Ia mengatakan tentara yang terbiasa dilatih dengan kultur militer dan dididik untuk perang cenderung untuk melakukan aksi kekerasan bila dikerahkan untuk menangani konflik sosial.
“Potensi pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan yang melibatkan tentara sebagai pelaku terhadap rakyatnya itu akan makin tinggi. Saya ambil contoh misal dalam keterlibatan tentara dalam penanganan konflik komunal, bagaimana kemudian satu institusi, satu individu yang tergabung dalam organisasi militer, dia dilatih, dididik untuk perang kemudian dihadap-hadapkan pada penanganan konflik sosial,” kata Andrie kepada para wartawan di Gedung MK, Kamis (23/10/2025).
Baginya, penggunaan kekuatan militer untuk menangani konflik komunal, seperti aksi demonstrasi tidak kompatibel. Keberlangsungan demokrasi juga disebutnya akan makin terkikis apabila tentara terlibat dalam pengamanan sipil.
“Akan berdampak pada keberlangsungan kehidupan demokrasi dan kita akan kembali ke masa era orde baru di mana kebebasan sipil kita direpresif habis-habisan,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, memandang ketentuan yang mengatur prajurit TNI untuk menangani pemogokan dan konflik komunal rentan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Padahal, kata Arif, aksi pemogokan merupakan hak konstitusional dari setiap buruh untuk menyelesaikan berbagai perselisihan hubungan industrial.
“TNI diberikan kewenangan untuk membantu mengatasi urusan pemogokan yang mana ini sebetulnya hak konstitusional buruh dalam kerangka penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang mestinya masuk ke wilayah penegakan hukum. Kemudian, TNI sebagai alat pertahanan bisa masuk, ini saya kira kekeliruan,” ucap Arif.
Penulis: Naufal Majid
Editor: Fransiskus Adryanto Pratama
Masuk tirto.id


































