Menuju konten utama

Koalisi Sipil Kecam Kekerasan Aparat terhadap Anak di Padang

Koalisi Masyarakat Sipil menilai tindakan anggota Polda Sumbar ini merupakan bentuk penyiksaan tidak manusiawi.

Koalisi Sipil Kecam Kekerasan Aparat terhadap Anak di Padang
Ilustrasi Korban Penganiayaan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian mengecam tindakan 17 anggota Ditsamapta Kepolisian Daerah Sumatra Barat (Polda Sumbar) yang diduga melakukan kekerasan dan penyiksaan terhadap anak AM (13) hingga berujung kematian.

Berdasar hasil investigasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang disebutkan AM meregang nyawa setelah mendapat berbagai tindakan penyiksaan serius oleh anggota Sabhara yang tengah berpatroli pada Minggu (9/6/2024) sekira pukul 03.30 WIB. Akibatnya, AM ditemukan mengambang di sungai dalam kondisi tak bernyawa di bawah jembatan aliran Batang Kuranji, Padang.

Korban AM ditemukan dalam kondisi luka lebam di bagian pinggang sebelah kiri, punggung, pergelangan tangan dan siku, pipi kiri membiru, dan luka yang mengeluarkan darah di kepala bagian belakang dekat telinga.

Selain itu, enam tulang rusuk korban patah dan paru-parunya robek. Tak hanya AM, penyiksaan juga dilakukan terhadap lima orang anak dan dua orang dewasa berumur 18 tahun.

Dalam temuan LBH Padang ini, mayoritas korban terdiri dari anak-anak tersebut mengalami penyiksaan serius dengan cara dicambuk, disetrum, disuruh berjalan jongkok dan berguling-guling hingga muntah. Bahkan dipukul menggunakan rotan atau manau, ditendang saat berkendara, dan langsung ke tubuh korban, serta mendapatkan sundutan rokok.

"Mengecam keras tindakan anggota Polda Sumbar yang melakukan penyiksaan terhadap sejumlah anak yang salah satunya berujung kematian," tulis keterangan mereka diterima Tirto, Sabtu (29/6/2024).

Masyarakat Sipil menilai tindakan anggota Polda Sumbar ini merupakan bentuk penyiksaan tidak manusiawi, serta merendahkan martabat manusia sebagaimana dimaksud Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment). Pasalnya, menimbulkan rasa sakit dan penderitaan fisik yang parah, dilakukan dengan sengaja dilakukan oleh otoritas resmi, dalam hal ini anggota polisi.

Tindakan penyiksaan hingga meninggal dunia yang dialami AM terjadi dinilai karena tidak adanya pengawasan atau kontrol dari lembaga peradilan (judicial scrutiny) atas upaya penangkapan oleh polisi. Padahal, hadirnya badan peradilan seketika setelah polisi melakukan penangkapan sangat penting guna menguji sah atau tidaknya proses penangkapan tersebut.

Di sisi lain, wacana pemasangan body camera di seragam polisi yang diusulkan oleh Kompolnas pun tidak cukup untuk menjamin tidak ada lagi kasus-kasus seperti yang dialami AM, sepanjang belum ada pengawasan yang mumpuni oleh lembaga peradilan terhadap kewenangan polisi yang sangat besar.

KecamSikap Kapolda Sumbar

Koalisi ini juga mengecam sikap Kapolda Sumbar, Irjen Suharyono, yang menyatakan bahwa korban AM berencana masuk ke sungai atau menceburkan diri ke sungai serta pernyataannya untuk mencari siapa pelaku yang memviralkan kasus kematian anak itu. Koalisi Masyarakat Sipil memandang pernyataan perihal AM menceburkan diri ini merupakan pernyataan yang sangat prematur karena tidak didahului proses penegakan hukum profesional berupa penyelidikan dan penyidikan.

Sikap Kapolda Sumbar juga dinilai bentuk “code of silence” yang menunjukkan sebuah kondisi seseorang yang memilih untuk menahan informasi yang diyakini penting. Alhasil, hal demikian dapat dipastikan merupakan sikap yang bertendensi melindungi pelaku dan kian berpotensi melanggengkan praktik impunitas terhadap aparat pelaku kejahatan, khususnya penyiksaan.

"Terhadap pernyataan Kapolda Sumbar untuk mencari pelaku yang memviralkan kasus kematian AM, Koalisi menilai bahwa hal tersebut merupakan sikap keliru dan bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang pada prinsipnya memberikan perlindungan terhadap narasumber yang pada gilirannya membungkam kebebasan pers," tulis mereka.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai pers yang pada dasarnya memiliki fungsi informasi dan peranan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui sebagaimana termaktub dalam UU Pers, membutuhkan narasumber dalam karya jurnalistik.

"Semestinya, Kapolda Sumbar menggunakan mekanisme hak jawab dan hak koreksi sebagaimana dijamin di dalam UU Pers," ucap mereka.

Menurut mereka, semestinya langkah yang diambil Kapolda Sumbar, mengusut tuntas kasus dan mencari pelaku penyiksaan, bukan justru memburu pihak yang menyampaikan informasi. Kasus ini, kata mereka, membuktikan bahwa praktik-praktik penyiksaan, tindakan keji, tidak manusiawi, serta merendahkan martabat manusia telah berurat-berakar dalam tubuh Polri.

"Kasus penyiksaan dan dugaan pembunuhan terhadap AM kian membuktikan bahwa pembatasan kewenangan dan penguatan pengawasan kepolisian harus segera dilakukan," tutur mereka.

Koalisi Masyarakat Sipil pun meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memerintahkan jajarannya untuk melakukan penegakan hukum dengan mengusut tuntas dugaan penyiksaan dan pembunuhan anak yang dilakukan oleh anggota Polda Sumatera Barat, serta memastikan akuntabilitas dan penghukuman tegas bagi pelaku.

Lalu, mendesak Jenderal Listyo segera mencopot Irjen Suharyono dari jabatannya sebagai Kapolda Sumbar. Kemudian, meminta Presiden Jokowi membentuk tim independen dengan keterwakilan masyarakat sipil untuk melakukan kajian evaluatif tentang penghapusan praktik-praktik penyiksaan dalam tubuh Polri.

"Presiden dan DPR segera menindaklanjuti persoalan-persoalan yang menyangkut Polri belakangan ini dengan agenda konkret reformasi kepolisian berkelanjutan secara struktural, instrumental, dan kultural demi memastikan polisi dan pemolisian yang profesional, transparan, dan akuntabel," desak mereka.

Koalisi Sipil juga mendesak DPR RI dan pemerintah harus segera menghentikan pembahasan RUU Polri yang dipastikan sangat mengancam hak asasi manusia, demokrasi, dan menjadikan Polri sebagai institusi “superbody”.

Pemerintah juga diminta meratifikasi OPCAT agar mekanisme nasional pencegahan penyiksaan (NPM-National Preventive Mechanism) dapat segera hadir untuk mencegah praktik-praktik penyiksaan.

"Presiden dan DPR segera merevisi KUHAP yang mengatur ketentuan tentang judicial scrutiny (lembaga pengawas peradilan) serta memuat pasal-pasal baru terkait anti-penyiksaan, sebagaimana yang telah diatur dalam KUHP baru," tutup mereka.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN APARAT atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Hukum
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Maya Saputri