Menuju konten utama

Koalisi Sipil Desak Reset Total KPU

Desakan ini muncul sebagai respons terhadap berbagai permasalahan yang dinilai mencoreng integritas pelaksanaan Pemilu dan Pilkada 2024.

Koalisi Sipil Desak Reset Total KPU
Sejumlah petugas upacara bendera melakukan gladi bersih untuk peringatan HUT ke-78 RI di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Rabu (16/8/2023). ANTARA/Putu Indah Savitri.

tirto.id - Koalisi Kodifikasi UU Pemilu mendesak adanya perombakan menyeluruh atau reset terhadap kelembagaan penyelenggara pemilu di Indonesia, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU). Desakan ini muncul sebagai respons terhadap berbagai permasalahan yang dinilai mencoreng integritas pelaksanaan Pemilu dan Pilkada 2024.

“KPU periode 2022-2027 telah melanggar sejumlah kode etik penyelenggara pemilu berkaitan dengan prinsip kemandirian, profesional, independen, transparan dan akuntabel. Untuk itu, perbaikan menyeluruh (reset) terhadap kelembagaan penyelenggara pemilu khususnya KPU adalah langkah yang harus diambil,” kata koalisi dalam keterangan resmi yang diterima Tirto, Minggu (21/9/2025).

Sebagai informasi, Koalisi Kodifikasi UU Pemilu terdiri dari sejumlah lembaga dan masyarakat sipil seperti Perludem, Pusako FH Universitas Andalas, Puskapol UI, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), NETGRIT, ICW, PSHK, Themis Indonesia dan Migrant Care.

Koalisi mencatat sejumlah pelanggaran serius yang dilakukan KPU dalam kurun waktu 2022 hingga 2025, baik selama tahapan pemilu maupun di luar masa tahapan. Salah satu poin kritis yang disoroti adalah pembentukan Peraturan KPU (PKPU) yang dinilai tidak sejalan dengan undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Di antaranya adalah PKPU No. 10 Tahun 2023 dan PKPU No. 11 Tahun 2023 yang memiliki pengaturan berbeda dengan UU Pemilu berkaitan dengan penghitungan kuota afirmasi keterwakilan perempuan minimal 30 persen dan syarat mantan terpidana korupsi. Terhadap kedua PKPU tersebut MA bahkan telah mengeluarkan putusan yang membatalkan sejumlah pasal terkait karena bertentangan dengan UU.

“Salah satu yang jadi rekam jejak terburuk berkaitan dengan dikeluarkannya PKPU No.10 Tahun 2023. Pada saat itu KPU tetap terus melanjutkan regulasi tersebut, padahal sudah ada upaya dari koalisi masyarakat sipil untuk menolak PKPU tersebut. Termasuk peserta pemilu dan politisi perempuan juga menolak PKPU tersebut,” ujar salah satu anggota koalisi yaitu Delia Wildianti dari Puskapol UI, dalam keterangan yang ditampilkan di Youtube Perludem, Minggu (21/9/2025).

Penggunaan sistem informasi dalam penyelenggaraan pemilu juga menjadi sorotan tajam, khususnya terkait implementasi Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilu (Sirekap) yang dinilai bermasalah. Sirekap yang pada awalnya dirancang untuk merekam dan mempublikasikan proses rekapitulasi hasil penghitungan suara, justru tidak siap saat digunakan dalam Pemilu 2024.

“Selain itu saat proses rekapitulasi hasil Pemilu 2024 masih berlangsung, KPU justru menutup akses tabulasi publik dengan menghilangkan tampilan diagram perolehan suara Pilpres, DPR, DPRD, dan DPD dari laman Sirekap,” tulis koalisi.

Partono Samino dari NETGRIT menganggap pimpinan KPU saat ini telah gagal dalam memanfaatkan teknologi pemilu untuk menciptakan transparansi, akuntabilitas serta integritas pemilu.

“Alih-alih meningkatkan transparansi, Pemilu 2024 sangat gelap karena masyarakat tidak bisa mengetahui hasil pemilu secara baik,” ujarnya.

Selain menyoroti buruknya pengambilan keputusan dan kebijakan, Koalisi juga menilai bahwa kualitas kinerja KPU sangat dipengaruhi oleh persoalan etika yang melekat pada anggotanya.

Menurut Koalisi, permasalahan etika telah menjadi catatan sejak awal masa jabatan KPU periode 2022–2027. Bahkan, Ketua KPU yang dilantik pada tahun 2022, Hasyim Asy'ari, tercatat tersandung dua kasus serius yang mencoreng integritas kelembagaan.

“Selain itu, KPU periode 2022–2027 tercatat melakukan praktik pemborosan dan penyalahgunaan fasilitas negara yang serius. Dalam periode Januari–Maret 2024, KPU menggunakan jet pribadi untuk 59 kunjungan, meski KPU hanya mengakui 31 kunjungan, yang melibatkan Ketua KPU, beberapa Komisioner, serta pejabat Sekretariat KPU,” ujar koalisi.

Menanggapi berbagai permasalahan penyelenggaraan Pemilu tersebut, Koalisi Kodifikasi UU Pemilu mendesak dilakukannya perbaikan menyeluruh atau reset terhadap kelembagaan penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Atas dasar itu, Koalisi menyampaikan sejumlah desakan. Pertama, presiden dan DPR untuk menyampaikan rekomendasi pemberhentian seluruh anggota KPU periode 2022-2027 kepada DKPP.

Kedua, DKPP untuk menindaklanjuti rekomendasi pemberhentian dan memberhentikan seluruh anggota KPU periode 2022-2027. Ketiga, pembentuk undang-undang melakukan penataan ulang secara menyeluruh terhadap kelembagaan KPU, pembentukan tim seleksi, dan mekanisme rekrutmen penyelenggara pemilu di dalam UU Pemilu yang sedang direvisi.

Keempat, moratorium pengisian jabatan anggota KPU hingga disahkannya UU Pemilu yang baru.

Baca juga artikel terkait KPU RI atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - Flash News
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fransiskus Adryanto Pratama