tirto.id - Muncul klaster penularan baru Corona serentak di ibu kota, namanya klaster perkantoran. Ini muncul saat penerapan PSBB Transisi.
Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Dewi Nur Aisyah mengatakan setidaknya ada 90 perkantoran di Jakarta yang menjadi klaster penyebaran COVID-19. Total ada 459 orang dinyatakan positif dari klaster tersebut. "Sampai dengan 28 Juli 2020," kata Dewi di BNPB, Jakarta, Rabu (29/7/2020).
Perusahaan tambang pelat merah, Antam, yang namanya masuk dalam daftar, langsung menyampaikan klarifikasi bernada bantahan. Data Gugus Tugas menyebut di sana ada 68 karyawan positif Corona.
“Per tanggal 26 Juli 2020, tidak ada kasus terkonfirmasi positif pekerja dan tenaga alih daya Antam di kantor pusat Jakarta,” kata Senior Vice President Corporate Secretary PT Antam Tbk Kunto Hendrapawoko dalam keterangan resmi.
Ia juga menegaskan sejak virus COVID-19 masuk ke Indonesia pada awal Maret, Antam sudah membantu pemerintah memutus mata rantainya. Misalnya dengan melakukan tes rapid dan swab kepada seluruh pegawai dan masyarakat di sekitar wilayah operasi, juga memberikan CSR.
Terlepas dari bantahan tersebut, klaster ini tentu tak bisa dianggap sepele. Selain alasan kesehatan, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal juga mengingatkan: jika banyak karyawan yang akhirnya tumbang karena terpapar COVID-19, perkantoran dan industri kehilangan SDM, operasional terganggu, dan akhirnya ekonomi terganggu.
“Pemerintah enggak akan dapat keduanya [ekonomi dan kesehatan],” katanya kepada reporter Tirto, Rabu (29/7/2020).
Ketua Satuan Tugas Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk COVID-19 Zubairi Djoerban mengatakan di mana pun lokasinya, selama di sana terdapat kerumunan orang dalam rentang waktu yang panjang, maka potensi penularan virus Corona terbuka.
“Belajar dari banyak negara lain, orang berkerumun di satu ruangan dengan waktu yang cukup lama itu membahayakan sekali. Misalnya kasus penularan di Yokohama, ratusan orang terinfeksi dalam waktu pendek,” katanya kepada reporter Tirto.
Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Mouhammad Bigwanto juga menyatakan klaster Corona di kawasan perkantoran sangat mungkin terjadi. Sebab, sebagian besar ruang perkantoran didesain dengan sirkulasi tertutup untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pendingin ruangan (AC).
Penularan juga bisa muncul di tempat-tempat umum yang disinggahi para pekerja. “Potensi juga ada ketika dalam perjalanan,” kata dia kepada reporter Tirto.
Atas dasar itu Bigwanto mengatakan pelaku usaha atau setidaknya para pengelola gedung bisa tegas menerapkan menerapkan protokol kesehatan untuk ventilasi, durasi kerja, dan jarak. “Kalau enggak bisa, harus dipaksa tutup,” katanya.
Angkutan umum juga harus diawasi karena ada kemungkinan awal mula virus dari sana. “Pastikan protokol diikuti, jika tidak, paksa tidak beroperasi.” Terakhir, terapkan sistem piket: ada yang masuk, ada pula yang kerja di rumah.
Saat PSBB Transisi
Selain penyebab yang tadi disebut, klaster ini dimungkinkan muncul karena kantor-kantor dan tempat umum lain kembali diizinkan beroperasi atas nama pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Transisi yang diputuskan Pemprov DKI Jakarta. “Penularan ini terjadi pada masa transisi, pergerakan manusia termasuk tempat kerja kembali dibuka. Rasanya make sense.”
Gubernur Anies Baswedan memberlakukan PSBB Transisi sejak 4 Juni 2020, atau bersamaan dengan perhitungan Gugus Tugas yang menemukan klaster perkantoran. Lalu, pada 2 Juli lalu, PSBB diperpanjang lagi selama 14 hari hingga 16 Juli dan diperpanjang lagi sampai sekarang.
Dengan munculnya klaster perkantoran, sangat mungkin PSBB Transisi kembali diperpanjang. Atau, Pemprov DKI menerapkan kembali PSBB biasa. Anies mengatakan kebijakan menghentikan PSBB Transisi dengan istilah 'rem mendadak'.
Desakan ini pernah muncul pertengahan Juli lalu, ketika kasus Corona tak juga melandai dan mulai muncul klaster baru.
Namun menurut Bigwanto, pemprov bakal sulit melakukan itu. “Pemerintah berani enggak set back? Itu saja masalahnya.”
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino