tirto.id - Penggunaan susu formula sebagai pengganti air susu ibu (ASI) semakin meningkat dari waktu ke waktu. Tren ini bisa dilacak melalui survei nasional lima tahunan atau Survei Kesehatan Dasar Indonesia (SDKI) selama dua dekade belakangan. Pada 1997, angka yang tercatat hanya sekitar 10 persen, lima tahun berikutnya meningkat menjadi 17 persen, kemudian menjadi 28 persen pada 2006, dan terakhir—yang terbit pada 2013—menunjukkan 29 persen.
Bukti lain atas meningkatnya konsumsi susu formula untuk bayi hingga anak batita (bawah tiga tahun) di Indonesia adalah tingginya angka penjualan susu formula. Sebuah riset yang diterbitkan tahun lalu oleh jurnal kesehatan bergengsi The Lancet menyebut bahwa pasar susu formula meroket sebesar 94 persen selama periode 2004-2014, atau senilai 240 juta dolar AS (sekitar Rp3,2 triliun). Angka ini lebih dari dua kali lipat dari pertumbuhan pasar di Vietnam, yaitu 110 juta dolar AS (Rp1,5 triliun).
Sementara itu, artikel Tirto yang terbit pada 2 Agustus 2016 menyebut belanja iklan TV susu formula untuk bayi dengan usia lebih dari enam bulan menembus angka sekitar Rp2,1 triliun, dengan gempuran iklan mencapai 73,4 ribu spot iklan.
Mengapa konsumsi susu formula bisa sebesar itu?
Untuk diketahui, pemberian susu formula, terutama kepada bayi usia 0-6 bulan, menyebabkan pelbagai gangguan kesehatan, bahkan ancaman kematian, sejak bayi hingga si anak beranjak dewasa. Karena itu Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF menganjurkan bayi disusui secara optimal—yaitu secara eksklusif—sejak sesegera mungkin dari lahir hingga 6 bulan, lalu dilanjutkan hingga anak berusia 2 tahun atau lebih.
Pelbagai studi ilmiah menunjukkan jika anjuran ini diikuti, ancaman kematian terhadap lebih dari 800.000 balita dan 20.000 ibu bisa terhindarkan.
Sayangnya, fakta-fakta di atas dikalahkan oleh gempuran iklan dari produsen susu formula. Iklan-iklan ini selalu mempromosikan hal baik, bahwa dengan memberi susu formula kepada bayi bisa “menjadikan anak hebat,” “membuat buah hati cerdas,” “mengandung prebiotik dan probiotik untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak,” atau “mengurangi kolik dan bayi menangis.”
Sudah saatnya kita mempertanyakan klaim-klaim macam itu. Pelbagai penelitian ilmiah yang kredibel tak menemukan fakta satu pun bahwa susu formula menjadikan anak hebat, dan tidak pula menjadikan anak pintar.
Susu Formula Belum Terbukti Bikin Anak Cerdas
Penjelasan tentang hubungan antara asupan makanan dan kecerdasan anak sebenarnya mengacu pada kandungan DHA (docosahexaenoic acid) dan AA (arachidonic acid). DHA dan AA ditemukan pada ASI dalam jumlah cukup banyak dan dipercaya mampu meningkatkan kecerdasan anak.
Sebaliknya, belum ada riset ilmiah yang menemukan DHA dan AA buatan yang terdapat pada susu formula, memiliki korelasi terhadap tingkat kecerdasan anak seperti yang dipromosikan oleh bermacam iklan atau keterangan produknya.
Selain itu, kita sering menemukan penekanan kandungan prebiotik dan probiotik pada aneka produk susu formula. Prebiotik merupakan salah satu jenis karbohidrat untuk menstimulasi aktivitas bakteri yang bermanfaat bagi tubuh. Sementara probiotik adalah bakteri baik yang membantu proses pencernaan, menunjang kekebalan tubuh, serta menekan racun dalam tubuh. Salah satu jenisnya yang sering kita dengar adalah Lactobacillus reuteri yang berfungsi mengurangi kolik—keadaan bayi lebih sering menangis. Probiotik ditemukan dalam jumlah banyak dalam ASI.
Persoalannya, penelitian yang kredibilitasnya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun etik menunjukkan bahwa tidak ada data kuat yang menyatakan kandungan prebiotik dan probiotik buatan pada susu formula mampu mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak.
Kandungan probiotik di dalam ASI berfungsi secara optimal untuk kesehatan sistem pencernaan. Namun, zat probiotik buatan dalam susu formula belum terbukti dapat mengurangi kolik, bayi menangis, dan rewel.
Memang benar ada sejumlah riset yang dipakai sebagai dasar pembenaran klaim-klaim di atas. Namun, jika dicermati, sebagian besar riset ini mendapat sokongan dari produsen susu formula. Sehingga sangat jelas benturan kepentingan industri susu formula untuk menjustifikasi produknya demi meraup keuntungan pasar semata.
Dampak Klaim Tak Bertanggung Jawab terhadap Beban Kesehatan Keluarga
Tentu saja klaim-klaim seperti ini cenderung membingungkan, bahkan menyesatkan, konsumen. Sangat penting untuk diingat bahwa klaim-klaim ini ikut menyebabkan turunnya angka menyusui serta menambah beban biaya pengobatan lantaran anak sering sakit karena kekebalan tubuhnya tak sekuat mereka yang mendapatkan ASI secara optimal.
Ia juga menambah pengeluaran keluarga untuk membeli susu formula serta botol susu dan peralatan lain. Menurut riset oleh Universitas Toronto, Alive & Thrive, UNICEF, dan Universitas Padjajaran, pembelanjaan susu formula per keluarga sekitar 14 persen dari pendapatan keluarga per bulan.
Selain banyak terpapar bermacam iklan susu formula, konsumen—terutama para orangtua—biasanya mengacu keterangan pada label produk atau informasi yang tersebar di situsweb produsen susu formula, kanal YouTube, maupun penyedia jasa belanja online. Sayangnya, semua medium ini dipenuhi klaim-klaim tanpa basis sains yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun etika.
Padahal, pelbagai studi menunjukkan pemberian susu formula—yang menyebabkan anak tidak mendapatkan ASI secara optimal—sangat rentan menyebabkan sejumlah penyakit seperti diare, pneumonia, asma, infeksi telinga, serta obesitas dan diabetes ketika si anak menginjak dewasa.
Jika cara-cara promosi susu formula hanya menguntungkan bagi industri, mungkin masih bisa dimaafkan. Namun, produk susu formula berpotensi meningkatkan risiko kesehatan pada anak dan ibu. Karenanya cara beriklan dan berpromosi dengan menggunakan klaim-klaim tanpa dasar ini harus disanggah.
Para bayi hingga anak batita (bawah tiga tahun) dan ibu harus dilindungi dari paparan promosi yang manipulatif ini. Selain itu, pemerintah harus menertibkan pola-pola pemasaran industri susu formula. Regulasi yang kuat harus diterbitkan sesuai dengan rekomendasi sidang kesehatan dunia (WHA) pada awal 2016, yaitu menghentikan segala bentuk promosi produk susu formula dan makanan bayi lainnya untuk usia 0-3 tahun.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.