tirto.id - Tersangka kasus perintangan perkara (obstruction of justice) terhadap sejumlah kasus yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung), Marcella Santoso, menyampaikan klaim serius saat video permintaan maafnya ditampilkan Kejagung pada konferensi pers, Selasa (17/6/2025). Dalam video berdurasi 4 menit 41 detik yang disajikan Kejagung di hadapan awak media itu, Marcella meminta maaf menyebarkan konten negatif tentang Kejaksaan dan jajarannya.
Tak hanya itu, Marcella juga menyampaikan klaim bahwa ia turut menyebarkan konten soal isu pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yakni seperti petisi penolakan RUU TNI dan kampanye gerakan bertajuk “Indonesia Gelap”. Ia mengaku menyesal menyebarkan konten dan isu-isu yang disebut Kejagung sebagai “konten negatif” itu.
“Antara lain terkait dengan isu kehidupan pribadi Bapak jaksa Agung, Isu Bapak Jampidsus, isu Bapak Dirdik, dan bahkan terdapat juga isu pemerintahan Bapak Presiden Prabowo, seperti Petisi RUU TNI dan juga Indonesia Gelap,” ucap Marcella di video tersebut dengan mengenakan rompi merah muda khas pesakitan Kejagung.
Namun, hanya selang semalam, keterangan Marcella berubah. Rabu (18/6/2025) setelah ia diperiksa Kejagung, Marcella menyampaikan kepada awak media bahwa dia tidak membuat atau terlibat dalam konten-konten gerakan Indonesia Gelap atau isu RUU TNI. Tetapi ketika ditanya kenapa pernyataannya kali ini berbeda dengan klaim dalam video yang ditampilkan Kejagung, Marcella bungkam.
“Saya enggak bikin (konten) soal RUU TNI dan Indonesia Gelap,” ungkap Marcella kepada awak media, setelah diperiksa di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (18/6/2025).
Koreksi klaim Marcella terkait keterlibatannya dalam gerakan Indonesia Gelap dan petisi penolakan RUU TNI, ternyata berdampak panjang. Meski kemudian dia membantah sendiri, klaim itu telah berkembang menjadi spekulasi dan diskursus publik di dunia maya.
Klaim Marcella dalam video permintaan maaf yang diputar oleh Kejagung, secara tidak langsung membuat gerakan Indonesia Gelap dan petisi RUU TNI, dituding sebagai gerakan yang diorkestrasi buzzer serta konco-konco Marcella yang menjadi tersangka perintangan penyidikan di Kejagung.
@officialtirtoid Tersangka kasus perintangan penyidikan dan penuntutan, Marcella Santoso, akui menjadi aktor di balik konten mengenai RUU TNI dan Indonesia Gelap di media sosial. Marcella menggunakan buzzer untuk mendorong isu-isu negatif, terutama guna menyerang Kejaksaan Agung. Perempuan yang berprofesi sebagai advokat ini memastikan tidak pernah merasa benci secara pribadi dengan Kejaksaan Agung maupun pemerintah. Ia pun meminta maaf kepada para pihak yang merasa tersakiti oleh perbuatannya. Pembuatan konten tersebut dilakukan Marcella sekaligus dengan upaya merintangi penyidikan dan penuntutan kasus korupsi CPO, impor gula, dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah. Sebagai informasi, Marcella Santoso merupakan seorang tersangka kasus dugaan korupsi penyuapan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas putusan ontslag tiga terdakwa korporasi. Dia juga merupakan tersangka perintangan penyidikan dan penuntutan bersama tiga orang lainnya. Penulis/Editor: Fadli Rizal Produser: Indana Zulfa #TirtoDaily#korupsi#CPO#marcellasantoso
♬ original sound - TirtoID - TirtoID
Hal ini terbukti dengan munculnya narasi-narasi di media sosial X, oleh sejumlah akun yang menuding gerakan Indonesia Gelap didanai Marcella. Bahkan, demonstrasi mahasiswa serta aktivis dari masyarakat sipil yang menyuarakan gerakan ini ikut dituduh menikmati bayaran. Narasi tersebut bisa dipantau dalam beberapa unggahan.
Misalnya postingan akun X @zarryhendrik yang menulis: “…bahwa di balik #IndonesiaGelap ternyata ada uang hasil korupsi.” Contoh lainnya penggalan postingan akun X @Heraloebss yang berbunyi: “TERBONGKAR! Ternyata selama ini gerakan #IndonesiaGelap dikendalikan oleh Antek2 Koruptor, demi mengalihkam isue penangkapan Koruptor kakap […].” Terdapat pula unggahan lain yang sempat kami temukan (tautan 1, tautan 2).
Sebagai informasi, gerakan Indonesia Gelap sempat meramaikan linimasa media sosial di awal Februari 2025 lalu. Indonesia Gelap mengacu pada postingan oleh warganet menyoroti berbagai permasalahan di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto-Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Gerakan ini semakin menggema dengan terjadinya unjuk rasa atau aksi massa bertajuk Indonesia Gelap yang diikuti ribuan mahasiswa serta masyarakat sipil di berbagai daerah pada Februari lalu. Secara umum, aksi ini menyoroti berbagai kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada publik sepanjang 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran. Misal kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG), distribusi LPG 3kg, efisiensi anggaran, pembayaran tunjangan kinerja dosen aparatur sipil negara, dan lain-lain.
Mungkinkah Gerakan Indonesia Gelap Didanai Uang Korupsi?
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, M Fadhil Alfathan, menilai bahwa tuduhan Indonesia Gelap serta penolakan RUU TNI sebagai gerakan yang didanai oleh uang korupsi dan digerakkan buzzer, sangat tidak masuk akal. Fadhil mengatakan narasi yang menilai Indonesia Gelap diorkestrasi oleh buzzer merupakan tudingan yang tidak jelas dan tidak berdasar.
Menurutnya, tuduhan tersebut sengaja dikembangkan dengan agenda mendiskreditkan atau mengkerdilkan esensi dari gerakan yang lahir dari publik, mahasiswa dan masyarakat sipil itu.
“Kalau kita lihat di ruang publik, gerakan Indonesia Gelap adalah gerakan yang lahir secara organik. Warga, masyarakat, menyampaikan kesahnya,” kata Fadhil kepada wartawan Tirto, Jumat (20/6/2025).
Kemarahan publik terhadap kebijakan awal pemerintahan Prabowo-Gibran yang berujung unjuk rasa dinilai Fadhil sebagai sebuah hal yang wajar dan sangat rasional. Kemarahan itu tumbuh secara jenuin dan organik atas rasa keadilan dan partisipasi publik yang dicederai.
Fadhil melihat pola-pola narasi yang mendiskreditkan gerakan masyarakat sipil rajin muncul dalam banyak isu. Misalnya, ketika ramai penolakan revisi UU KPK, gerakan tersebut justru dilabeli sebagai gerakan pro-Taliban dan fundamentalis islam. Contoh lainya, aksi penolakan UU Cipta Kerja Omnibus Law yang dituding dan dilabeli sebagai aksi komunis dan anarko.
“Yang mampu mengoperasikan (narasi) ini, operasi misinformasi dan menggeser pandangan publik supaya sesuai dengan kepentingan kekuasaan, sangat mungkin dan sangat mampu dilakukan oleh pemerintah,” ucap Fadhil.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, merasa tindakan Kejagung menampilkan video klarifikasi tersangka ke hadapan media agak janggal. Usman mempertanyakan kaitan atau relevansi penayangan video tersebut dengan perkara yang tengah diusut oleh Kejagung.
“Termasuk terkait kampanye Indonesia Gelap dan kontroversi RUU TNI? Apakah Kejagung mau menyudutkan gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil?,” ucap Usman kepada wartawan Tirto, Jumat (20/6/2025).
Kejagung seolah berupaya membangun framing negatif terhadap gerakan Indonesia Gelap dan penolakan RUU TNI dengan mengaitkan aksi-aksi protes itu dengan individu berurusan dengan hukum.
Usman semakin heran, jika demikian, Kejagung seolah-olah menanamkan persepsi bahwa gerakan sipil yang kritis terhadap negara tidak murni lahir dari keresahan publik, melainkan digerakkan oleh aktor-aktor yang bermasalah secara hukum.
Selain itu, kata Usman, pembuatan dan penayangan video tersangka yang masih dalam tahap penyidikan bukanlah praktik lazim dalam penegakan hukum Indonesia, termasuk oleh Kejagung.
“Yang mengkhawatirkan, sehari setelah video dipublikasikan, MS membantah tudingan dirinya membuat konten-konten negatif terkait Indonesia Gelap dan RUU TNI. Bantahan itu menambah keraguan akan independensi, obyektifitas, dan transparansi Kejagung,” terang Usman.
Sebelumnya, dalam konferensi pers di Kejagung, Selasa (17/6/2025), Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung), Abdul Qohar, menegaskan bahwa video permintaan maaf Marcella Santoso dibuat secara sukarela dan tanpa paksaan pihak manapun. Qohar menyebut proses pembuatan video itu murni lahir dari kesadaran pribadi Marcella. Hal ini, kata dia, menepis spekulasi yang menyebutkan adanya tekanan dari pihak penegak hukum.
“Ini klarifikasi secara nyata dan tidak ada unsur paksaan, atas kemauannya sendiri, sehingga masyarakat kami harap menjadi paham, menjadi semakin tahu bahwa yang selama ini dibangun narasi negatif adalah tidak benar,” jelas Qohar.
Siapakah Marcella Santoso?
Marcella Santoso merupakan advokat yang terlibat dalam beberapa perkara di kejaksaan. Ia menjadi tersangka kasus dugaan suap vonis lepas kasus ekspor crude palm oil (CPO) alias bahan baku minyak goreng. Dalam perkembangan kasus, Marcella juga menjadi tersangka dalam kasus perintangan penyidikan terhadap tiga perkara yang ditangani Kejagung.
Tiga perkara itu meliputi korupsi ekspor CPO dan turunannya, korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah, dan perkara tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula. Awal Mei 2025 lalu, Marcella juga ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan tindak pidana pokok suap vonis lepas CPO.
Dalam kasus perintangan penyidikan tiga perkara yang ditangani Kejagung, Marcella diduga melakukan permufakatan jahat membentuk opini negatif terhadap Kejagung melalui konten media sosial dan media massa memanfaatkan pendengung atau buzzer. Selain Marcella, tersangka lainnya dalam perkara ini adalah Junaedi Saibih yang berprofesi advokat, Tian Bahtiar selaku eks Direktur Pemberitaan JAKTV, serta M Adhiya Muzakki selaku ketua tim Cyber Army.
Benarkah Indonesia Gelap Diorkestrasi Buzzer?
Untuk membuktikan apakah gerakan Indonesia Gelap lahir secara organik atau dimainkan oleh para pendengung, Tirto merujuk pada kajian yang pernah dilakukan Drone Emprit pada Februari 2025 lalu ketika Indonesia Gelap mencapai puncaknya.
Dalam analisis yang dilakukan Drone Emprit selama 11-17 Februari 2025, tagar Indonesia Gelap menjadi sorotan dengan 451 artikel, 1.200 mentions, dan 41.800 mentions dibicarakan di media sosial. Sentimen negatif terhadap pemerintah mendominasi sebanyak 92 persen di media online dan 99,99 persen di media sosial. Sentimen negatif menguasai tagar ini yang mengkritik berbagai isu mulai dari efisiensi anggaran sampai kebijakan pemerintah yang berbasis riset. Tagar #PeringatanDarurat juga menjadi pengantar protes serupa.
Selain itu, percakapan tentang #IndonesiaGelap pada periode 11-17 Februari 2025 dibahas dalam lebih dari 41 ribu mentions dengan lebih dari 9 miliar interaksi. Analisa Drone Emprit, pada 17 Februari 2025, tagar Indonesia Gelap menjadi trending sebagai simbol protes terhadap ketidakadilan sosial, korupsi, pemangkasan anggaran pendidikan, dan program MBG.
Pada 17 Februari 2025, tagar #IndonesiaGelap menjadi trending sebagai simbol protes terhadap ketidakadilan sosial, korupsi, pemangkasan anggaran pendidikan, dan program MBG. Aksi mahasiswa didukung berbagai kalangan untuk menuntut transparansi dan pengurangan oligarki. pic.twitter.com/IhaytVfl3n
— Drone Emprit Official (@DroneEmpritOffc) February 18, 2025
Dari 11-17 Februari 2025, kata Drone Emprit, percakapan tentang tagar Indonesia Gelap didominasi oleh klaster publik umum, organisasi mahasiswa, aktivis, dan media. Beberapa isu yang dibahas dalam narasi Indonesia Gelap pada saat itu meliputi: kritik terhadap pengurangan dana untuk pendidikan dan kesehatan, pemutusan KIPK, keterlambatan pembayaran tukin dosen, serta program MBG.
Selain itu, tagar Indonesia Gelap mengangkat isu pembungkaman kebebasan berekspresi, mengkritik kebijakan tanpa riset yang merugikan, dwifungsi TNI/Polri, revisi UU Minerba yang merusak lingkungan, serta pencabutan PSN bermasalah yang merampas tanah rakyat.
Dihubungi Tirto, Analis dari Drone Emprit, Nova Mujahid, membeberkan bahwa analisis dari pihaknya menilai gerakan Indonesia Gelap memang lahir dari publik lewat percakapan soal kurangnya solidaritas terhadap peringatan darurat meski banyak masalah mendesak. Secara kronologis, 3 Februari 2025, tagar Indonesia Gelap dibuat akun X @BudiBukanIntel.
Solidaritas ini kemudian diperkuat oleh akun-akun influencer di X, terutama kalangan publik kritis dan aktivis, sehingga tagar Indonesia Gelap menjadi perbincangan publik yang memuncak pada 17 Februari 2025 dengan disertai pecahnya aksi demonstrasi langsung.
Kesimpulan Drone Emprit, perbincangan tentang Indonesia Gelap di medsos saat itu kuat didorong oleh akun-akun organik sebesar 64,50 persen.
“Ketika peredaran Indonesia Gelap kami mendeteksi ada pengarahan bot akun atau akun non organik. Tapi pengarahan akun non organik ini kecil, tidak lebih dari 10 persen,” kata Nova kepada wartawan Tirto, Jumat (20/6/2025).
Menurut Nova, klaim yang dibuat Marcella soal terlibat dalam kampanye Indonesia Gelap itu sangat serius, terlepas dibantah sehari setelahnya. Pasalnya, bisa saja memang Marcella “terlibat” dalam percakapan Indonesia Gelap saat itu, namun berada pada potongan narasi yang bukan merupakan percakapan dan agenda utama gerakan Indonesia Gelap yang lahir dari mahasiswa dan masyarakat sipil.
Maka, menurut Nova, yang menjadi persoalan adalah apa narasi yang diangkat Marcella jika asumsinya dia ikut dalam percakapan Indonesia Gelap. Sebab, terdapat narasi kritik kepada Kejagung yang ditemukan, namun tidak menjadi percakapan utama Indonesia Gelap.
Hal ini menunjukkan seandainya Marcella memang ikut terlibat kampanye Indonesia Gelap, maka disinyalir membawa isu berbeda dari narasi yang dikedepankan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil.
“Dalam bahasa awamnya, 'mendompleng' Indonesia Gelap dengan narasi kepercayaan dia sendiri tentang kritik Kejaksaan Agung. Padahal apakah itu menjadi arus utama percakapan Indonesia Gelap? Tidak, data kami tidak mengatakan itu,” terang Nova.
Menariknya, kata Nova, usai klaim yang dibuat Marcella viral diberitakan, percakapan soal Indonesia Gelap kembali ramai dibicarakan di media sosial. Termasuk, kata dia, munculnya narasi tandingan berupa tagar Indonesia Cerah yang mencuat namun tidak signifikan.
Analisis Drone Emprit teranyar sepanjang 1-20 Juni 2025, gerakan Indonesia Gelap disebut sebanyak 9.265 kali di media sosial dengan total interaksi mencapai 1,5 miliar. Percakapan ini didominasi oleh akun-akun organik.
Sementara itu, narasi Indonesia Cerah hanya dipercakapkan sebanyak 2.713 kali dengan total interaksi mencapai 99 ribu.
Menurut Nova, percakapan baru yang muncul terkait tagar Indonesia Gelap ini beragam dan didorong oleh mahasiswa, aktivis, dan publik umum. Kebanyakan, mempertanyakan klaim yang dibuat Marcella karena dianggap mendiskreditkan gerakan masyarakat sipil.
Di sisi lain, percakapan Indonesia Cerah justru didominasi kritik atas narasi tersebut.
“Karena koreksi klaim Marcella, banyak lagi yang bicara itu mahasiswa dan aktivis, mereka balik lagi bertanya, mengapa Marcella sebelumnya mengklaim lain. Intinya mereka bertanya mereka merasa gerakan ini tidak didanai siapapun, jadi bertanya-tanya ini klaim dari mana,” kata Nova.
Dihubungi terpisah, Koordinator Pusat BEM Seluruh Indonesia (SI), Herianto, membantah bahwa demonstrasi mahasiswa dalam gerakan Indonesia Gelap dinilai gerakan bayaran. Ia menilai tudingan tersebut bukan hanya mencederai semangat juang mahasiswa dan masyarakat sipil, tetapi juga merupakan bentuk pembunuhan karakter terhadap gerakan moral berlandaskan pada kegelisahan publik yang nyata.
Ia menilai, narasi tuduhan ini muncul sebagai bentuk pengalihan isu dan pembelokan fokus publik. Ketika pemerintah atau elite politik mulai merasa tertekan oleh suara publik yang kritis, salah satu strategi yang digunakan adalah membangun narasi tandingan untuk membingkai kritik sebagai sesuatu yang tidak murni.
“Kami melihat adanya pola yang konsisten: setiap kali muncul gerakan masyarakat sipil yang mengkritisi kebijakan pemerintah, selalu muncul narasi pembusukan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Sulit untuk percaya bahwa itu murni kebetulan atau inisiatif individu semata,” tegas Herianto kepada wartawan Tirto, Jumat (16/6/2025).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto