tirto.id - Medio 2017, putra-putri Lee Kuan Yew ribut. Percekcokan terjadi di Facebook terkait rumah warisan sang bapak, Lee Kuan Yew, yang meninggal pada 2015 lalu. Mendiang Lee Kuan Yew dalam wasiatnya meminta agar rumah tersebut dihancurkan. Anak tengah dan bontot Yew, Lee Wei Ling dan Lee Hsien Yang, mendesak sang kakak, Lee Hsien Loong, menuruti wasiat. Namun si anak sulung, Perdana Menteri Singapura saat ini, bersikeras agar rumah sang bapak dijadikan monumen.
Cekcok ini merupakan yang kedua sejak Maret 2016. Pada keributan sebelumnya, Lee Wei Ling memprotes rencana peringatan besar-besaran atas kematian sang ayah. Melalui akun Facebook-nya, seperti dikutip Asia One, ia mengatakan perayaan itu mengingatkannya pada kunjungan sang bapak ke Tiongkok pada 1976: “Perayaan itu sangat dibikin-bikin. Ayahku tak terkesan. Kami orang Singapura, kebal emosi yang berlebihan dan tidak wajar. Papa hanya melambai ke anak-anak, seperti yang akan dia lakukan di Singapura.”
Lee Kuan Yew berkuasa antara 1971 hingga 1990. Sebagian kalangan memuji pemerintahannya yang telah menyulap Singapura dari kampung kumuh ke kota metropolis, sebagaimana judul biografinya: From Third World to First. Namun, tak sedikit pula yang menyoroti pemberangusan kebebasan berbicara dan hak-hak sipil lainnya.
Senin (19/06/17), Channel News Asia melaporkan Lee Hsien Loong meminta maaf kepada publik atas keributan yang terjadi. Keributan ini ditengarai telah menjadi bola liar yang berpotensi mendorong mosi tidak percaya di parlemen.
Lee Hsien Loong menjabat PM Singapura sejak 12 Agustus 2004, tepat hari ini 16 tahun lalu. Dia adalah politikus paling populer dari People Action Party, partai yang berkuasa selama lima dekade, dengan perolehan suara 70 persen suara dalam pemilu terakhir. Kemenangan Loong diduga akibat simpati publik atas kematian ayahnya.
Pemerintahan Loong sendiri tengah mendapat sorotan luas dari publik terkait kinerja beberapa perusahaan publik seperti Singapore Airlines yang disebut-sebut keok dalam persaingannya dengan maskapai penerbangan Tiongkok dan negeri-negeri Teluk, isu imigrasi, dan transportasi publik.
Dua anak Lee Kuan Yew lainnya tak berpolitik. Lee Wei Ling, anak kedua, adalah ahli saraf yang sempat mengepalai National Neuroscience Institute dan pernah menjadi kolumnis tetap di edisi minggu harian Straits Times. Adapun Lee Hsien Yang, putra bungsu, memulai karier di militer Singapura dan menjadi perwira tinggi. Hingga 2007 ia memimpin Singapore Telecom, perusahaan telekomunikasi terbesar Singapura. Setelahnya, ia memilih tidak bekerja untuk perusahaan manapun yang terkait pemerintah—yang sebagian dikuasai iparnya melalui Temasek.
Problem Dinasti Politik
Harian Financial Times menguak lapisan lain tentang sengketa keluarga Lee. Harian itu mengutip pernyataan Lee Shengwu mengenai wacana suksesi kepemimpinan pasca-Loong pada 2021. “Saya tidak hanya ingin tidak masuk politik, saya percaya akan buruk dampaknya bagi Singapura jika ada generasi ketiga keluarga Lee yang terjun ke dunia politik. Mestinya negara ini lebih besar dari satu keluarga.”
Lee Shengwu, putra Lee Hsien Yang, mengklaim meninggalkan Singapura lantaran takut direpresi pemerintah.
Kendati kantor perdana menteri telah menyangkal rumor bahwa Lee Hsien Loong tengah mempersiapkan putranya Lee Hongyi sebagai penerus, para pengamat mengendus mulusnya karier sang putra, dari prajurit ke GovTech, lembaga resmi pemerintah yang mengurusi pemanfaatan teknologi informasi untuk meningkatkan layanan publik. Oleh sejumlah media, Lee Shengwu sendiri sering dibandingkan dengan Hongyi.
Sebelumnya Hongyi bertugas sebagai kepala peleton di angkatan bersenjata Singapura, sebelum akhirnya terbang ke Amerika Serikat untuk kuliah di Massachusetts Institute of Technology dan kemudian bekerja di Google. Semasa menjalani wajib militer, Hongyi pernah mengirim email kepada perwira tinggi, memprotes ketiadaan tindakan yang diambil kepada seorang rekannya yang absen tanpa izin dari penugasan. Masyarakat Singapura menganggap tindakan ini sebagai unjuk privilese.
Politik dinasti merupakan satu ciri mencolok di negeri-negeri Asia yang baru merdeka pasca-Perang Dunia II. Pakistan punya klan Bhutto, Korea Selatan klan Park, dan Filipina klan Aquino. Reputasi politik mereka bisa dilacak lewat kedudukan sosial masing-masing klan sebagai bagian dari elite terdidik pada masa kolonial yang turut berperan besar dalam proses dekolonisasi atau modernisasi ekonomi (keluarga Park dan Lee Kuan Yew). Dua peran terakhir inilah yang seringkali menjadi sumber dan modal popularitas.
Michael Barr, profesor hubungan internasional di Flinders University di Australia, menyatakan ada kesamaan yang mencolok antara Lee Hongyi dan bapaknya. “Semua aktivitas [Hongyi], termasuk kontroversi [email] ketika masih bertugas di militer, adalah strategi yang efektif untuk membangun rekam jejak.”
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 19 Juni 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Maulida Sri Handayani & Irfan Teguh Pribadi