tirto.id - Ketika meninggalkan Singapura pada 1823, Thomas Stamford Raffles sudah memperkirakan bahwa kota pelabuhan yang ia dirikan empat tahun sebelumnya itu bakal menjadi komunitas perdagangan yang sangat makmur. Namun, Raffles barangkali tidak mengira jika suatu saat Singapura akan mendapatkan kedaulatannya sebagai negara merdeka.
Lee Kuan Yew adalah sosok di balik kedaulatan dan segala pencapaian Singapura di berbagai bidang pasca Perang Dunia II. Di tangannya, wajah Singapura berubah drastis dari kota pelabuhan yang kumuh menjadi negara maju pusat perdagangan dunia.
“Lebih dari 100 tahun yang lalu, tempat ini [Singapura] adalah tanah datar berlumpur. Hari ini menjadi kota modern. Sepuluh tahun dari sekarang, tempat ini akan menjadi kota metropolis,” kata Lee bergemuruh saat acara kampanye di Sembawang, bagian utara Singapura, pada September 1965, seperti dikutip The Strait Times.
Lima tahun lalu, tepatnya hari ini tanggal 23 Maret 2015, Lee Kuan Yew meninggal dunia pada usia 91 tahun akibat penyakit infeksi paru-paru yang sudah dideritanya sejak satu bulan sebelumnya. Kepergian bapak pendiri Republik Singapura ini meninggalkan duka mendalam bagi 5 juta rakyat Singapura yang berhasil mencapai kemakmuran hanya dalam dua generasi.
Bangkit dari Puing-Puing
Lee Kuan Yew lahir dari keluarga imigran yang sudah mendiami Singapura sejak paruh kedua abad ke-19. Kakek buyutnya, Lee Bok Boon, bermigrasi dari Guangdong, Cina, ke Singapura pada 1863. Secara turun temurun, keluarga Lee dididik di bawah sistem pendidikan Inggris sambil menerapkan gaya hidup modern layaknya orang Eropa.
Kakek Lee yang bernama Lee Hoon Leong tidak hanya memiliki hubungan dekat dengan para pedagang Eropa, tetapi juga bergaul dengan pengusaha Tionghoa asal Indonesia. Sebagai salah satu lulusan terbaik di Raffles Institution, sekolah tertua di Singapura, Lee Hoon Leong mengumpulkan kekayaan dengan bekerja sebagai ahli keuangan dalam perusahaan milik Oei Tiong Ham, pengusaha Tionghoa asal Semarang.
Dalam memoarnya yang berjudul The Singapore Story (2012), Lee menceritakan bahwa ia justru tidak pernah merasakan kemakmuran serupa yang pernah dirasakan kedua orang tuanya. Kekayaan keluarga Lee terkikis akibat depresi besar yang melanda dunia pada 1930-an. Cerita-cerita tentang kejayaan masa lalu keluarga besarnya hanya dia dapatkan dari penuturan sang ibu dan lembaran foto tua.
“Simbol-simbol kemakmuran itu menghilang ketika aku sudah mampu mengingat sekelilingku di usia empat atau lima tahun. Kenangan di saat-saat terbaik itu hanya hidup dalam lembaran foto diriku--bayi berpakaian impor yang diasuh di atas kereta dorong yang mahal,” tutur Lee.
Kendati demikian, Lee hidup berkecukupan di tengah lingkaran keluarga besar yang sangat erat. Ia dibesarkan dalam satu rumah besar bersama keempat adiknya dan tujuh sepupu yang lebih muda darinya. Terkadang ia berkeliaran di sekitar kampung nelayan dan bermain bersama anak-anak dari etnis Cina dan Melayu. Berkat hal itu, dia jadi punya pandangan yang luas tentang kesejahteraan kaum buruh Singapura yang berasal dari beragam ras.
“Orang Melayu adalah pemilik tanah ini, tetapi mereka selalu merasa terancam akan digulingkan oleh pesaing mereka yang lebih pintar, lebih kompetitif, dan memiliki tekad. Sementara itu, orang China dan India kurang memiliki rasa solidaritas. Mereka tidak memiliki rasa persatuan karena mereka tidak merasa terancam,” kata Lee dalam memoarnya.
Lee mewarisi kepintaran kakeknya. Sejak duduk di bangku sekolah menengah atas, dia sudah sering mendapatkan penghargaan dan beasiswa. Pilihan karirnya menjadi pengacara dimulai setelah Lee mendapat nasihat dari sang ayah yang memintanya mencari pekerjaan yang mengandalkan keterampilan dan profesionalitas agar tidak jatuh ketika depresi besar kembali datang.
Pada tahun 1940, Lee memutuskan bahwa dia harus menuntut ilmu hukum ke London. Rencana itu gagal lantaran Perang Dunia II yang semakin memanas di Eropa. Lee pun harus puas menempuh pendidikan di Raffles Collage yang didirikan pemerintah kolonial Inggris di Singapura pada 1928. Di sekolah inilah ia terlibat persaingan akademik dengan Kwa Geok Choo, lulusan terbaik yang kelak dipersuntingnya.
Setelah perang besar berakhir, Lee melanjutkan pendidikan hukum di Fitzwilliam College di Cambridge. Pada 1950, ia memilih kembali ke Singapura kendati lapangan pekerjaan sebagai pengacara terbentang luas baginya di Inggris. Lee kemudian diangkat menjadi penasihat hukum di kantor serikat pekerja pos Singapura dengan tugas memperjuangkan upah layak bagi mereka.
Setelah memperjuangkan kesejahteraan buruh selama beberapa tahun, Lee mulai mengambil langkah radikal. Dikisahkan oleh Alex Josey dalam Lee Kuan Yew: The Crucial Years (2013: 13), pada 1954, Lee mengajukan pembentukan People Action Party (PAP), sebuah partai politik yang ditujukan untuk mengakhiri kolonialisme Inggris dan menciptakan kesetaraan dalam pekerjaan.
“Kita harus mengurangi ketidakadilan dalam hal kemakmuran dan memastikan para pekerja secara meyeluruh dapat memetik buah dari hasil industri dan perdagangan,” kata Lee dalam pernyataan terbuka PAP. Lee berpendapat, hak untuk menjadi makmur baru bisa didapatkan jika rakyat Singapura diberikan kemerdekaan.
Pada Pemilihan Umum Legislatif 1955, bentuk pemerintahan demokratis mulai ditegakkan di Singapura. Jumlah kursi dewan yang bisa diperebutkan dalam pemilu bertambah menjadi 25 kursi. Meskipun PAP hanya berhasil memenangkan tiga di antaranya, kondisi ini berhasil mengguncang dominasi anggota dewan yang berasal dari pengusaha kaya Cina.
Sejak saat itu, Lee kerap melakukan perjalanan ke Inggris demi menegosiasikan status Singapura sebagai daerah otonom. Dalam Pemilu Legistalif berikutnya yang diadakan pada Juni 1959, Lee mulai mengkampanyekan anti-kolonialisme dan reformasi sosial. PAP menang telak dan Lee diangkat menjadi Perdana Menteri pertama dalam pemerintahan mandiri Singapura.
Pemerintahan Ala Korporasi
Lee menyadari Singapura adalah wilayah kepulaun kecil yang sangat rentan. Negara ini tidak memiliki sumber daya alam sendiri dan diapit dua negara muslim besar yang sedang bermusuhan (Indonesia dan Malaysia). Selain itu Lee juga khawatir akan gerak-gerik militer yang mulai dilakukan Amerika Serikat di Vietnam.
Pada 1963, Lee memutuskan bahwa Singapura harus bergabung dengan Federasi Malaysia untuk mendorong potensi ekonomi dalam negeri. Pada saat bersaman, Lee juga mengharapkan bantuan Malaysia untuk membendung pengaruh kelompok kiri yang bercokol dalam PAP sejak partai ini didirikan.
Upaya menggabungkan kedua bangsa itu gagal. Hanya dalam waktu dua tahun, Federasi Malaysia menjatuhkan talak kepada Singapura akibat perbedaan ideologis yang tak terdamaikan. Kondisi ini diperparah oleh buruknya hubungan antara partai politik penguasa Malaysia, United Malays National Organisation (UMNO), dengan PAP. Menurut Perdana Menteri Malaysia, Tunku Abdul Rahman, keputusan itu harus diambil demi menghindari pertumpahan darah.
Menyambung pembubaran perserikatan itu, Lee mendeklarasikan pembentukan Republik Singapura melalui siaran yang mengudara pada 9 Agustus 1965. Dengan ucapan terputus-putus dan mata yang berkaca-kaca, Lee berkata, “Bagi saya ini adalah momen paling sedih karena sepanjang kehidupan dewasa saya, saya percaya pada persatuan dua wilayah ini, di mana masyarakat dihubungkan oleh geografi, ekonomi, dan rasa persaudaraan.”
Kemerdekaan Singapura menimbulkan perasaan tidak pasti akan masa depan negara muda ini. Seperti dilaporkan The Straits Times, anak-anak sekolah dan para pekerja kantoran dibubarkan lebih awal karena pemerintah khawatir akan ketegangan komunal yang terjadi di kawasan perkotaan. Respon masyarakat bercampur antara mereka yang optimis pada kemerdekaan dengan mereka yang khawatir Singapura akan jatuh.
“Semua akan berjalan seperti biasanya, tetaplah teguh dan tenang. Mulai hari ini kita adalah bangsa multirasial di Singapura. Negara ini bukan milik bangsa Melayu, bukan milik bangsa China atau pun bangsa India. Semua orang akan mendapatkan tempat dalam derajat yang sama,” lanjut Lee dalam siarannya.
Alex Josey berpendapat Kemerdekaan Singapura memaksa Lee untuk mengubah kebijakan partainya. Dia mendorong pekerjaan yang dianggap penting dengan mengesampingkan minat politik partai. Lee juga tidak segan-segan menerapkan gaya kepemimpinan tangan besi dengan melakukan depolitisasi di sekolah-sekolah agar semua orang bisa berkonsentrasi pada pembangunan di bidang ekonomi.
Lee berusaha keras untuk mengayomi masyarakat demi menciptakan sumber daya manusia terbaik yang bisa menambal kekurangan Singapura di bidang bahan baku alam. Demi tujuan itu, dia meyakinkan parlemen untuk menginvestasikan anggaran negara yang sangat besar di bidang pendidikan. Lee juga meminta para anggota parlemen melakukan sesi pertemuan dengan masyarakat minimal satu minggu sekali.
Di bawah kepemimpinan Lee, PAP berubah menjadi partai politik yang dijalankan dengan manajemen korporarik. Selain menarik iuran yang wajib dibayarkan oleh tiap anggota parlemen, para menteri, dan Perdana Menteri, PAP juga mengambil keuntungan dari pagelaran dan acara-acara hiburan. PAP sepenuhnya mendukung kewirausahaan sambil menerapkan pembatasan terhadap praktik-praktik demokrasi.
W. G. Huff dalam artikel “What Is the Singapore Model of Economic Development?” yang terbit di Cambridge Journal of Economics (Februari 1995) berpendapat strategi ekonomi ala diktator Lee sangat berhasil membuat Singapura makmur. Dalam rentang tahun 1960 hingga 1992, Produk Nasional Bruto negara ini meningkat 13 kali lipat. Sejak tahun 1973, rakyat Singapura sama sekali bebas dari kemiskinan seiring tingkat pengangguran yang hampir nol.
“Lee Kuan Yew adalah diktator baik hati yang memberikan pelajaran bahwa sangat mungkin untuk menggabungkan sistem ekonomi pasar swasta bebas dengan sistem politik kediktatoran,” tulis Huff.
Lee dan Soeharto
Kebijakan pemerintahan Lee Kuan Yew ibarat dua sisi cermin dengan Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Kedua rezim sama-sama membatasi gerak politik rakyatnya dan hanya berkenan membicarakan hal-hal terkait pembangunan ekonomi. Persamaan di antara keduanya lambat laun berubah menjadi rasa hormat dan kepercayaan usai kunjungan kenegaraan Lee ke Indonesia pada 1973.
Pada Agustus 1960, Lee sudah pernah menapakan kaki di Indonesia untuk bertemu Presiden Sukarno. Akan tetapi, menurut Barry Desker, Duta Besar Singapura untuk Indonesia yang bertugas tahun 1986-1993, pertemuan kala itu sangat mengecewakan bagi Lee. Sukarno yang baru saja mendeklarasikan Demokrasi Terpimpin sangat mendominasi isi pembicaraan dan membiarkan Lee pulang tanpa hasil.
Peristiwa September 1965, lanjut Desker, membuat Lee waswas terhadap Indonesia. Persepsi negatif itu semakin kuat tatkala dua prajurit Indonesia Usman dan Harun dihukum gantung pada 1968. Sebelumnya, pada Maret 1965, Usman dan Harun melakukan aksi pemboman di Singapura dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia.
Jusuf Wanandi dalam bukunya Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia, 1965-1998 (2012: 161) menceritakan bahwa Lee menyadari sifat keras Soeharto yang sangat berbeda dibandingkan Sukarno. Dia mulai mendengarkan pidato-pidato presiden kedua Indonesia itu dan belajar bahasa Melayu agar dapat bertukar pikiran dengannya.
Pendekatan Lee berhasil. Hubungan bilateral Singapura-Indonesia membaik kendati tetap ada perbedaan di antara keduanya, khususnya masalah invasi Indonesia terhadap Timor Timur pada 1975. Barry Desker menambahkan, ketika krisis ekonomi menghantam Asia yang berujung pada pelengseran Soeharto pada Mei 1998, Lee tetap mendukung sang diktator dan tidak menganggapnya sebagai penjahat.
“Meskipun ia telah mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri, Lee mencoba menasihati anak-anak Suharto, yang mengambil keuntungan besar dari posisi ayah mereka untuk keuntungan ekonomi dan dikritik habis oleh IMF, pemerintah Amerika Serikat, dan para manajer keuangan internasional” tulis Desker.
Editor: Windu Jusuf