Menuju konten utama
Review Diajeng Serial Bidaah

Ketika Walid Membiarkan Perempuan Berseteru Satu Sama Lain

Serial Bidaah asal Malaysia mengeksplorasi rivalitas antarperempuan sebagai salah satu strategi laki-laki berkuasa untuk menguatkan kedudukannya.

Ketika Walid Membiarkan Perempuan Berseteru Satu Sama Lain
Header Diajeng Serial Serial Walid. tirto.id/Quita

tirto.id - Baca artikel bagian pertama dari Review Diajeng Serial Bidaah di tautan berikut: Membayangkan Wajah Walid, Menguak Kerentanan Perempuan di Sekte

Pada sebuah hari yang cerah di pondok Jihad, tujuh jemaah perempuan berteriak kepada satu sama lain.

Perempuan-perempuan muda itu, yang terbagi menjadi dua kelompok, menuding pihak lain berupaya merebut perhatian dan kasih sayang tokoh utama, sang guru agama Walid.

Di dunia nyata, adegan perempuan muda nan cerdas saling sikut hanya demi mendapat atensi dari laki-laki tua kemungkinan akan menimbulkan keheranan dan pertanyaan, “Mengapa?”

Di dalam cerita serial Bidaah asal Malaysia ini, karakter Walid dalam kedudukan sebagai sang “Imam Mahdi” bagi para pengikutnya itu menerima persaingan dari para perempuan di sekitarnya selayaknya sebuah trofi emas.

Dia tidak perlu melerai karena rivalitas antarperempuan tersebut membuat tipu daya yang dilancarkannya menjadi semakin mulus dan mudah.

Rivalitas akhirnya membuat perempuan terlihat lemah dengan validasi-validasi semu yang dilancarkan oleh pelaku melalui kata-kata semacam “kamu istimewa”, “kamu berbeda”, “kamu nomor satu”, “kamu akan menjadi teman dakwah yang sempurna”.

Persaingan tidak hanya terjadi di antara jemaah perempuan Jihad, melainkan juga istri-istri sah Walid. Cemburu, iri, perasaan tidak diistimewakan tergambar jelas dalam percakapan-percakapan yang muncul antartokoh.

Cerita yang mengeksplorasi dan mempertontonkan rivalitas perempuan tidak hanya muncul di dalam serial Bidaah.

Novel Para Perampang(2015) karya Djaili Amadou Amal dari Kamerun memotret cerita yang nyaris sama.

Kesamaan antara Bidaah dan Para Perampang adalah bagaimana perempuan-perempuan ini ditempatkan di satu lingkungan dengan pondokan pribadi yang digunakan oleh masing-masing untuk membesarkan anak dari satu laki-laki yang sama.

Tidak boleh ada berita pertengkaran yang sampai di telinga sang kepala rumah tangga.

Diam-diam untuk mendapatkan validasi, legitimasi sebagai sosok favorit, hingga usaha agar tidak terdepak (baca: diceraikan), membuat para perempuan terpaksa bersaing dengan cara tidak sehat.

Jessyca Dian dalam tesisnya yang berjudul Women Rivarly (2013) menemukan kecenderungan sama pada media yang menjadikan perempuan sebagai tokoh utama.

Berdasarkan penelusuran Jessyca, mengutip Simone Beauvoir, “Rivalitas perempuan disebabkan oleh dunia yang didominasi laki-laki (male-domination). Perempuan, dalam upaya untuk diakui dan terhindar dari marginalisasi, pada satu titik merasa butuh untuk memperoleh persetujuan dari laki-laki.”

Pendiktean yang biasa dilakukan laki-laki melalui banyak saluran memengaruhi cara perempuan melihat dirinya sendiri.

Ketika perempuan pada akhirnya menerima identitas dan standar yang dibuat oleh laki-laki, pada saat itulah mereka akan kesulitan untuk menilai diri sendiri.

Sementara itu, rivalitas dipertahankan dalam rangka untuk memastikan tidak ada serikat dan rasa persatuan yang tumbuh di antara perempuan.

Maka yang terjadi selanjutnya adalah perempuan teralihkan pada masalah yang sesungguhnya, yaitu sistem patriarki yang membatasi ruang gerak mereka.

Dalam serial Bidaah, misalnya, jemaah perempuan mengenakan pakaian pilihan dengan desain dan warna khusus yang menandakan kedudukan masing-masing di hadapan Walid.

Mereka tidak diperbolehkan tukar-menukar pakaian karena setiap lembar kain yang sudah dipilihkan merupakan penentu masa depan si perempuan.

Baiduri (diperankan oleh Riena Diana), tokoh utama dalam Bidaah, diberi pakaian berwarna senada dengan Walid dalam acara yang dinamakan “Malam Bahtera Melayu”.

Pilihan tersebut, yang membuat cemburu istri-istri Walid lainnya, adalah kode bahwa Baiduri merupakan calon istri keempat dari sang pemimpin jemaah Jihad.

Walid mengumumkan “terpilihnya” Baiduri sebagai istri baru di hadapan istri-istri sah dan batin serta sejumlah pengikut laki-lakinya.

Selain menunjukan bahwa Walid tidak peduli apakah istri-istrinya setuju atau tidak dengan keputusannya, tindakan yang ia lakukan menjadi bukti bahwa sebagai suami ia memang tidak menganggap perasaan perempuan sebagai salah satu bahan pertimbangan pengambilan keputusan.

Atau, bisa jadi, Walid mengasumsikan bahwa istri sah dan batinnya akan menerima keputusan tersebut atas nama dakwah.

Walid juga memanfaatkan istri pertama dan kedua sebagai kepanjangan tangan untuk membentuk kepengaturan di kalangan jemaah Jihad perempuan.

Dalam artikel “Unmasking Women’s Rivarly in Camerronian Folktales yang terbit di Nordic Journal of African Studies (2006), dongeng-dongeng rakyat Kamerun berulang kali menggambarkan perempuan sempurna sebagai sosok tunduk, setuju, tidak mengeluh, memberi, berbakti, dan setia.

Pesan yang sama juga disampaikan dalam serial Bidaah oleh istri pertama dan kedua Walid.

Keduanya tunduk dan berpihak pada sikap Walid seiring para jemaah perempuan memprotes suami mereka karena terlalu menganakemaskan satu sosok saja.

“Konflik yang dibuat-buat dan dilanggengkan, ketidakpercayaan satu sama lain, kecurigaan, hingga keterasingan, adalah beberapa faktor yang membuat perempuan terus berada dalam situasi perang terhadap satu sama lain,” tegas artikel tersebut.

Pada akhirnya, relasi antarperempuan yang diwarnai dengan permusuhan menjadi salah satu unsur menarik di dalam narasi Bidaah yang mungkin dapat menjelaskan mengapa perempuan-perempuan di sekeliling Walid tidak sampai terpikir untuk membicarakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh sang guru kepada mereka.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Erika Rizqi

tirto.id - Lyfe
Kontributor: Erika Rizqi
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih