Menuju konten utama
Review Diajeng Serial Bidaah

Membayangkan Wajah Walid, Menguak Kerentanan Perempuan di Sekte

Serial asal Malaysia ini mendatangkan pertanyaan menarik. Salah satunya, mengapa perempuan cenderung rentan menjadi korban sekte aliran menyimpang?

Membayangkan Wajah Walid, Menguak Kerentanan Perempuan di Sekte
Header Diajeng Serial Serial Walid. tirto.id/Quita

tirto.id - Sejak tayang awal Maret silam untuk menyambut momentum Ramadan, tercatat lebih dari 2,5 miliar kali serial Bidaah asal Malaysia ditonton oleh para pemirsa.

Demikian klaim VIU Malaysia sekitar satu bulan kemudian.

Seiring jumlah tontonan meningkat, dapat kita bayangkan juga betapa banyaknya penonton yang turut memejamkan mata dan, tentu saja, membayangkan wajah tokoh utama Walid (diperankan oleh aktor senior Malaysia, Faizal Hussein).

Ya, serial Bidaah bisa dibilang telah sukses menyihir penonton Indonesia dan Malaysia, dengan potongan video klip Walid bertebaran di platform video TikTok dan Instagram reels.

Walid, pemimpin jemaah Jihad, digambarkan sebagai sosok karismatik.

Di dalam komplek pondok pesantren yang terisolasi, Walid memanfaatkan kedudukannya untuk memanipulasi perempuan-perempuan muda terkait poligami dan pernikahan batin, sampai melanggengkan pelecehan seksual.

Serial Bidaah menguliti elemen-elemen dalam aliran sesat yang menargetkan perempuan sebagai korban.

Salah satunya tecermin dalam perbincangan antarpimpinan jemaah yang tidak jauh-jauh dari “mengisi kekosongan” alias upaya merekrut istri baru.

“Kamu masih bisa menambah istri, bukan? Jangan biarkan posisi itu kosong terlalu lama!”

Seperti itulah kutipan dalam pembicaraan orang-orang kepercayaan Walid.

Walid menyeret korban ke dalam praktik-praktik jahat ini dengan beberapa trik.

Laki-laki tua ini mengerahkan atribut keagamaan untuk membujuk perempuan-perempuan ke dalam pernikahan batin—yang terpisah dari status pernikahan dengan keempat istri sahnya.

Murid-murid perempuannya diyakinkan melalui rayuan seperti, “kamu berbeda”, “kamu istimewa”, “ini bagian dari dakwah”, dan sebagainya.

Pernikahan batin dilakukan di sebuah gua yang jauh dari rumah utama tanpa saksi. Setelah ikatan semu terjadi, si perempuan diharuskan mencium kaki Walid.

Sekilas, hubungan antara Walid dan murid-murid perempuannya terlihat seperti konsen atau persetujuan antarkedua pihak.

Di satu sisi, relasi Walid dan murid-murid perempuannya tersebut masih rapuh, jika bukan membahayakan. Sebab, salah satu syarat konsen atau sepakat diperoleh apabila kedua belah pihak mendapatkan informasi yang sama-sama jelas, terang, dan lepas dari kontrol siapa pun.

Serial Bidaah beberapa kali mendapatkan kritik karena ceritanya dianggap tidak realistis dan menyudutkan tokoh-tokoh pemuka agama Islam.

Penulis naskah sekaligus sutradara Erma Fatima sendiri menjelaskan bahwa kisah yang disusunnya merupakan bagian dari memori lama saat ia menjadi salah satu korban dalam sekte sesat yang mengatasnamakan agama.

Di balik itu semua, serial Bidaah melahirkan sederet pertanyaan menarik. Salah satunya, mengapa perempuan cenderung mudah, atau sering, terjebak di dalam aliran sesat, sekte, atau kultus berbasis agama?

Menurut data yang dikumpulkan Pew Research Data pada 2016 lalu, secara global perempuan cenderung terafiliasi dengan agama tertentu dibandingkan kelompok laki-laki.

Hal ini juga selaras dengan temuan lawas pada tahun 2001 yang menunjukan perempuan di atas usia 35 tahun mendominasi keanggotaan grup-grup agama atau spiritual alternatif.

Hasil penelitian Pew dan temuan tahun 2001 di atas dapat dikombinasikan dengan penyelidikan Amanda Montell yang tertuang dalam buku Cultish: The Language of Fanaticism (2021).

Montell melakukan wawancara dengan banyak orang yang terlibat aktif maupun pernah bergabung dengan kultus tertentu.

Buku Montell berusaha membedah alasan mengapa kultus begitu menarik, menakutkan, sekaligus berkuasa.

Selama tur buku Cultish, Montell tidak menyadari bawah orang-orang yang ia wawancarai sebagian besar adalah perempuan.

Kesadaran tersebut baru muncul setelah host dan penanya mengangkat topik ini dalam diskusi, seperti dijabarkan Montell dalam tulisannya di Dame Magazine.

Hal ini mengindikasikan bahwa penelitian mengenai peran dan situasi perempuan dalam aliran sesat atau sekte belum banyak dibahas.

Dalam konteks perekrutan perempuan dalam aliran sesat, Montell melihat bahwa situasinya tidak sesederhana korban terkena brainwash, memiliki iman lemah, atau kondisi kesehatan mental yang tidak baik.

Masih ada hal lain yang lebih fundamental dari itu semua.

Montell memberikan contoh kasus bunuh diri massal—atau pembantaian massal—di Jonestown, Guyana, pada 18 November 1978, diinisiasi oleh sekte Jones.

Jim Jones adalah laki-laki kulit putih yang memimpin Peoples Temple (Kuil Rakyat) asal Amerika Serikat, sebuah sekte Kristiani yang banyak memperjuangkan isu-isu rasisme.

Ide-ide dari Jim dianggap mewakili kepentingan dan hak-hak masyarakat kulit hitam sehingga berhasil menarik banyak pengikut.

Pelaku bunuh diri dari sekte Jones berjumlah hingga 909 orang—sebagian besar perempuan.

Situasi politik dan ekonomi yang begitu buruk kala itu kemungkinan membuat perempuan kulit hitam berada pada posisi yang lebih rentan dibandingkan kelompok lainnya.

“Salah satu alasan mengapa banyak perempuan meninggal (di hari nahas itu) adalah karena mereka (berharap) memperoleh banyak hal dari sebuah gerakan yang ternyata bualan belaka,” tulis Montell di buku Cultfish.

Yang dimaksud dengan “memperoleh banyak hal” dapat merujuk pada kesetaraan dan kepastian untuk penghidupan lebih baik. Imajinasi inilah yang membuat banyak perempuan bertahan hingga akhir.

Mantan anggota NXIVM yang dikenal sebagai sekte seks juga mengalami hal yang kurang lebih sama dengan hasil penelitian Montell.

Clare Bronfman, seperti dituliskan ulang oleh Naomi Shaefer Riley di Insitute for Family Studies menemukan fakta bahwa keputusasaan atau kesepian bukanlah alasan perempuan untuk bergabung dalam sekte.

Tujuan anggota sekte justru didorong oleh keinginan untuk memperbaiki kehidupan.

Di mata anggota-anggotanya, NXIVM adalah sebuah komunitas, gaya hidup, dan ruang untuk membantu mereka mempertimbangkan apa yang terbaik bagi diri sendiri.

Perempuan korban aliran sesat memiliki latar belakang yang beragam. Pada waktu sama, yang menimbulkan keheranan adalah fakta bahwa perempuan-perempuan cerdas dan berpendidikan tinggi juga bisa jadi korban.

Dalam serial Bidaah, Walid menunjuk istri pertama dan kedua sebagai kepanjangan tangan untuk mengatur murid-murid perempuan di jemaah Jihad.

Sepanjang film, kedua istri Walid digambarkan sebagai perempuan pintar yang mengetahui perkara agama. Namun, keduanya juga memerlukan waktu untuk memahami apa yang keliru dari aliran yang dipimpin oleh sang suami.

Menurut Bexy Cameron, anak dari ibu seorang anggota sekte yang sempat menjadi mahasiswa berprestasi, jawabannya ternyata tidak jauh-jauh dari kebutuhan atas rasa memiliki, keterlibatan dalam komunitas, hingga pencarian tujuan dan makna hidup.

Bisa jadi, yang terjadi pada perempuan-perempuan di sekitar Walid tidaklah berbeda. Mereka mungkin merasa sangat bangga ketika dilibatkan dan dipercaya menjalankan ritus agama bersama Walid.

Di mata perempuan-perempuan tersebut, apa yang dilakukan oleh Walid adalah bagian dari dakwah.

Sedikit-banyak, mereka merasa telah berkontribusi, hanya untuk kemudian dikecewakan oleh kenyataan bahwa gerakan Walid telah menempatkan mereka dalam posisi rentan, terjepit, dan serba salah.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Erika Rizqi

tirto.id - Lyfe
Kontributor: Erika Rizqi
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih