tirto.id - Presiden Prabowo Subianto, mengizinkan rumah sakit (RS) dan klinik asing membuka cabang untuk beroperasi di Indonesia. Pernyataan itu Prabowo sampaikan dalam pertemuannya dengan Presiden Dewan Eropa, António Costa di Brussels, Belgia, Minggu (13/7/2025).
"Dalam dua tahun terakhir, kami telah membuka partisipasi asing di banyak sektor, dan saat ini kami membuka sektor kesehatan. RS asing mana pun, atau institusi kesehatan di luar negeri dapat membuka cabang mereka, atau institusi yang terkait dengan mereka di Indonesia. Kami telah memperbolehkan RS asing buka di Indonesia," kata Presiden Prabowo dikutip Tirto, Senin (14/7/2025).
Mendukung pernyataan Prabowo, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, mengatakan tujuan presiden mengizinkan instansi kesehatan asing beroperasi di Indonesia, agar masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, setara dengan standar internasional.
"Jadi lebih mudah buat mereka untuk mendapatkan layanan yang kualitasnya baik setara dengan di luar negeri," kata Menkes Budi usai Rakortas terkait Peluncuran Kopdes Merah Putih di Kemenko Pangan, Selasa (15/7/2025).
Dia pun menjelaskan, undangan Prabowo kepada rumah sakit-rumah sakit internasional untuk membuka cabang di Indonesia bukan tanpa dasar. Banyaknya masyarakat Indonesia yang berobat ke luar negeri jadi salah satu sebab utamanya.
"Itu beliau bilang, kan, ini tidak bisa dilayani di dalam negeri, sehingga kita harapkan dengan adanya rumah sakit-rumah sakit internasional nanti di Indonesia, rakyat Indonesia itu kalau aksesnya enggak usah jauh-jauh," ujarnya.
Lebih lanjut Budi menerangkan bahwa pembukaan rumah sakit asing di Indonesia memiliki landasan hukum yang jelas. Hal ini diatur di dalam UU Cipta Kerja tahun 2023 dan peraturan pemerintah yang sudah dikeluarkan sebelumnya.
"Di UU Cipta kerja itu dimungkinkan. Yang kedua juga beliau melihat banyak sekali masyarakat Indonesia yang berobat ke luar negeri," tuturnya.
Plus Minus Masuknya RS Asing ke Indonesia
Pakar Kesehatan Global & Sistem Rumah Sakit, dari Griffith University, Australia, dr. Dicky Budiman, menilai kebijakan membuka akses bagi rumah sakit asing untuk beroperasi di Indonesia bisa menjadi bagian dari diplomasi kesehatan dan investasi global.
Menurutnya, di satu sisi kebijakan ini secara potensial dapat meningkatkan standar layanan kesehatan. Selain itu hadirnya RS asing di Tanah Air dapat mengurangi medical tourism ke luar negeri, serta mempercepat alih teknologi dan tata kelola rumah sakit di dalam negeri.
“Namun, ini selalu saya sampaikan sebagai akademisi, sebagai praktisi, peneliti, bahwa –seperti kata kunci dalam setiap ilmu manajemen risiko– semua peluang itu punya sisi risiko. Itu harus dipahami, diingat ya. Artinya harus ada mitigasi risiko,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (16/7/2025).

Dicky, yang saat ini juga menjabat sebagai Penanggung Jawab Mutu di Program Magister Administrasi Rumah Sakit (MARS), Sekolah Pascasarjana Universitas Yarsi, mengatakan Indonesia sebenarnya telah memiliki payung hukum dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Regulasi ini memungkinkan terbukanya sistem kesehatan nasional bagi investor swasta, termasuk dari luar negeri.
Selain itu, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Rumah Sakit di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), secara eksplisit membuka peluang bagi pendirian rumah sakit asing di Indonesia.
Dalam beleid itu disebutkan bahwa di wilayah KEK dapat didirikan rumah sakit dengan penanaman modal asing maupun dalam negeri. Bahkan, rumah sakit dengan penanaman modal asing diperbolehkan berbentuk cabang dari rumah sakit asing yang telah beroperasi di luar negeri.
Kesenjangan layanan dan ketimpangan SDM di rumah sakit lokal
Meski demikian, ia menilai regulasi yang ada saat ini masih belum cukup kuat untuk memberikan perlindungan yang memadai bagi rumah sakit dalam negeri, khususnya rumah sakit nirlaba dan rumah sakit pendidikan. Ia menyoroti masih minimnya mekanisme kontrol mutu serta kurangnya perhatian terhadap potensi dampak jangka panjang terhadap kedaulatan sistem kesehatan nasional.
Selain itu, Dicky juga mencatat lemahnya peran lembaga akreditasi, regulator, dan sistem audit independen. Variabel-variabel tersebut perlu segera diperkuat jika kebijakan ini ingin diterapkan secara aman dan berkelanjutan.
“Jika rumah sakit asing diberikan akses tanpa regulasi yang ketat dalam kondisi saat ini, ini yang berisiko, berbahaya. Karena risk governance dan fair competition policy, ini akan menjadi titik celah, kerawanan," tuturnya.
Menurut Dicky, risiko strategis terhadap ekosistem rumah sakit nasional harus diantisipasi dengan serius. Ia menyebut rumah sakit asing berpotensi menguasai segmen menengah ke atas secara komersial. Hal ini bisa menggerus pendapatan rumah sakit lokal dan melemahkan daya saing mereka secara finansial.
“Risiko kedua adalah risiko brain drain SDM kesehatan. Jadi rumah sakit asing bisa menyedot dokter-dokter terbaik Indonesia yang selama ini sudah mengalami maladistribusi dan kekurangan di daerah. Nah, apalagi kalau gaji dan lingkungan kerja di rumah sakit asing itu lebih baik, lebih nyaman. Maka ketimpangan distribusi SDM akan semakin parah,” ujarnya menambahkan.

Risiko lain yang juga menjadi perhatian serius adalah potensi komersialisasi dan fragmentasi sistem kesehatan nasional. Ia menjelaskan bahwa rumah sakit asing berpeluang hadir dengan standar layanan tinggi, namun hanya dapat diakses oleh kelompok masyarakat yang mampu secara finansial.
“Ini yang akan memunculkan sistem kesehatan dua tingkat atau dual tire. Ini bertentangan tentu dengan prinsip sistem jaminan kesehatan universal dan keadilan akses,” ujarnya.
Perlu Dasar Kebijakan yang Kuat
Sementara, Associate Professor Public Health Monash University Indonesia, Grace Wangge, memberikan pandangan kritis terhadap rencana akses rumah sakit dan klinik asing untuk beroperasi di Indonesia. Menurutnya, kebijakan semacam ini bisa diterima sejauh didasarkan pada analisis yang berbasis bukti yang jelas dan teruji.
“Sayangnya saya tidak melihat apa dasar dari kebijakan ini. Kalau yang kemudian disasar adalah peningkatan kualitas, apa kemudian ini jadi solusi yang paling tepat?,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (16/7/2025).
Ia mempertanyakan apakah membuka cabang rumah sakit asing merupakan solusi terbaik untuk meningkatkan layanan kesehatan di Indonesia. Menurutnya, ada beberapa aspek yang belum dijelaskan secara transparan; mulai dari dasar hukum, pengawasan mutu, hingga keterlibatan tenaga medis.
Dia menambahkan, tanpa regulasi ketat dan mekanisme yang jelas, langkah ini berisiko menjadi sekadar ‘pelabelan asing’ tanpa jaminan kualitas.
“Bagaimana juga dengan tenaga medis dan kesehatannya? Dari mana mendatangkannya? Apa sudah disiapkan payung hukumnya yang jelas dan tidak kemudian merugikan pasien? Jangan kemudian ini jadi sekadar pelabelan saja dan kemudian lagi-lagi mengorbankan rakyat,” ujar Grace.

Dia juga memberi kritik terkait dalih kebijakan ini bertujuan agar masyarakat tidak perlu lagi berobat ke luar negeri. Menurutnya, jika memang ada fasilitas luar negeri yang sesuai dengan kebutuhan pasien, maka tugas pemerintah adalah memfasilitasi aksesnya, bukan mempersoalkan asal negaranya.
“Sekarang itu jamannya kolaborasi, tidak ada satu negara memiliki A sampai Z sendiri –kecuali China mungkin, tapi kan itu hasil upaya beratus-ratus tahun. Jadi kenapa sih selalu dipersoalkan soal ke luar negerinya?" Ujarnya.
RS asing bisa hadirkan kompetisi positif
Terkait potensi dampak dari kehadiran rumah sakit asing terhadap rumah sakit lokal, Grace menilai akan positif dari segi kompetisi. Kehadiran lembaga kesehatan dari luar akan mendorong peningkatan kualitas layanan. Dengan catatan kompetisi RS lokal dan RS asing berlangsung secara adil dan mulai dari titik yang sejajar.
“Yang akan terjadi nampaknya rumah sakit yang sudah ada sekarang, akan cuma 'dibeli/diinvest' oleh grup RS asing, ganti plang nama. Tapi kemudian semua standar dan layanan akan sama aja, atau bahkan memburuk. Karena manajemen baru mungkin pusing dan ribet sama aturan-aturan di Indonesia yang belum jelas,” ujarnya.
Seleksi Ketat, Prinsip Timbal Balik, dan Penilaian Dampak Penting Dilakukan
Dokter Dicky memberikan sejumlah rekomendasi strategis untuk pemerintah guna memitigasi berbagai risiko yang mungkin timbul dari masuknya RS dan klinik asing di Indonesia. Pertama, ia menyarankan agar pemerintah menetapkan kriteria seleksi yang ketat untuk rumah sakit asing, termasuk pembatasan wilayah operasional hanya di Zona KEK Kesehatan.
“Saya usulkan ada namanya zona ekonomi khusus kesehatan. Jadi bukan di kota besar yang padat rumah sakit swasta nasional. Juga harus memenuhi standar akreditasi nasional dan internasional. Termasuk keterlibatan riset, pendidikan, dan transfer ilmu,” ujarnya.

Rekomendasi kedua menyangkut prinsip timbal balik (reciprocity) dan perlindungan kepentingan nasional. Menurut Dicky, jika Indonesia membuka pasar kesehatannya untuk rumah sakit asing, maka negara asal institusi tersebut juga seharusnya membuka akses setara bagi rumah sakit dan tenaga medis Indonesia.
“Jadi Indonesia harus mendapatkan hak yang setara di negara asal rumah sakit asing. Misalnya juga reverse investment rumah sakit Indonesia di negara tersebut. Juga harus ada klausul prioritas bagi produk dalam negeri. Ataupun tenaga medis lokal dan integrasi ke sistem BPJS. Ini penting,” ujarnya.
Rekomendasi ketiga adalah pentingnya monitoring, evaluasi, dan sistem penilaian dampak kesehatan (health impact assessment) yang bersifat wajib. Menurut Dicky penilaian ini perlu dilakukan baik sebelum maupun sesudah rumah sakit asing mulai beroperasi.
“Juga harus ada lembaga independen berbasis undang-undang yang mengawasi kinerja aktivitas dari rumah sakit asing ini dengan juga kewajiban terhadap rumah sakit itu untuk melaporkan aktivitasnya tahunan secara laporan tahunan yang bisa diakses publik,” ujarnya.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































