Menuju konten utama

Dokter Asing Bukan Ancaman, Regulasi Jelas yang Menentukan

Masuknya dokter asing perlu diiringi dengan pembenahan maldistribusi dokter yang ada di Indonesia.

Dokter Asing Bukan Ancaman, Regulasi Jelas yang Menentukan
Ilustrasi Dokter dan Perawat. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Masuknya tenaga kesehatan (nakes) dan tenaga medis dari luar negeri, seperti dokter spesialis bidang tertentu ke Indonesia merupakan sebuah keniscayaan. Undang-Undang Kesehatan Nomor 17/2023 juga memungkinkan dokter asing berpraktik di Indonesia dalam koridor dan syarat tertentu. Kendati demikian, dibutuhkan regulasi turunan yang lebih jelas dan ketat, agar masuknya dokter asing turut membantu permasalahan sektor kesehatan Indonesia.

Rencana pemerintah memastikan dokter asing dapat mudah berpraktik di Indonesia pun mulai dilakukan. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memandang masuknya dokter asing layaknya naturalisasi pemain sepakbola atau basket di tim nasional Indonesia. Dia percaya, masuknya dokter dari luar negeri akan menambah kualitas kesehatan di Indonesia. Tentu bukan harapan yang keliru, namun tak sesederhana itu.

Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), Mahesa Paranadipa, menilai memang sejak awal pemanfaatan dokter asing sudah ada dalam UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan yang difungsikan sebagai alih teknologi. Namun dalam UU Omnibus Law Nomor 17/2023 tentang Kesehatan, kewenangan itu lebih luas sehingga dokter asing dapat berpraktik sesuai kebutuhan rumah sakit.

“Jadi alasan mengisi kekosongan, isi UU memberi kewenangan RS meminta dokter WNA [warga negara asing],” kata Mahesa kepada reporter Tirto, Rabu (29/5/2024).

Ruang besar dalam mendatangkan dokter asing, kata Mahesa, tidak disertai dengan aturan yang lebih lanjut. Belum ada aturan siapa yang akan mengawasi dokter asing jika berpraktik di rumah sakit swasta. Lalu belum ada mekanisme distribusi dokter Indonesia di saat suatu rumah sakit menggunakan jasa dokter dari luar negeri.

Menurut Mahesa, masuknya dokter asing perlu diiringi dengan pembenahan maldistribusi dokter yang ada di Indonesia. Saat ini ada hampir 115 Fakultas Kedokteran di Indonesia yang menghasilkan 12-15 ribu lulusan per tahun.

Ditambah prodi dokter spesialis yang juga menghasilkan lulusan ratusan dokter per tahun. Namun distribusinya tidak terkontrol, sehingga kekurangan dokter masih terus terjadi di wilayah tertinggal dan terpencil.

“Kendala terbesarnya adalah tidak ada mandatory bagi para dokter untuk mengabdi di daerah, kemudian yang menjadi fakta lagi bahwa tidak ada jaminan kesejahteraan dari pemerintah daerah kepada dokter tersebut,” ucap Mahesa.

Mahesa mengingatkan, pemerintah perlu membidani aturan soal skema komunikasi dokter asing yang berpraktik di Indonesia. Harus ada penyesuaian bahasa dan kultur agar tidak terjadi kesalahpahaman dan potensi malapraktik terhadap pasien. Sebab komunikasi masih menjadi masalah yang sering menimbulkan gesekan antara dokter dengan pasien.

Ilustrasi pemeriksaan kesehatan

Ilustrasi pemeriksaan kesehatan. (FOTO/iStockphoto)

Sementara itu, Pengurus Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Iqbal Mochtar, percaya kemampuan dokter dan dokter spesialis Indonesia sejatinya sudah mumpuni dan dapat bersaing. Kedatangan dokter asing tidak menjadi masalah, dan sebuah keniscayaan di era globalisasi. Kendati demikian, absennya aturan turunan yang mengatur praktik dokter asing justru berpotensi memantik misinformasi serta kekhawatiran stakeholder kesehatan dan pasien sendiri.

“Mestinya itu harus ada aturan turunan yang mengatur khusus soal dokter asing. Faktanya itu belum ada aturan turunan yang jelas,” kata Iqbal kepada reporter Tirto, Rabu.

Karena berkaitan dengan ketahanan kesehatan bangsa, Iqbal meminta pemerintah tidak ujug-ujug memasukkan dokter asing tanpa hadirnya regulasi yang ketat. Dokter asing yang masuk harus memiliki kompetensi dan relevansi kemampuan yang menjawab permasalahan kesehatan di Indonesia.

Pasalnya, kata dia, standarisasi pendidikan dokter di dunia berbeda-beda sehingga harus ada pengecekan kompetensi sebelum dokter asing berpraktik. Misalnya, kata dia, pendidikan dokter spesialis jantung di Mesir cuma dua tahun sementara di negara-negara Eropa ada yang sampai 6 tahun, dan di Cina bisa hanya 3 tahun.

Contoh lainnya, di Filipina spesialis dokter ortopedi selama pendidikan bisa saja hanya menangani kasus-kasus khusus lutut. Namun, di Indonesia sendiri spesialis ortopedi dilakukan general, baru memasuki kasus-kasus yang khusus.

“Nah, kompetensi semacam ini harus diukur dulu dan ditelisik dengan tim yang mengetesnya nanti bahwa itu sesuai standar kita,” lanjut Iqbal.

Iqbal mengamini bahwa bahasa merupakan salah satu faktor penting yang perlu diatur dalam regulasi dokter asing. Selain itu, perlu dipastikan apakah Indonesia bakal memasukkan dokter asing dalam semua bidang, atau di bidang-bidang spesialisasi tertentu saja. Kemenkes diminta segera membentuk aturan turunan soal dokter asing, dengan melibatkan organisasi profesi kesehatan dan stakeholder seperti rumah sakit dan pendidikan tinggi bidang kedokteran.

“Jangan dibuat sepihak dan nanti ada masalah dengan kondisi kesehatan masyarakat,” ujar Iqbal.

Harus Bisa Menjawab Permasalahan

Iqbal memandang, dokter asing yang berpraktik ke Indonesia tentu mencari kesejahteraan hidup yang lebih baik. Maka, perlu dipastikan apakah datangnya dokter asing mampu menjawab masalah maldistribusi dokter yang masih terpusat di kota-kota besar. Dia memandang, belum tentu dokter asing mau ditempatkan di daerah terpencil dan tertinggal.

“Itu kemungkinannya, jadi daerah kecil tetap kekurangan dokter dan di kota masih akan menumpuk,” kata dia.

Selain itu, Iqbal juga meminta agar dokter asing mampu melayani masyarakat dari semua kelas. Meskipun dia meragukan apakah dokter asing mau menerima pasien dengan BPJS Kesehatan yang notabenenya dijamin mendapatkan pelayanan kesehatan murah. Jika dokter asing tidak mau melayani masyarakat berekonomi rendah, tentu akan menimbulkan masalah baru.

“Masyarakat bersosial rendah akan sulit bertemu mereka. Karena terhalang biaya konsultasi atau perawatan yang lebih besar dengan dokter asing,” ujar Iqbal.

Senada dengan Iqbal, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi, menekankan bahwa hadirnya dokter asing perlu menjawab masalah dasar sektor kesehatan di Indonesia. Misalnya, soal maldistribusi dan disparitas kesehatan yang masih terjadi saat ini.

“Masalah kebutuhan dokter tidak bisa hanya dijawab dengan memasukkan dokter, tetapi ada hal lain yang harus diperhatikan,” kata Adib dalam keterangannya, Selasa (28/5/2024).

Rasio dokter spesialis terhadap penduduk Indonesia baru 1,5 per 10.000 penduduk. Angka itu akan bervariasi di setiap daerah yang menandakan adanya distribusi yang belum merata. Dari sisi pelayanan, baru ada 22 rumah sakit di 17 provinsi yang mampu melayani stroke dan 12 provinsi yang bisa menjadi rujukan kanker.

Dia juga meminta adanya aturan turunan soal dokter asing sesegera mungkin. UU Kesehatan menyatakan tenaga medis dan tenaga kesehatan asing yang berpraktik di Indonesia berlaku bagi bidang spesialis dan subspesialis, serta tenaga kesehatan tingkat kompetensi tertentu. Evaluasi kompetensi perlu dilakukan kepada mereka meliputi penilaian kelengkapan administratif dan penilaian kemampuan praktik.

“Setiap negara harus punya regulasi dengan selective barrier. Tidak dengan mudah [dokter asing masuk]. Jangan sampai nanti masyarakat Indonesia hanya dijadikan pasar pelayanan saja,” ujar Adib.

Layanan Rumah Sakit Universitas Padjajaran

Pegawai melakukan pemeriksaan rutin fasilitas kesehatan di Rumah Sakit Universitas Padjajaran (Unpad), Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Senin (25/3/2024). Rumah Sakit yang baru selesai pembangunan tahap pertama tersebut mulai menyediakan operasional terbatas dengan membuka pelayanan rawat jalan (poliklinik), Instalasi Gawat Darurat, laboratorium, dan pelayanan farmasi sehingga diharapkan secara perlahan mampu berkontribusi dalam pelayanan rumah sakit, khususnya bagi masyarakat Jawa Barat. ANTARA FOTO/Novrian Arbi/tom.

Di sisi lain, Associate Professor Public Health dari Monash University Indonesia, Grace Wangge, kurang setuju dengan istilah ‘dokter asing’ karena tidak sejalan dengan prinsip kesehatan global (global health) dan kesetaraan kesehatan (health equity). Ketika seorang dokter memiliki standar kompetensi sesuai standar klinis kedokteran, dan mempunyai rekam jejak baik. Maka dia seorang dokter yang tugasnya melayani pasien, terlepas dari mana dia berasal.

“Kenapa mesti tetap dicap sebagai dokter asing. Justru branding ini yang menyesatkan. Seperti biasa, pemerintah harus memastikan keselamatan pasien terjamin, jadi aturannya sama, siapa pun yang melayani pasien,” kata Grace kepada reporter Tirto, Rabu.

Grace setuju perlu ada kompetensi yang setara dan layanan bagi semua pasien dengan masuknya dokter dari luar negeri. Masalah maldistribusi dokter memang tidak bisa hanya mengandalkan masuknya dokter asing. Harus juga melihat kebutuhan masyarakat dan pembenahan dokter di dalam negeri soal distribusi dokter.

“Ini investasi jangka panjang, jelas konteksnya tidak bisa disamakan dengan solusi instan seperti naturalisasi pemain [yang dibilang Menkes]. Kita kan nggak cuma mau memenuhi target WHO aja soal jumlah dokter, kita mau masyarakat kita sehat,” tutur Grace.

Lewat keterangan tertulis, Senin (27/5/202), Menkes Budi Gunadi Sadikin menyatakan keberadaan dokter asing akan memacu peningkatan kualitas dan mempercepat alih ilmu pengetahuan untuk para dokter muda Indonesia. Mereka akan berlatih dan bekerja bersama dokter-dokter ternama dari mancanegara, mempelajari disiplin kerja mereka, budaya kerja mereka, dan interaksi terhadap pasien.

Menkes Budi mencontohkan program kerja sama sektor kesehatan antara Indonesia dan Arab Saudi di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Adam Malik di Medan, Sumatra Utara. Program kerja sama dengan King Salman (KS) Relief dan Muslim World League dari Arab Saudi itu berupa kegiatan sosial berupa operasi jantung gratis bagi pasien tidak mampu.

“Ini contoh nyata keberadaan dokter asing dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dokter-dokter spesialis bedah jantung kita terutama yang muda-muda,” ujar Budi.

Menkes menekankan, keberadaan dokter asing jangan dijadikan provokasi yang memicu kekhawatiran tenaga medis bahwa pendapatan mereka akan turun atau peluang kerja mereka akan hilang. Saat ini, kata dia, Indonesia justru kekurangan banyak dokter spesialis.

“Mari kita kurangi banyak bicara yang negatif dan kita tambah banyak bekerja yang positif, demi kesehatan masyarakat Indonesia,” tutur Budi.

Baca juga artikel terkait DOKTER atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang