tirto.id - Pemilu Amerika Serikat sudah berlalu. Amerika kini di bawah komando Donald Trump, tetapi Pemilu 2016 itu masih menyisakan persoalan. Ada dugaan intervensi dan andil Rusia dalam kemenangan Trump yang kini tengah diselidiki oleh FBI.
Dalam laporan hasil investigasi Facebook, ditemukan sekitar 470 akun palsu berada di bawah koordinasi Rusia untuk mempengaruhi pemilih AS yang kala itu akan menentukan pengganti Barack Obama, atau tepatnya pada periode Juni 2015 hingga Mei 2017.
Laporan Facebook ini merupakan bagian dalam penyelidikan khusus Robert Mueller yang merupakan bekas Direktur FBI. Ia ditunjuk oleh Wakil Jaksa Agung AS Rod Rosenstein untuk menyelidiki kasus intervensi Rusia tersebut. Meski dalam beberapa kesempatan Kremlin membantah tudingan tersebut.
Selain di media sosial Facebook, Twitter juga mengidentifikasi akun-akun palsu dan menemukan 22 akun yang ternyata berhubungan dengan akun palsu di Facebook. Ada juga 179 akun Twitter lain yang digunakan untuk mempengaruhi pemilih di AS.
Kampanye melalui media sosial yang kini banyak dilakukan oleh banyak calon presiden terbilang cukup efektif. Akun-akun palsu tak tanggung-tanggung menggelontorkan sekitar 100.000 dolar AS untuk membayar iklan politik yang oleh Facebook diperkirakan dapat menghasilkan 2.000 hingga 3.000 iklan. Meski ditujukan untuk mempengaruhi pemilih, tapi isi iklan itu tak secara khusus mendukung salah satu kandidat.
Baca juga:Kemerdekaan Amerika dan Ketidakpuasan Warga kepada Trump
Iklan-iklan tersebut dikemas dengan beberapa fokus SARA, hak-hak LGBT, isu kontrol senjata dan imigrasi yang menurut laporan beberapa media juga memuat konten berisi “pesan pemecah belah.”
Menurut CNN, salah satu akun Facebook yang dijalankan Rusia misalnya Blacktivist yang memiliki 360.000 like di Facebook, bahkan melampaui akun Black Lives Matter yang telah diverifikasi Facebook dengan jumlah like hanya 301.000. Halaman Blacktivist mempublikasi sekitar tujuh demonstrasi pada 2016 termasuk peringatan kematian pria Afrika-Amerika Freddie Gray di Baltimore.
“Kami muak dengan kekerasan oleh polisi, rasisme, intoleran dan ketidakadilan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kami muak dengan ketidaktahuan pemerintah dan sistem yang gagal pada orang kulit hitam,” deskripsi pada demonstrasi untuk Freddie Gray.
Dampak Kasus Iklan Politik Rusia
Sebelum laporan Facebook ini muncul, pemerintah Amerika Serikat sudah mengendus adanya keterlibatan Rusia secara ilegal dalam mempengaruhi hasil pemilihan presiden AS pada 2016. Pemerintahan Obama kala itu mengecam campur tangan Kremlin dan juga menuduh Rusia terlibat dalam peretasan server Komite Nasional Demokratik (DNC).
Awalnya Obama yang berada satu partai bersama Clinton yang menjadi lawan Trump tak menganggap penting dampak dari kampanye misinformasi dan peretasan.
“Saya kira saya telah meremehkan hal itu [media sosial] karena dalam era informasi baru ini, sangat mungkin ada misinformasi tentang peretasan dunia maya dan sebagainya yang berdampak pada masyarakat dan sistem kita yang terbuka, untuk menyusup dalam praktik-praktik demokrasi lewat cara-cara yang semakin meningkat,” ujar Obama.
Kasus intervensi Rusia di AS pada dasarnya berdampak pada pertempuran politik di Washington. Partai Demokrat menekan untuk melakukan penyelidikan sedangkan Trump tampaknya berusaha untuk menyembunyikan kasus ini.
Baca juga: Travel Ban dan Ucapan Terima Kasih Donald Trump
Beberapa pejabat AS diberhentikan lantaran kasus intervensi Rusia. James Comey Direktur FBI menjadi salah satu pejabat Amerika yang dipecat Trump menyusul penyelidikan yang dilakukan FBI terhadap kasus keterlibatan Rusia. Jaksa Agung AS Sally Yates juga turut dipecat Trump pada Januari atau beberapa hari setelah resmi menjadi presiden AS. Lalu diganti oleh Jeff Sessions.
Namun, berselang beberapa bulan, Jaksa Agung AS, Jeff Sessions turut menarik diri dari investigasi kasus Rusia menyusul adanya tudingan bahwa dirinya bertemu dengan duta besar Rusia yaitu Sergey Kislyak. Kepala penasihat keamanan nasional Michael Flynn yang diangkat Trump pada Novemner 2016 juga menarik diri pada Februari 2017 karena tudingan yang sama dengan yang dilontarkan kepada Jeff Sessions.
Di sisi lain Rusia malah mendapat keuntungan. Kehadirannya dalam Pemilu AS menurut laporan Huffington Post, merupakan sinyal akan perluasan soft power rezim Putin yang kini mendapat basis dukungan politik dari AS lantaran pemimpin AS kini adalah sosok yang mendukung gaya pemerintahan otoriter dan konservatif Putin. Selain itu, kaum nasionalis sayap kanan di AS yang mendukung Trump juga tertarik dengan agenda Putin seperti kebijakan anti-LGBT di Rusia dan perang terhadap ekstremisme Islam.
Langkah Facebook Tangani Kasus Iklan Politik
Ketika kabar ribuan iklan yang digunakan Rusia itu menyeruak, tak hanya pihak Trump yang dibuat pusing, tapi juga pihak Facebook. Beberapa pihak langsung mempertanyakan tentang langkah apa yang akan diambil Facebook untuk mencegah aktivitas semacam itu di masa depan.
Awalnya Facebook menepis tudingan bahwa iklan palsu memiliki pengaruh pada pemilihan tersebut, tapi seiring dengan banyaknya tekanan dan temuan terkait intervensi Rusia, bos Facebook, Mark Zuckerberg, secara bertahap mulai melakukan penyelidikan hingga menerapkan serangkaian langkah untuk memerangi konten palsu.
Baca juga:Mengapa Kita Suka Hoax
Dalam laporan Financial Times, langkah yang diambil Facebook berupa menambah ribuan orang karyawan hingga mencapai 20.000 pada 2018. Sebagian akan diperbantukan sebagai pengulas guna memeriksa dan memberi flag pada artikel yang mencurigakan.
Sebelumnya pihak Facebook juga sudah mulai menghapus ribuan akun palsu. Diperkirakan Facebook akan menambah biaya sekitar 45 hingga 60 persen untuk merekrut banyak karyawan.
Di tengah bergulirnya isu iklan Rusia, laba Facebook malah terus meningkat. Laba per saham menjadi 1,59 dolar AS atau lebih tinggi dari perkiraan pada kuartal III-2017. Selain itu, laba bersih mencapai 4,7 miliar dolar AS atau naik 79 persen dibanding tahun sebelumnya.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Windu Jusuf