tirto.id - Sejak menjadi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump gencar sekali ingin melarang warga dari sejumlah negara mayoritas Islam untuk masuk ke Amerika Serikat. Persoalan keamanan nasional AS dijadikannya alasan.
Menurut Trump, melarang masuknya warga enam negara mayoritas Islam tersebut akan meminimalkan aksi terorisme di AS. Pengadilan Federal AS menolak permintaan Trump dan mengatakan bahwa larangan tersebut melanggar undang-undang imigrasi federal dan diskriminatif terhadap orang-orang Muslim. Sikap diskriminatif itu melanggar Konstitusi AS.
Namun, Senin (26/6) kemarin, Mahkamah Agung AS memberikan kemenangan kepada Presiden Donald Trump dengan memberlakukan kembali larangan perjalanan bagi warga enam negara berpenduduk mayoritas Muslim. Enam negara tersebut adalah Libya, Iran, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman.
Trump girang sekali mendengar putusan itu. “Sangat berterima kasih untuk keputusan Mahkamah Agung AS. Kita harus menjaga keamanan Amerika!” ujar Trump merespons putusan tersebut lewat akun twitter-nya.
“Sebagai presiden, saya tidak bisa membiarkan orang yang ingin menyakiti kita untuk masuk ke negara kita. Saya ingin orang-orang yang bisa mencintai Amerika Serikat dan seluruh warganya, pekerja keras juga produktif," tambah Trump.
Perintah Trump pada 6 Maret 2017 menyerukan larangan bepergian ke AS selama 90 hari kepada orang-orang dari Iran, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman dan larangan 120 hari untuk semua pengungsi sementara pemerintah menerapkan prosedur pemeriksaan yang lebih ketat.
Trump mengeluarkan perintah tersebut di tengah meningkatnya kekhawatiran internasional tentang serangan yang dilakukan oleh militan Islam seperti yang terjadi di Paris, London, Brussels, Berlin dan kota lainnya.
Namun, Mahkamah Agung tak mengabulkan semua yang diinginkan Trump. Putusan Mahkamah Agung masih membolehkan orang-orang di enam negara itu masuk ke AS jika memiliki hubungan baik dengan warga AS atau hubungna bisnis dengan pengusaha di Amerika. Dengan berlakunya aturan ini, orang-orang dari Libya, Iran, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman dan pengungsi yang tidak memiliki hubungan dengan negara tersebut akan dilarang masuk.
Pekan lalu, Trump menyatakan larangan tersebut akan efektif 72 jam setelah diumumkan. Maka ia akan efektif sekitar Kamis pagi waktu setempat.
Larangan imigrasi pertama dikeluarkan Trump pada 27 Januari lalu. Ia melarang masuknya warga Iraq, Libya, Iran, Somalia, Sudan, dan Yaman. Larangan itu juga akan menghentikan penerimaan pengungsi dari Iran. Larangan itu dihentikan oleh hakim federal New York sehari setelah dikeluarkan. Dan pada 3 Februari 2017 larangan itu dihentikan secara nasional.
Pada 6 Maret 2017, Trump kembali mengeluarkan larangan dengan menghapus Iraq dari daftar negara. Namun, pada 15 Maret, aturan itu dihentikan lagi oleh pengadilan yang lebih rendah dari Mahkamah Agung. Sayangnya, Mahkamah Agung malah mendukung langkah Trump, meskipun tidak sepenuhnya.
Margo Schlanger, Professor Fakultas Hukum di University of Michigan memprediksi Trump tidak akan puas. Meskipun saat ini dia menunjukkan kepuasannya dan berterima kasih kepada para hakim agung, dia tidak akan berhenti hingga keinginannya untuk melarang semua warga negara mayoritas Islam itu masuk ke Amerika.
Menurut Schlanger, langkah Trump ini lebih bersifat politis. Trump tidak sedang memikirkan keamanan nasional. “Sungguh, ini adalah retorika politik untuk membuatnya tampak seperti melakukan sesuatu tanpa benar-benar menyelesaikan banyak hal kecuali hanya menghina tetangga Muslim kita," ungkap Schlanger sperti dikutip ABC.
Selama ini kelompok yang menentang travel ban termasuk American Civil Liberties Union (ACLU), mengatakan bahwa kebanyakan orang dari negara-negara yang terkena dampak yang ingin masuk ke Amerika Serikat membutuhkan koneksi. Namun, mereka menyuarakan kekhawatiran bahwa pemerintah akan menafsirkan larangan tersebut seluas mungkin.
"Ini akan sangat penting bagi kita selama periode intervensi ini untuk memastikan bahwa pemerintah mematuhi persyaratan dan tidak mencoba menggunakannya sebagai pintu belakang untuk menerapkan larangan Muslim skala penuh yang telah diupayakan untuk dilaksanakan,” kata Omar Jadwat, seorang pengacara ACLU.
Sebelumnya Donald Trump sempat meradang setelah pembatalan kebijakannya. Ia sempat menyatakan tidak akan mau bertanggung jawab jika serangan teroris menimpa Amerika Serikat karena dia merasa larangan tersebut bisa mencegah terorisme. Namun, kini Trump untuk sementara waktu bisa tersenyum lebar, tapi tidak untuk warga yang negaranya terkena travel ban.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Suhendra