tirto.id - Pada Senin, 26 April 1937, semestinya jadi hari yang menyenangkan bagi warga Kota Guernica, negara bagian Basque, Spanyol. Sebagaimana lazimnya, sore itu lonceng Gereja Santa Maria berdentang sebagai tengara di mulainya pekan raya. Warga yang tinggal di sekitar bukit berbondong-bondong memadati alun-alun kota.
Namun, suka cita sore itu segera berubah jadi horor, kala pesawat-pesawat pembom berlogo Nazi Jerman melintas di langit Guernica. Sekira pukul 4.30, bom-bom mulai berjatuhan. Selama tiga jam kemudian Guernica bak neraka yang dipenuhi ledakan, api, dan kehancuran.
Serangan Luftwaffee Jerman atas Guernica terjadi atas persetujuan Jenderal Francisco Franco. Zaman itu, Spanyol memang sedang dilanda perang sipil antara kaum nasionalis-fasis pimpinan Franco dan kaum republikan. Bagi Franco, bombardir atas Guernica adalah caranya memperingatkan kaum republikan Spanyol lainnya.
“Tujuan Franco hanyalah untuk meneror orang-orang yang tidak mendukungnya, tetapi bagi Nazi Jerman, itu adalah kesempatan untuk mempraktikkan kebijakan imperialisme dan mengukur bagaimana reaksi dunia?” tulis laman History.
Sejarah mencatat inilah momen pertama Jerman menguji keandalan alutsista dan strategi perang mutakhir mereka: Blitzkrieg. Gara-gara serangan kilat itu, diperkirakan seribuan orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Guernica luluh lantak malam itu.
Sementara itu, ketika serangan itu terjadi, seorang warga perantauan Spanyol di Paris bernama Pablo Picasso sedang rungsing. Awal tahun itu, ia dapat penugasan dari pemerintah Republik Spanyol untuk ikut mengisi paviliun Spanyol dalam Paris World’s Fair. Waktu persiapan hanya tinggal dua bulan tapi belum ada ide karya yang membuatnya sreg.
Pemerintah Republik Spanyol menginginkan karya skala besar yang mencerminkan sikap anti-fasis. Meski Picasso sendiri cenderung mendukung demokrasi, ia tak berniat bikin karya yang politis kala itu. Namun, ia malah bingung mau bikin karya macam apa.
Saat Picasso sedang menyeruput kopi di Café de Flore, sebuah berita di koran pagi itu bikin dirinya tersentak. Koran itu tak lain mengabarkan tentang Guernica yang rata dengan tanah gara-gara serangan sehari sebelumnya. Insting seninya lantas menyala.
“Saat melihat kengerian itu, Picasso tahu dia telah menemukan ide lukisannya,” tulis laman National Geographic.
Selama beberapa hari Picasso mencoba mengikuti berita-berita soal Guernica dari media-media Perancis. L'Humanité, salah satu koran yang dibacanya, menampilkan foto-foto dramatis tentang kehancuran kota kecil di Spanyol bagian utara itu. Dari bahan-bahan itu Picasso mulai membuat sketsa-sketsa awal untuk mural yang nantinya ia beri judul Guernica.
Bertepatan dengan May Day 1937, Picasso mulai melakukan studi komposisi di studionya di Rue des grand Augustins. Pada 11 Mei Picasso mulai menorehkan kuas pertamanya di kanvas besar berukuran tinggi 349,3cm dan panjang 776,6cm.
“Dalam waktu hampir satu setengah bulan, Picasso menghasilkan sekitar lima puluh gambar dan sketsa, dan membuat berbagai modifikasi pada kanvas besar itu,” tulis laman resmi Museo Nacional De Arte Reina Sofia.
Lukisan Anti-Perang Universal
Mural itu dengan jelas memampang segala konsekuensi fisik dan emosional akibat perang. Sebuah serangan balik atas kelaliman Jenderal Franco.
Di mulai dari sisi kiri tampak sesosok ibu meraung sambil menggendong seorang bayi yang lunglai. Lalu di bagian kiri ada tiga sosok lain yang tak kalah menyedihkan. Dari sebuah jendela bangunan yang terbakar, seorang perempuan menjulur keluar membawa obor.
Dari obor itu tampak ilusi segitiga yang agaknya menggambarkan soroton cahaya obor ke lanskap di bawahnya. Seakan menyinari kehancuran kota, obor itu mungkin bermakna agar dunia bisa melihat apa yang terjadi di sana.
Seorang perempuan lain dengan ekspresi pilu tampak menyeret tubuhnya yang dipenuhi luka. Di ujung kanan, seorang lainnya meraung dilalap api. Sementara di latar belakang tampak gedung yang juga terbakar.
Di tengah bidang terdapat objek serupa bom yang meledak. Di Bawah bom yang meledak itu, di titik sentral lukisan, ada seekor kuda berlari liar. Mungkin ketakutan, mungkin kesakitan. Di bawah injakan kuda itu terbaring sosok yang prajurit yang pecah berkeping-keping. Jemarinya yang masih mengepal kuat memegang pedang banyak diinterpretasikan sebagai kekuatan terakhir kaum republikan Spanyol menghadapi kaum fasis pimpinan Franco.
Sementara itu, Franco dan fasisme yang meluluhlantakkan Guernica agaknya diwakilkan oleh sosok banteng yang berdiri tegak dengan air muka dingin tanpa ekspresi. Imaji apokaliptik kian intens oleh cara Picasso menampilkan bentuk-bentuk secara deformatif. Semua itu dirangkum dalam tone warna dominan abu-abu dan hitam yang muram.
Ketika akhirnya dipamerkan di Paviliun Spanyol pada Juli 1937, lukisan Guernica menyedot begitu banyak perhatian. Orang-orang dengan segera membacanya sebagai lukisan protes atas kekejaman perang yang terjadi di Guernica. Simbolisasi banteng dan kuda memang membuat orang mengasosiasikannya sebagai khas Spanyol.
Namun, itu semua hanyalah tafsir dari para pemirsa dan kritikus. Masih ada beberapa tafsir lain soal objek-objek yang tersaji dalam Guernica. Jika ditanya soal karyanya itu, penganjur kubisme ini tak pernah mau bicara gamblang.
“Jika Anda mencoba memberi arti pada hal-hal tertentu dalam lukisan saya, bisa jadi itu benar. Namun, bukan maksud saya untuk memberikannya arti. Ide dan kesimpulan lukisan itu saya dapatkan secara naluriah, secara tidak sadar. Saya melukis objek apa adanya,” kata Picasso yang wafat pada 8 April 1973—tepat hari ini 46 tahun lalu.
Mungkin juga itu karena Picasso tak mau jadi tampak terlalu politis. Tapi, dengan membiarkan orang bebas menafsir, lukisan Guernica malah jadi ikon anti-perang universal. Ia jadi relevan untuk ruang dan waktu yang berbeda. Ia bukan hanya bicara tentang kekejaman perang di Guernica, tapi juga di seluruh dunia.
Melanglang Buana
Meski tak mau terlihat politis, Picasso paham belaka bahwa lukisannya itu punya risiko politik. Rezim Franco bisa saja merusak karya itu. Karenanya ia tak sudi lukisan Guernica disimpan di Spanyol selama kediktatoran masih hidup. Jadilah, selama Jenderal Franco berkuasa, Guernica melanglang buana ke berbagai tempat di Eropa dan Amerika.
Laman Public Broadcasting Service (PBS) mencatat, setelah Paris World’s Fair berakhir pada November 1938, lukisan Guernica berturut-turut dipamerkan di Oslo, Stockholm dan Kopenhagen.
Pada Mei 1939, lukisan Guernica diterbangkan ke AS untuk pameran penggalangan dana bagi pengungsi perang sipil Spanyol. Sejak itu pula atas permintaan Picasso, lukisan Guernica dipinjamkan kepada Museum of Modern Art (MoMA) di New York. Sejak itu, tiap selesai pameran di mana pun lukisan Guernica hanya boleh disimpan dan dirawat di New York.
“Selama rentang waktu inilah Guernica menjalani kehidupan di luar kanvas. Ia alat protes bagi serangan ke Dresden, Berlin, Hiroshima, juga tempat-tempat lain di mana warga sipil yang tak berdaya diserang. Pelan-pelan ia juga beresonansi di kalangan aktivis anti-perang,” tulis Casey Lesser dalam What Makes Guernica Picasso’s Most Influential Painting.
Selama masa itu, Guernica diterima sebagai simbol anti-perang modern. Potongan objek-objek atau keseluruhan lukisan itu seringkali dijadikan alat peraga dalam gerakan protes atas perang di seluruh dunia.
Karena usia yang semakin tua dan rentan, akhirnya Guernica berhenti dipamerkan keliling pada 1958. Picasso juga memperpanjang masa pinjam ke MoMA hingga waktu yang tak terbatas.
Sepuluh tahun kemudian pemerintah diktator Franco mencoba upaya untuk membawa lukisan Guernica ke Spanyol. Kala itu Picasso tetap berkukuh pada pendirian awalnya.
“Pada 1970 Picasso membuat ketentuan tambahan jika Guernica hendak di bawa ke Spanyol. Awalnya, ia menuntut pembentukan Republik. Lalu dia menetapkan standar lain, seperti kebebasan dan demokrasi di Spanyol,” tulis laman PBS.
Ketika Franco mangkat pada 1973, perlahan Spanyol mulai memulihkan demokrasinya. Ada secercah harapan untuk memboyong lukisan Guernica pulang kampung halamannya. Setelah negosiasi alot dengan ahli waris Picasso, pemerintah Spanyol akhirnya bisa membawa lukisan Guernica ke Spanyol pada 1981.
Mulanya lukisan itu disimpan di Museum Prado, Madrid. Di sana lukisan Guernica dan sketsa-sketsa awal yang dibuat Picasso dipamerkan di balik kaca anti-peluru untuk menghindari vandalisme. Pasalnya, masih ada sekalangan kaum nasionalis kanan Spanyol yang menentang lukisan itu. Terakhir, pada 1992, lukisan Guernica dipindahkan ke Museo Nacional De Arte Reina Sofia hingga kini.
Editor: Suhendra