tirto.id - Adanya pembahasan mengenai RUU TNI 2025 ini menimbulkan perbedaan pendapat. Banyak kalangan yang menolak adanya perubahan dalam UU No. 34 Tahun 2004 itu. Lantas, apa dampak dari RUU TNI 2025 jika disahkan?
Pemerintah telah menyetujui usulan DPR untuk melakukan pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) untuk merevisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia berdasarkan surat Presiden Nomor R12 Tahun 2025 tanggal 13 Februari tahun 2025.
Rapat kerja Panitia Kerja (Panja) DPR RI dan Pemerintah membahas RUU TNI 2025 saat ini masih berlangsung. Rapat yang awalnya diagendakan hanya berlangsung selama dua hari yaitu pada Jumat, 15 Maret 2025 dan Sabtu keesokan harinya itu ternyata masih belum rampung. Kabarnya, hari ini rapat akan dilanjutkan di Gedung DPR RI.
Kenapa RUU TNI Ditolak dan Apa Dampaknya Jika Disahkan?
Adanya pembahasan mengenai RUU TNI 2025 ini mengundang pro kontra. Beberapa pengamat menyampaikan jika Pemerintah dan DPR harus ekstra hati-hati dalam merumuskan perubahan Undang Undang tersebut. Jangan sampai adanya perubahan justru membuat TNI menjadi lembaga yang punya kewenangan luas tanpa diimbangi pengawasan yang ketat.
“Sebagai akademisi hukum, kita harus memberikan pandangan kritis dan objektif. Jangan sampai revisi ini justru memperbesar kewenangan tanpa keseimbangan pengawasan. Kita harus memastikan bahwa perlindungan hak masyarakat tetap menjadi prioritas,” ujar Dekan FH UB, Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum dikutip laman Universitas Brawijaya dalam diskusi publik yang menyoroti potensi bahaya dari RUU Polri, RUU TNI, dan RUU Kejaksaan.(3/3).
“Kita harus menghindari konsentrasi kekuasaan di satu institusi tanpa pengawasan yang jelas. Jika dibiarkan, masyarakat sipil bisa semakin terpinggirkan dalam sistem hukum yang tidak berimbang,” tambah Ketua PBHI Nasional, Julius Ibrani yang juga hadir dalam forum tersebut.
Menanggapi kekhawatiran masyarakat, mengenai kemungkinan munculnya kembali Dwifungsi TNI atau ABRI ini, Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto berani menjamin jika supremasi sipil tetap diutamakan.
“Prinsip besarnya Panglima TNI menjamin bahwa supremasi sipil tetap harus diutamakan di dalam negara demokrasi. Dan bahwa tadi di presentasi beliau ada statement yang sangat penting, yang itu menjadi kesimpulan kita bahwa supremasi sipil tetap menjadi pilar utama dalam negara demokratis Indonesia,” tegas Utut dikutip laman resmi eMedia DPR RI (14/3).
Berikut sisi negatif jika Dwifungsi TNI kembali diterapkan:
- Keterlibatan militer dalam politik dan pemerintahan bertentangan dengan prinsip demokrasi. Warga sipil akan lebih sedikit yang menempati jabatan dalam pemerintahan karena banyak diisi oleh militer.
- Potensi penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia akan bertambah.
- Tugas utama TNI sebagai lembaga pertahanan negara bisa tersisihkan karena ikut terjun dalam pemerintahan.
- Pemerintah akan sangat tergantung dengan militer. Hal ini bisa menimbulkan sikap militer yang memegang senjata semakin otoriter karena diberi kekuasaan.
Editor: Prihatini Wahyuningtyas & Dipna Videlia Putsanra