tirto.id - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memerintahkan penarikan sejumlah produk obat yang mengandung Ranitidin dari peredaran. BPOM merilis perintah itu pada Jumat, 4 Oktober 2019 lalu.
Berdasarkan siaran resmi BPOM, perintah penarikan sejumlah produk obat Ranitidin itu berawal dari peringatan US Food and Drug Administration (US FDA) dan European Medicine Agency (EMA).
Pada 13 September 2019, lembaga pengawas obat di AS dan Eropa itu mengeluarkan peringatan tentang temuan cemaran N-Nitrosodimethylamine (NDMA) dalam jumlah relatif kecil pada sampel produk obat yang mengandung bahan aktif Ranitidin.
NDMA merupakan turunan zat Nitrosamin yang dapat terbentuk secara alami. Sementara menurut hasil studi global, nilai ambang batas cemaran NDMA yang diperbolehkan adalah 96 nanogram per hari. Jika dikonsumsi melampaui ambang batas itu secara terus-menerus dalam waktu yang lama, NDMA akan bersifat karsinogenik atau memicu kanker.
BPOM sempat menerbitkan informasi awal bagi Tenaga Profesional Kesehatan pada 17 September 2019 terkait keamanan produk obat Ranitidin yang tercemar NDMA. BPOM mengimbau perlunya prinsip kehati-hatian dalam meresepkan obat Ranitidin kepada pasien.
Selain itu, BPOM juga melakukan pengujian terhadap beberapa sampel produk obat Ranitidin. Hasil uji tersebut menyimpulkan sejumlah produk obat Ranitidin mengandung cemaran NDMA melebihi ambang batas normal.
Dengan dasar hasil pengujian itu, BPOM memerintahkan beberapa perusahaan farmasi menyetop produksi dan distribusi obat Ranitidin yang mengandung NDMA melampaui ambang batas. BPOM pun meminta produk-produk obat tersebut ditarik dari peredaran.
“Industri farmasi diwajibkan untuk melakukan pengujian secara mandiri terhadap cemaran NDMA dan menarik secara sukarela apabila kandungan cemaran melebihi ambang batas yang diperbolehkan,” tulis BPOM di dalam siaran resminya.
BPOM menyatakan pengujian untuk menyelidiki kandungan NDMA akan dilakukan terhadap semua produk obat Ranitidin yang beredar di Indonesia.
Akhir 2018 lalu, BPOM juga pernah melarang peredaran obat anti-hipertensi golongan ARB, yaitu Irbesartan, Losartan dan Valsartan, sebab mengandung NDMA dan N-Nitrosodiethylamine (NDEA). Merek obat ARB yang dilarang beredar adalah Acetensa Tablet Salut Selaput 50 mg (PT Pratapa Nirmala) dan Insaar tablet 50 mg dengan pendaftar PT Interbat.
Daftar Obat Mengandung Ranitidin yang Ditarik BPOM
BPOM memerintahkan penarikan 5 merek produk obat yang mengandung Ranitidin dari peredaran. Adapun 5 merek obat Ranitidin itu adalah:
- Ranitidine Cairan Injeksi 25 mg/mL yang diedarkan oleh PT Phapros Tbk. Nomor Bets Produk Beredar obat ini adalah 95486 160 s/d 190, 06486 001 s/d 008, 16486 001 s/d 051 dan 26486 001 s/d 018.
- Zantac Cairan Injeksi 25 mg/mL yang diedarkan PT Glaxo Wellcome Indonesia. Detail Nomor Bets Produk Beredar obat ini ialah GP4Y, JG9Y dan XF6E
- Rinadin Sirup 75 mg/5mL yang diedarkan oleh PT Global Multi Pharmalab. Data Nomor Bets Produk Beredar obat ini adalah 0400518001, 0400718001 dan 0400818001
- Indoran Cairan Injeksi 25 mh/mL yang diedarkan PT Indofarma. Nomor Bets Produk Beredar obat ini ialah BF171008
- Ranitidine Cairan Injeksi 25 mg/mL yang diedarkan PT Indofarma. Detail Nomor Bets Produk Beredar obat ini ialah BF171 009 s/d 021
PT Phapros Tbk (PEHA) menyatakan telah melakukan penarikan terhadap obat Ranitidin HCl Cairan Injeksi 25 mg/ml sesuai perintah BPOM. Sebagaimana dilansir Antara, Phapros mengklaim menarik obat ini dari semua outletnya di Indonesia. Phapros mengaku, secara berkala juga melaporkan ke BPOM terkait penghentian produksi, penarikan dan pemusnahan obat Ranitidin itu.
Indikasi Obat Ranitidin Bisa Menjadi Pemicu Kanker
Ranitidin adalah obat yang digunakan untuk penanganan gejala penyakit asam lambung dan tukak usus. BPOM mengizinkan peredaran obat ranitidin sejak 1989. Obat ini biasa berupa tablet, sirup dan injeksi.
Sebagai obat golongan Histamine-2 (H2) Blockers, Ranitidin berfungsi untuk menghambat reseptor histamin di lambung. Ranitidin juga bisa mengurangi produksi asam lambung. Karena itu, obat ini biasa diresepkan untuk mengobati dan mencegah gastritis (radang dinding lambung) serta ulkus peptikum (tukak lambung).
Siaran resmi US FDA pada 13 September lalu, menyebut kandungan N-Nitrosodimethylamine atau NDMA dalam level rendah ditemukan di beberapa produk obat Ranitidin, termasuk yang bermerek Zantac.
"NDMA diklasifikasikan sebagai zat yang mungkin menjadi karsinogen bagi manusia (zat yang dapat memicu kanker), berdasarkan hasil tes laboratorium. NDMA dikenal sebagai zat pencemar lingkungan dan bisa ditemukan dalam air dan makanan, termasuk daging, susu serta sayuran," kata Direktur Pusat Evaluasi dan Penelitian Obat US FDA, Janet Woodcock M.D.
Menurut Janet, tahun lalu, FDA juga telah menyelidiki kandungan NDMA dan turunan Nitrosamin lainnya pada obat untuk tekanan darah tinggi, yakni Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs). Di kasus ARB, FDA merekomendasikan penarikan banyak produk obat.
Sementara pada 16 September lalu, lembaga pengawas obat Singapura, yakni The Health Sciences Authority (HSA) telah memerintahkan penjualan 8 merek obat Ranitidin disetop karena terbukti mengandung NDMA di atas batas normal. Larangan itu keluar usai HSA menguji semua merek obat Ranitidin yang beredar di Singapura.
HSA menjelaskan paparan NDMA dalam jangka waktu yang lama dan melampaui ambang batas aman untuk manusia terbukti bisa memicu kanker pada hewan. HSA mencatat banyak obat yang mengandung NDMA di atas batas normal telah ditarik dari peredaran di seluruh dunia.
Berdasar keterangan Badan Kesehatan Dunia (WHO), memang ada bukti konklusif bahwa NDMA merupakan zat karsinogen dengan dampak kuat pada hewan. Badan Internasional untuk Riset Kanker (IARC) pun mengklasifikasikan NDMA sabagai zat yang terindikasi dapat memicu kanker pada manusia. Sejumlah studi kasus mendukung asumsi bahwa konsumsi NDMA berhubungan dengan kanker lambung dan kolorektal.
Editor: Agung DH