Menuju konten utama
Byte

Kenapa HP Kentang Zaman Sekarang Terasa Lebih Oke?

Meski tentu punya kekurangan, kualitas perangkat keras dan lunak yang kian meningkat membuat ponsel "kentang" dengan spek rendah jadi makin bisa diandalkan.

Kenapa HP Kentang Zaman Sekarang Terasa Lebih Oke?
Ilustrasi smartphone. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pada 2008, sebuah video berjudul "Removing limitation on PC (Recorded with POTATO)" diunggah oleh pemilik kanal Xainer di YouTube. Video tersebut sebenarnya tidak populer-populer amat. Sejak dirilis 17 tahun lalu video itu baru ditonton sekitar 39 ribu kali dan pengikut Xanier pun mentok di angka 230. Akan tetapi, video tutorial sederhana itu melahirkan sebuah slang yang hingga kini masih digunakan.

Slang yang dimaksud adalah potato atau kentang. Xanier menulis judul "Removing limitation on PC (Recorded with POTATO)" sebagai bentuk self deprecation atau ejekan terhadap diri sendiri. Maksudnya, video yang dia unggah tersebut berkualitas buruk seakan-akan direkam menggunakan sepotong kentang.

Dan sejak itulah istilah potato, atau kentang, untuk menyebut hardware spek rendah mendunia. Di Indonesia, istilah ini biasa digunakan untuk menyebut ponsel pintar berspek rendah dan berharga murah. Dulu, ponsel-ponsel pintar seperti ini biasanya kesulitan menjalankan aplikasi berat, mudah panas, bahkan sering restart sendiri. Gampangnya, ya, ada harga ada rupa.

Akan tetapi, istilah HP kentang barangkali kini sudah tak lagi relevan. Pasalnya, HP murah zaman sekarang tidak lagi seperti HP murah zaman dulu. Meski murah, ponsel-ponsel pintar level pemula kini sudah tidak lemot, tidak gampang panas, apalagi restart sendiri. Bahkan, ponsel pintar Rp2 jutaan ke bawah sekarang ini sudah bisa dipakai untuk ber-TikTok ria, bermabar ria, bahkan mengedit video.

Pertanyaannya, apa yang bikin "HP kentang" zaman sekarang tidak lagi terasa "kentang"?

Kualitas Hardware Meningkat Drastis

Ya, alasan pertama di balik lenyapnya kesan "kentang" di "HP kentang" adalah karena kualitas hardware secara keseluruhan, termasuk untuk ponsel pintar spek rendah, memang sudah meningkat drastis ketimbang beberapa tahun silam.

Chipset level pemula kekinian seperti MediaTek Helio G25 dan G35, Unisoc T606, atau Snapdragon 4 Gen 1 sudah jauh lebih canggih ketimbang chipset "mendang-mending" yang eksis, katakanlah, lima hingga sepuluh tahun lalu.

Kecepatan operasi CPU (clock speed) di ponsel pintar modern sudah jauh lebih tinggi, bahkan untuk entry level sekalipun. Belum lagi, kualitas GPU (kartu grafis) juga terus mengalami peningkatan kualitas, pun demikian dengan efisiensi daya. Inilah kenapa ponsel pintar zaman sekarang tidak lagi lemot, mudah panas, atau boros baterai.

Perubahan krusial lainnya ada di sektor memori. Mayoritas ponsel untuk kaum mendang-mending di 2024-2025 ini sudah menggunakan penyimpanan UFS 2.2 alih-alih eMMC. Hasilnya? Aplikasi berjalan lebih cepat, instalasi pembaruan hanya memakan waktu beberapa menit, dan lag sudah berkurang drastis meskipun ponsel tersebut cuma memiliki memori internal 64GB, misalnya.

Lalu, ada pula yang namanya RAM virtual. Dulu, fitur ini cuma bisa ditemukan di ponsel flagship. Akan tetapi, seiring waktu, teknologi ini telah diturunkan ke ponsel-ponsel level pemula berharga miring. Gampangnya, jika ponsel Anda hanya punya RAM 4GB, misalnya, secara otomatis ia akan "meminjam" RAM 2-6GB dari memori internal sehingga ponsel yang Anda miliki jadi terasa lebih bertenaga. RAM virtual ini, khususnya, sangat membantu dalam multitasking alias membuka beberapa aplikasi sekaligus.

Ilustrasi smartphone

Ilustrasi smartphone. FOTO/iStockphoto

Software Juga Ikutan Pintar

Namun, hardware bukan satu-satunya alasan mengapa "HP kentang" tidak lagi "kentang". Pasalnya, software modern pun sudah mengalami perkembangan signifikan yang membuatnya jadi lebih bisa menyesuaikan diri dengan kapabilitas ponsel.

Dan ketika kita bicara software, kita tidak cuma bicara soal aplikasi, bahkan sampai ke level sistem operasi (operating system/OS). Android, misalnya, tidak lagi cuma punya Android sebagai sistem operasi. Sejak 2017, Android sudah punya Android Go yang memang secara khusus didesain untuk ponsel spek rendah dengan RAM kecil (1-2GB).

Salah satu cara Android Go memuluskan operasi adalah dengan melengkapi ponsel dengan aplikasi-aplikasi esensial yang secara khusus didesain untuk OS tersebut. Misalnya, di ponsel pintar biasa kita bisa menemukan Google Maps, tetapi di Android Go aplikasi navigasi yang tersedia adalah Google Maps Go yang ukuran serta kebutuhan untuk menjalankannya lebih ringan dibanding versi asli.

Selain itu, Android Go juga mampu mengatur aplikasi mana yang sekiranya lebih diprioritaskan sehingga tidak membebani ponsel pengguna. Animasi yang dihasilkan oleh ponsel dengan OS Android Go juga lebih ringan sehingga tidak membebani GPU.

Sudah OS-nya lebih ringan, UI yang diberikan kepada ponsel budget juga berbeda dengan ponsel mid-range atau flagship. One UI Core (Samsung), MIUI Lite (Xiaomi), dan HiOS (infinix) didesain untuk tidak membuat ponsel berspek rendah terbebani dengan keharusan menampilkan UI yang berat. Fokus utama dari UI ini bukanlah soal tampilan, melainkan fungsi. Yakni, bagaimana caranya supaya pengguna tetap bisa menavigasi ponselnya tanpa lemot.

Yang terakhir, tentu saja, adalah aplikasi-aplikasi itu sendiri. TikTok, Facebook, YouTube, aplikasi-aplikasi tersebut kini sudah memiliki versi "Lite" yang memakan lebih sedikit data, memori, dan RAM. Bahkan, game ponsel macam PUBG Mobile pun sudah memiliki versi "Lite", kendati memang ukuran peta, jumlah pemain, dan kualitas grafis yang ditampilkan berbeda dengan versi orisinal.

Ilustrasi smartphone

Ilustrasi smartphone. FOTO/iStockphoto

Tekanan Pasar Punya Peranan

Satu hal yang tak bisa dilewatkan dari hilangnya "HP kentang" adalah tekanan pasar. Dalam beberapa tahun terakhir, pabrikan ponsel pintar—khususnya yang bermain di pasar dunia ketiga seperti Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika, terlibat dalam perang harga sengit yang memaksa mereka meningkatkan kualitas ponselentry level-nya. Dengan kata lain, mereka kini punya prinsip: harga boleh kentang tapi performa tetap harus nendang.

Hasilnya, tentu saja, adalah integrasi fitur premium dalam ponsel spek rendah, mulai dari layar dengan refresh rate tinggi, baterai berkapasitas besar, kamera ganda, bahkan fast charging. Fitur-fitur ini dulunya cuma bisa ditemukan dalam ponsel mahal, tetapi sekarang sudah jadi fitur dasar yang dimiliki nyaris semua smartphone.

Ini semua, tentunya, disokong oleh perkembangan teknologi yang sudah semakin canggih. Bagian-bagian ponsel yang dulu berharga mahal juga kini bisa didapat dengan harga murah. Dengan demikian, pabrikan-pabrikan smartphone bisa memproduksi ponsel dengan kualitas lumayan dengan harga rendah. Dan konsumen pun bahagia karena mereka tidak lagi ketinggalan meski punya budget pas-pasan.

Sayangnya... Meskipun istilah "HP kentang" mungkin sudah tak lagi relevan, bukan berarti ponsel budget sudah tidak punya hambatan berarti. Sebab, ponsel-ponsel ini sejatinya didesain tidak untuk pemakaian jangka panjang. Jadi, meskipun seseorang bisa mendapatkan ponsel kentang yang tidak kentang dengan harga murah, dalam waktu relatif singkat dia mesti harus membeli ponsel baru untuk menjaga tingkat kenyamanan penggunaan.

Mengapa?

Well, pertama, kita harus bicara soal pembaruan perangkat lunak. Jenama-jenama smartphone sekarang sudah menjanjikan pembaruan software selama 5 tahun untuk ponsel budget. Akan tetapi, ponsel-ponsel ini biasanya akan telat mendapatkan update ketimbang kelas mid-range atau flagship. Security patch juga diperkirakan tidak sekuat ponsel yang lebih mahal sehingga lebih rentan terserang serangan siber.

Kemudian, harus diakui bahwa pengalaman berponsel dengan smartphone entry level bisa dijamin berbeda dengan yang speknya lebih baik. Aplikasi-aplikasi yang kompatibel dengan Android Go tidaklah selengkap versi asli, pun demikian dengan aplikasi-aplikasi Lite. Jika memang mau dipaksakan dengan aplikasi versi orisinal, risiko lag, hang, bahkan crash bakal senantiasa menghantui.

Terakhir, soal daya tahan fisik dan kualitas material ponsel itu sendiri. Lagi-lagi, ini tidak bisa disamakan dengan ponsel dengan harga lebih tinggi karena, kembali lagi, ponsel berspek rendah mengedepankan fungsi. Yang penting bisa dipakai dengan nyaman. Perkara awet atau tidak, itu nomor kesekian karena, ya, seperti kata tukang becak di cerita-cerita lama: Mbayar dua ribu, kok, minta selamat?

Akan tetapi, walaupun kekurangannya juga perlu diperhatikan, secara umum kualitas ponsel entry level sudah jauh lebih baik. Kekurangan-kekurangan yang ada tidak semestinya menjadi penghalang untuk membeli sesuai anggaran karena, pada akhirnya, cara seseorang memperlakukan ponsel juga bakal menentukan keawetannya.

Pendek kata, sekarang tidak lagi yang namanya "HP kentang". Tidak ada lagi yang namanya lemot dan panas asalkan digunakan dengan semestinya. Kalaupun ada kekurangan, ya, wajar saja karena pada dasarnya tidak ada ponsel yang sempurna juga. Satu hal yang pasti, semakin canggih teknologi, semakin tinggi pula kualitas ponsel, bahkan untuk level terendah sekalipun.

Baca juga artikel terkait SMARTPHONE atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Byte
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi