tirto.id - Satu hal yang tak bisa disangkal dari ponsel era 2000-an adalah betapa flamboyannya mereka. Warnanya nyentrik dan bermacam-macam, mulai dari biru metalik, hijau neon, merah apel, sampai pink yang menyala. Bentuknya? Lebih variatif lagi. Ada yang berbentuk flip dan slide, ada yang keypad-nya berbentuk memutar, ada yang berbentuk seperti lipstik, dan ada pula yang tampak seperti gawai film fiksi ilmiah.
Sudah begitu, ponsel-ponsel itu pun dirancang untuk bisa dimodifikasi. Ganti casing, ganti keypad, ganti antena, dan ganti pelindung biasa dilakukan oleh para pemilik ponsel pada era tersebut. Ponsel yang dari pabriknya saja sudah tampak begitu unik masih bisa dimodifikasi sampai pada titik di mana tidak ada orang di dunia ini yang memiliki ponsel sama seperti orang lain.
Lantas, apa yang membuat ponsel pada era 2000-an terlihat begitu meriah dan mungkinkah semangat zaman itu diulang kembali pada masa kiwari?
Keterbatasan Teknologi
Kayanya desain dan warna ponsel pada era 2000-an tidak bisa dipisahkan dari konteks teknologi. Kala itu teknologi ponsel masih begitu terbatas. Memang, sejak awal 2000-an pun dunia telah mengenal ponsel pintar seperti PDA atau Nokia Communicator. Akan tetapi, tak banyak orang yang menggunakannya. Sebagian besar orang, ya, menggunakan ponsel yang biasa saja dari segi teknologi.
Bagian layar, terutama, menjadi alasan mengapa desain ponsel bisa begitu variatif. Saat itu, belum ada aplikasi-aplikasi keluaran App Store atau Play Store yang mengharuskan layar ponsel harus berukuran sekian dan berpiksel sekian. Layar ponsel, kala itu, ukuran dan jenisnya masih sangat bervariasi pula, baik yang masih monokrom maupun telah berwarna. Waktu itu, layar bisa dibuat seukuran apa pun sehingga desainer bebas berkreasi.
Kreasi mereka pun sungguh liar dan membuat desain ponsel jadi begitu beragam. Seakan-akan, setiap ponsel memiliki jiwa sendiri dan hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang karakternya cocok dengannya. Bagi para desainer, ada spirit eksperimental di mana mereka berusaha menggabungkan keergonomisan, tampilan, fungsi, serta kebaruan desain.
Misalnya, ponsel flip atau lipat. Selain terlihat keren saat seseorang menerima atau menutup telepon, desain itu berfungsi untuk melindungi layar sekaligus keypad. Kemudian, ada ponsel slide dan putar (swivel) yang mengejar compactness sehingga, ketika sedang tidak dipakai, ponsel-ponsel ini jadi lebih ringkas untuk dibawa. Itu semua, ditambah dengan warna yang juga bermacam-macam, membuat tiap seri ponsel terlihat lain daripada yang lain.
Segmentasi Pasar
Selain soal teknologi, faktor lain di balik variatifnya desain ponsel adalah segmentasi pasar. Pasar ponsel ketika itu masih begitu kompetitif; tidak ada jenama yang benar-benar dominan. Nokia, Motorola, Ericsson (dan Sony Ericsson), Siemens, LG, dan Samsung, semuanya masih memiliki kans yang, secara virtual, sama dengan para pesaingnya untuk merebut hati konsumen di tengah pasar yang tengah bertumbuh. Mengingat teknologi masih begitu-begitu saja, hal termudah untuk menarik hati para konsumen, ya, apa lagi kalau bukan dengan desain visual?
Nokia, misalnya. Awalnya, mereka sangat berfokus pada fungsi dan ketahanan, terbukti dari seri 3310 yang terkenal "badaknya". Namun, begitu memasuki era ponsel layar warna, mereka semakin berani berkreasi. Perlu diingat, dari Nokia, lahirlah ponsel dengan desain memutar, ponsel yang menyerupai lipstik, ponsel yang bentuknya seperti air mata, dan ponsel khusus gaming yang didesain mirip Game Boy Advance.
Kemudian, Sony Ericsson. Sama seperti Nokia, sebelum merger dengan Sony, Ericsson memfokuskan diri pada ketahanan. Namun, sejak resmi menjadi Sony Ericsson, mereka menemukan niche-nya, yaitu musik. Ponsel seri Walkman mereka begitu melegenda dan memiliki kualitas audio yang sulit ditandingi.
Satu lagi yang tak boleh dilupakan adalah Motorola, terutama lewat seri Razr-nya. Desain flip dengan tampilan dan kelir elegan membuatnya jadi idaman perempuan muda pada pertengahan 2000-an. Secara fitur, ponsel ini memang biasa saja. Desain dan tampilannyalah yang membuat Motorola Razr jadi ponsel terpopuler pada 2004.
Pada akhirnya, pilihan-pilihan ini pun hadir sebagai perwujudan selera pribadi. Mereka yang suka ponsel berwarna hitam punya karakter berbeda dengan mereka yang suka ponsel berwarna merah, misalnya. Selain itu, desain juga punya andil dalam menentukan kelompok demografi mana yang menjadi target. Ponsel anak muda akan berbeda dengan ponsel orang tua. Ponsel untuk perempuan berbeda dengan ponsel untuk laki-laki.
Ponsel, ketika itu, bukan cuma soal fungsi dan fitur. Lebih dari itu, ponsel merupakan bagian dari gaya masing-masing orang yang, mungkin, cocok juga jika disebut sebagai aksesori fesyen atau gaya hidup tertentu.
Pengaruh Budaya Pop
Siapa yang membuat Motorola Razr menjadi ponsel laris nan legendaris? Jawabannya adalah Paris Hilton. Sosok ini memang kontroversial pada era 2000-an. Akan tetapi, tidak bisa disangkal bahwa gaya berpakaiannya sangat memengaruhi anak-anak muda pada zaman tersebut. Celana hipster, dipadu-padankan dengan atasan dan tas yang selalu berubah warna menjadi simbol dari apa yang kemudian disebut sebagai Y2K aesthetics. Ditambah dengan Motorola Razr berwarna pink, makin lengkaplah fashion aesthetics tersebut.
Paris Hilton bukanlah figur pertama yang memopulerkan penggunaan ponsel di kalangan perempuan muda. Pada 1995, lewat film Clueless, Alicia Silverstone yang memerankan karakter Cher sudah melakukannya lebih dulu. Akan tetapi, ponsel yang dipopulerkan Cher adalah ponsel generasi awal yang antenanya masih harus dipanjangkan untuk bisa dipakai menelepon dengan jelas. Aksi Cher menurunkan antena ponsel itu terbilang keren pada masanya.
Lalu, bagaimana dengan ponsel untuk laki-laki? Nah, untuk ini, ada sosok James Bond yang kala itu diperankan Pierce Brosnan. Dalam seri Tomorrow Never Dies (1997), Bond tampak menggunakan ponsel Ericsson JB988. Fitur ponsel itu pun luar biasa canggih layaknya "mainan" Bond lainnya: Bisa untuk mengendalikan mobil, memindai sidik jari, membuka gembok, bahkan menyetrum musuh dengan tegangan 20 ribu volt.
Akan tetapi, Ericsson sebenarnya tidak pernah merilis seri JB988. Ponsel itu adalah ponsel fiktif yang hanya muncul pada film Tomorrow Never Dies. Apakah karena inilah Ericsson jadi lebih identik dengan ponsel laki-laki pada awal 2000-an? Bisa jadi begitu.
Selain James Bond, Neo dari The Matrix Reloaded (2003) juga dikisahkan memiliki ponsel canggih yakni Samsung SPH-N270. Menariknya, jika Ericsson tidak pernah memproduksi JB988, Samsung pada akhirnya memilih untuk memproduksi SPH-N270 di dunia nyata. Ponsel ini dilengkapi pegas yang berfungsi mengangkat earpiece seraya menampilkan layar.
Berubah Gara-gara iPhone
Peluncuran iPhone pada 2007 menjadi titik awal dari segala perubahan di industri ponsel. Dari sana lahirlah sebuah paradigma baru, di mana layar adalah panglima. Sejak itu, desain ponsel pun semakin homogen dan warnanya juga semakin terbatas. Dengan teknologi yang sudah begitu canggih, keharusan untuk membuat desain ponsel yang aneh-aneh pun secara otomatis hilang. Sebab, peperangan era modern terletak pada kualitas komponen, kecepatan prosesor, ketajaman layar, pikselasi kamera, serta fitur-fitur lainnya.
Meski begitu, bukan berarti desain serta-merta dilupakan. Lahir kembalinya Motorola Razr, misalnya, menunjukkan bahwa aspek desain masih krusial. Selain itu, ponsel-ponsel layar lipat era modern juga membuktikan bahwa, dengan kebutuhan akan layar yang besar sekalipun, desainer masih punya ruang untuk bermain.
Lalu, bagaimana dengan kultur kustomisasi? Kustomisasi era kiwari memang lebih terbatas. Biasanya, orang melakukan kustomisasi dengan membeli beberapa pelindung dengan desain dan gambar bervariasi. Kemudian, ada pula aksesoris-aksesoris lain seperti ring stand dan gantungan. Stiker pun masih digunakan tetapi, biasanya, stiker-stiker ini ditempelkan pada bagian pelindung ponsel alih-alih pada bagian bodi.
Kustomisasi pun bisa dilakukan di dalam ponsel itu sendiri, misalnya dengan membuat atau membeli tema tampilan layar. Namun, kustomisasi macam ini memang tidak untuk diumbar ke orang lain, melainkan lebih kepada bagaimana seseorang bisa senyaman mungkin menggunakan ponselnya.
Jadi, saat ini situasinya memang sudah tidak lagi bisa disamakan dengan dekade 2000-an. Perkembangan teknologi membuat prioritas desain ponsel turut berubah pula. Apakah ini membuat ponsel kekinian jadi terasa "kurang bernyawa"? Mungkin saja. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa nyawa sesungguhnya dari ponsel kekinian memang tidak terletak di eksteriornya, melainkan pada fitur dan teknologinya.
Jika diibaratkan, ponsel 2000-an adalah newbie yang hobi koar-koar meski ilmunya masih cetek. Sementara, ponsel kekinian merupakan seorang suhu yang menganut prinsip “air beriak tanda tak dalam”.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi