Menuju konten utama
Byte

Motorola Comeback ke Indonesia, Jadi "Kuda Troya" Lenovo?

Sempat absen dari peta persaingan pasar ponsel pintar di Indonesia, kini Motorola bangkit bersama jenama induknya, Lenovo. Lalu, apa daya tawar mereka?

Motorola Comeback ke Indonesia, Jadi
Gedung Motorola di Chicago

tirto.id - Motorola, yang dulu pernah menjadi raksasa di dunia ponsel, resmi kembali ke Indonesia setelah lebih dari enam tahun absen. Lewat ponsel pintar seri G45 yang dibanderol Rp2 jutaan, Motorola menawarkan produk kelas menengah yang sepertinya disiapkan untuk bertarung dengan merek-merek asal Cina, seperti Xiaomi, Oppo, dan Infinix.

Sepintas, kembalinya Motorola tampak seperti upaya membangkitkan nostalgia belaka. Akan tetapi, sesungguhnya ini merupakan bagian dari strategi yang lebih besar.

Motorola tidak sendirian. Mereka juga melibatkan Lenovo, raksasa teknologi asal Cina. Bisa dikatakan, Motorola kembali ke Indonesia sebagai "Kuda Troya" bagi Lenovo.

Sebagai perusahaan, Motorola Mobility telah menjadi bagian dari Lenovo setelah diakuisisi dari Google pada 2014. Kala itu, tujuan akuisisi tersebut adalah memperkuat bisnis gawai di kancah global. Sebab, kendati telah menjadi pemimpin di industri perangkat komputer, Lenovo entah mengapa begitu kesulitan memasarkan ponsel pintarnya.

Motorola, ketika diakuisisi pada 2014, sebenarnya sudah bukan lagi Motorola yang dulu begitu masyhur, khususnya pada dekade 2000-an. Meski begitu, mereka masih memiliki pasar kecil yang setia di Amerika Utara dan Latin.

Di sisi lain, Lenovo yang terus-menerus gagal menguasai pasar kunci, misalnya Indonesia. Bahkan, pada pengujung dasawarsa 2010-an, mereka mundur teratur dan menyetop penjualan ponsel pintar di Indonesia.

Kini, pada 2025, Lenovo resmi kembali ke percaturan ponsel pintar tanah air. Hanya saja, mereka tidak lagi mengibarkan panji jenama utamanya, melainkan menggunakan nama merek Motorola. Harapannya, kesuksesan Motorola pada dekade 2000-an, wabil khusus lewat seri Razr-nya, bisa tertular pada Lenovo.

Keputusan Lenovo memasukkan Motorola ke Indonesia memang masuk akal. Mereka tahu bahwa jenama Lenovo sudah pernah gagal bersaing dan, rasanya, akan sulit meyakinkan kembali pasar Indonesia untuk membeli merek yang sama. Lewat Motorola sebagai "Kuda Troya", Lenovo membangkitkan nostalgia publik Indonesia akan sebuah merek legendaris yang bereputasi bagus.

Nama Motorola masih memiliki daya tarik tersendiri. Banyak orang Indonesia masih mengenang era Razr flip phone atau seri Android awal, misalnya Moto G. Familieritas ini memungkinkan Lenovo kembali berbisnis tanpa harus membawa beban kegagalan masa lalu. Di saat bersamaan, Motorola mendapat keuntungan dari sumber daya Lenovo yang luas, mulai dari manufaktur hingga rantai pasokan global.

Pada dasarnya, Lenovo tetap berada di balik layar dengan membuat keputusan-keputusan strategis, tetapi Motorola-lah yang tampil di garis depan.

Sasar Kelas Menengah

Pasar ponsel pintar di Indonesia telah berkembang pesat dalam satu dekade terakhir. Menurut data Badan Pusat Statistik terbaru pada 2023, sekitar 67 persen orang Indonesia telah memiliki ponsel pintar. Sebagai perbandingan, pada 2015, persentase kepemilikannya baru mencapai 56,92 persen.

Besarnya pasar ponsel inilah yang dilihat Lenovo sebagai peluang besar. Segmen kelas menengah yang berkembang pesat menjadi medan tempur utama. Saat ini, teritorinya didominasi oleh merek-merek seperti Xiaomi, Oppo, dan Infinix. Kembalinya Motorola dilakukan tepat saat permintaan akan ponsel pintar kelas menengah sedang tinggi.

ilustrasi berbelanja

ilustrasi Pelanggan berbelanja di toko perbaikan telepon

Alih-alih menargetkan segmen ultra-premium, Motorola fokus pada pasar kelas menengah, yakni konsumen yang menginginkan performa tinggi, daya tahan baterai lama, dan konektivitas 5G, dengan harga lebih terjangkau. Seri Moto G45, misalnya, hadir dengan refresh rate 120Hz, chipset Snapdragon 6s Gen 3, dan kamera 50 MP. Spesifikasi ini dirancang khusus untuk bersaing langsung dengan produk-produk Cina tadi.

Alasan lain Motorola kembali adalah peraturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di Indonesia, yang mengharuskan sekian persen komponen ponsel pintar diproduksi secara lokal. Lenovo telah menjalin kemitraan lokal melalui Motorola, yang memungkinkan mereka mematuhi regulasi ini sekaligus menekan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi rantai pasokan.

Cita Rasa Amerika dalam Perang Saudara Cina

Motorola adalah salah satu merek paling ikonik dalam sejarah telekomunikasi. Sebagai perusahaan yang menciptakan ponsel pertama di dunia, mereka identik dengan inovasi dan teknologi AS.

Selama beberapa dekade, Motorola menjadi simbol kejayaan teknologi AS, bersaing dengan merek-merek besar lain, seperti Nokia dan Sony Ericsson, sebelum revolusi ponsel pintar mengubah peta persaingan.

Saat ini, meskipun masih bercita rasa Amerika, Motorola sejatinya bukan lagi perusahaan AS, melainkan Cina, di bawah payung bisnis Lenovo. Ini menempatkan Motorola dalam posisi unik: merek Cina yang memasuki pasar yang didominasi jenama Cina lainnya, tetapi masih membawa warisan AS yang kuat.

Di permukaan, Motorola akan bersaing langsung dengan Xiaomi, Oppo, dan Infinix, dalam perang pangsa kelas menengah. Namun, tidak seperti merek-merek lain, Motorola tetap memiliki identitas Barat yang bisa menjadi faktor pembeda.

Banyak konsumen mungkin masih menganggap Motorola sebagai merek yang lebih "premium" atau "tepercaya" karena latar belakang Amerikanya dan di sinilah letak pertaruhan Lenovo.

Tentu saja, kembalinya Motorola tak serta merta menjamin kesuksesan. Pasar ponsel pintar di Indonesia sangat kompetitif, dengan Apple dan Samsung menguasai segmen premium, sementara merek Cina mendominasi kelas menengah dan bawah. Untuk menonjolkan diri, Motorola bisa mengaplikasikan tiga strategi ini:

Pertama, memosisikan diri sebagai merek kelas menengah premium. Berbeda dengan beberapa pesaing yang mengorbankan kualitas demi harga murah, Motorola menekankan daya tahan, performa baterai, dan perangkat lunak lebih canggih.

Kedua, memanfaatkan nostalgia dan familieritas terhadap merek. Seri Razr masih memiliki nilai sentimental yang kuat. Motorola pun telah menggunakan ponsel lipat modern Razr 50 Ultra sebagai alat pemasaran untuk mengingatkan konsumen akan kejayaan masa lalunya.

Ketiga, strategi pricing agresif. Di bawah manajemen Lenovo, strategi harga Motorola telah berkembang pesat. Seri Moto G kini diposisikan untuk mengalahkan harga Xiaomi dan Realme, dengan menawarkan spesifikasi serupa atau lebih baik pada harga yang bersaing.

Pada akhirnya, kembalinya Motorola ke Indonesia bukan sekadar peluncuran ponsel pintar biasa. Ini adalah strategi Lenovo untuk merebut kembali pangsa pasar di Indonesia dengan memanfaatkan cita rasa Amerika dan nostalgia.

Dengan harga yang kompetitif, kemitraan lokal, dan fokus yang jelas pada pasar kelas menengah, Motorola berpeluang mendapatkan pijakan kuat. Namun, persaingan tetap akan sengit.

Strategi "Kuda Troya" ini hanya akan berhasil jika Motorola benar-benar bisa membedakan dirinya di tengah keramaian pasar ponsel pintar di Indonesia. Bahkan, kalau bisa, citra sebagai anak perusahaan Lenovo harus benar-benar mereka lepaskan.

Baca juga artikel terkait MOTOROLA atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin