tirto.id - Nama Kim Kardashian tidak akan muncul dalam dunia show biz bila tak ada Paris Hilton. Paris adalah sarana utama panjat sosial Kim sebelum tenar sekira akhir 2000-an. Sejak itu, Kim menggeser pamor Paris sampai detik ini.
Dua puluh tahun lalu, Paris adalah ratu rave party idola kaum dewasa muda dan bahan berita media-media gosip di Amerika Serikat. Setiap hari, Paris meloncat dari satu kelab malam ke kelab malam lain dari di LA hingga New York. Tentu saja, semua adalah kelab malam kelas atas. Pokoknya, Paris akan selalu mengenakan busana paling glamor demi memastikan dirinyalah yang menjadi ratu pesta.
Kim mengintil Paris dari pesta ke pesta dan berupaya sedempet mungkin dengannya, terlebih saat paparazzi hendak memotret Paris. Kim pun mengakui bahwa Paris cukup berjasa dalam hidupnya.
“Dia pembuka jalan karierku dan aku sungguh-sungguh mengakuinya,” tutur Kim.
Kelak, Kim meniru beberapa langkah yang dilakukan sahabatnya itu agar jadi terkenal. Mulai dari yang paling kontroversial seperti kebocoran video indehoi, merancang karakteristik penampilan, jadi bintang utama reality show, jadi ratu disko, meluncurkan merek fesyen dan kosmetik, hingga bederma ke berbagai yayasan sosial.
Kim cukup beruntung, ketenarannya beriringan dengan perkembangan media sosial. Selain itu, Kim dan keluarganya tidak malu-malu mengumbar kehidupan sehari-hari mereka dalam Keeping Up with The Kardashians (KUWTK) atau di media sosial masing-masing.
Dalam reality show itu, publik bisa melihat bagaimana Kim dan saudarinya Kourtney saling cakar dan memprotes keegoisan masing-masing. Kris Jenner, sang ibu, tidak keberatan pertemuan pertamanya dengan Bruce Jenner diekspos. Dia tak malu memperlihatkan kekecewaannya kepada Bruce—yang kemudian mengubah gender dan namanya menjadi Caitlyn—karena tidak memperlakukan dirinya sebagai kawan hidup dan tempat berbagi keluh kesah.
Terlepas dari sejauh mana acara itu merekayasa kehidupan keluarga Kardashian, bagi keluarga Hilton, drama-drama semacam itu adalah hal tabu yang tidak perlu diungkap ke publik.
Bagi Kathy Hilton, ibu Paris, publik hanya perlu tahu bahwa keluarganya adalah keluarga terhormat. Di mata publik Hilton adalah salah satu keluarga terkaya di AS dan pemilik bisnis perhotelan mewah berskala internasional. Maka itu, setiap anggota keluarga musti bekerja keras, berperilaku baik, dan rajin bederma demi menjaga nama baik dan martabat klan Hilton.
Prinsip keluarga ini sebenarnya membuat Paris Hilton tidak berkembang sesuai kemauannya. Demi kehormatan keluarga, sang ibu selalu memerhatikan setiap gerak-gerik dan ucapan yang Paris katakan kepada wartawan.
Karenanya, tidak mengherankan jika kalimat favorit yang kerap dilontarkan Paris kepada wartawan selama 20 tahun belakangan adalah, “Tulis saja aku sebagai anak normal seperti yang lainnya,” atau, “Aku enggak berbuat apa-apa. Aku cuma menjalani hidupku.”Begitulah hingga persona Paris dengan sendirinya menjadi ketinggalan zaman.
Usai hilang beberapa lama dari pergunjingan orang, Paris sekali lagi minta perhatian dengan meluncurkan film dokumenterThis is Parispada 14 September 2020 lalu. Dokumenter produksi YouTube Originals itu tak hanya membeber perjalanan hidup Paris, tapi juga mengungkap sisi gelapnya.
This is Paris bisa disimak sebagai usaha Paris untuk membuat dirinya menjadi relevan kembali di dunia show biz kiwari. Meski begitu, dokumenter itu agaknya tidak akan mampu mendongkrak popularitas Paris seperti dahulu.
Pasalnya, persona Paris yang sekarang tak berbeda dengan Paris 20 tahun lalu. Terlebih, para pemuja Paris adalah mereka yang masih terperangkap pada stereotip kecantikan ala boneka Barbie yang muncul pada 1959 sampai dekade awal 2000: kulit putih, rambut blonde, mata biru, hidung mancung, garis rahang tegas, hingga tubuh kurus tinggi. Meraka bisa jadi juga adalah orang-orang yang suka melihat desain imut ala budaya populer kawaii.
Dikendalikan Sang Ibu
Paris Hilton adalah anak Richard Hilton, cucu Barron Hilton, dan cicit pendiri imperium bisnis perhotelan Conrad Hilton.
Barron semula tidak ingin meneruskan bisnis hotel keluarga itu karena tidak mau berada dalam bayang-bayang kesuksesan sang ayah. Karena itu, Barron mendirikan bisnis lain, mulai dari retail minuman, perusahaan minyak, perusahaan penerbangan, dan membentuk American Football League. Tapi, pada 1951, dia memutuskan untuk meneruskan bisnis bapaknya.
Di tangan sang kakek, bisnis Hilton melakukan ekspansi ke berbagai benua. Menurut catatan Fox Business, Hilton punya 2.800 cabang hotel, di antaranya Waldorf Astoria dan The Plaza. Di tangan Barron, Hilton membentuk The Conrad Hilton Foundation yang rutin menyumbang ke para biarawati, yayasan pemulihan bencana alam, kaum tunawisma, tenaga kerja perhotelan, air bersih, dan anak pengidap AIDS.
Sementara itu, Richard lebih fokus mengelola lini bisnis properti Hilton. Untuk urusan dengan media massa, Kathy lebih banyak pegang peranan. Kathy-lah yang semula membangun narasi bahwa keluarga intinya tidak serta merta kaya dari warisan bisnis Hilton. Dia dan Richard mencitrakan diri musti bekerja keras untuk sampai pada predikatnya sekarang.
Paris adalah ratu di mata Kathy. Dia menganggap anaknya layak jadi primadona dan berbakat jadi bintang sejak kecil. Menurut Kathy, kebintangan Paris menurun dari dirinya yang juga pernah menjadi seleb cilik.
Sejak wawancara panjang soal kehidupan Paris pertama kali muncul di Vanity Fair pada 2000, Kathy selalu menyebut Paris sebagai anak manis, pintar, dan bertata krama. Dan tetap begitu hingga This is Paris tayang.
Paris adalah kebanggaan keluarga Hilton. Oleh karena itu, Kathy melarangnya jadi model fesyen, clubbing, berpacaran, mabuk, atau jadi bintang televisi. Paris hanya boleh berbisnis seperti yang dilakukan keluarga Hilton dan hanya fakta itu yang pantas dipublikasikan.
“Ibuku selalu bilang aku mesti selalu sopan, jaga sikap, dan memperlihatkan bahwa semua hal berjalan sempurna. Ibuku menginginkan aku menjadi Hilton, tapi aku hanya ingin jadi Paris,” aku Paris dalam This is Paris.
Paris Membelot
Kenyataannya, setelah pindah dari Los Angeles ke New York, Paris menghabiskan masa remaja dan dewasanya dengan melakukan semua hal yang dilarang ibunya.
Dalam This is Paris, sang adik Nicky Hilton bilang bahwa kehidupan di New York sangat berbeda dengan Los Angeles. Mereka menilai New York glamor, riang, dan ada banyak pesta yang membuatnya tertarik untuk menjalani gaya hidup itu.
“Setelah banyak sekali larangan, akhirnya dia bisa berkata, ‘Akan kulakukan apa pun yang kumau’,” tutur Nicky.
Demikianlah Paris. Sebagai cucu orang kaya, masuk ke gaya hidup kaum muda kelas atas New York bukanlah hal sulit. Lalu, foto Paris tengah berdansa di atas meja, mengenakan busana mini, dan terbuka bertebaran di halaman media gosip terkenal zaman itu seperti People dan US. Yang paling bikin ibunya pening adalah saat tahu Paris mengenakan kalung bertuliskan "Sexy" dan "Hot Bitch".
“Paris menghilang setiap malam dan ibuku akan begadang semalaman, menelepon setiap kelab sambil mengancam mereka,” ujar Nicky.
Lantas, bagaimana dengan Paris?
“Aku justru merasa diterima. Aku merasa seperti seorang ratu,” aku Paris.
Kathy, lagi-lagi demi nama baik keluarga Hilton, berkata pada media bahwa Paris tidak melakukan hal seperti yang diberitakan. Paris, tentu saja, ikut menyangkal jika media menyebutnya penggemar clubbing. Itu membuat orang keheranan karena omongan dan tindakan Paris yang tidak sinkron.
Paris semakin tenar kala membintangi The Simple Life, sebuah reality show di mana dia diminta tinggal di sebuah daerah terpencil dan mengikuti cara hidup orang yang rumahnya dia singgahi. The Simple Life adalah versi borju dari tayangan Jika Aku Menjadi yang pernah mengudara di salah satu stasiun televisi Indonesia.
Namun, reality show itu tidak bertahan lama dan kalah saing dengan KUWTK.
Mencoba Relevan Lagi
Setelah itu nama Paris perlahan lindap. Selama beberapa tahun, karyanya tak ada yang mampu menggebrak publik seperti sebelumnya. Sebuah tayangan dokumenter yang rilis pada 2008 tidak sukses. Pada 2013, namanya sempat naik karena rumahnya dipakai untuk syuting filmThe Bling Ringkarya Sofia Coppola.
Pada 2016, dia mengaku menghilang karena sibuk mengurus berbagai lini bisnisnya yang meliputi fesyen, aksesoris, parfum, kosmetik, hingga perawatan wajah. Pamor bisnisnya itu juga tidak setenar merek milik klan Kardashian, meski sudah lebih dulu eksis.
Dua tahun belakangan Paris mencoba profesi baru dengan menjadi DJ.
“Aku suka perhatian. Aku suka ketika mereka memperhatikan aku di pesta,” kata Paris menjelaskan motivasinya.
Tahun lalu, Paris tampil di Ultra, salah satu festival musik dansa bergengsi di Eropa. Dia juga mulai rutin mengisi kanal YouTube-nya dengan rekaman hal-hal yang disukainya, seperti menggambar kucing, membuat kolase dari stiker-stiker Hello Kitty dan Unicorn, memasak—yang lebih tampak seperti menghangatkan makanan, membongkar tas berisi serbaneka kosmetik bermerek Paris Hilton, membongkar isi lemari, hingga tanya-jawab yang ujung-ujungnya adalah promosi produk.
Format tayangan itu akan sangat diminati bila disiarkan 20 tahun lalu, bukan sekarang. Paris jelas berusaha keras agar tetap relevan, tapi dia seakan tidak tahu harus berbuat apa.
Melalui This Is Paris, sutradara Alexandra Dean mencoba mengulik sisi dramatis Paris dengan menampilkan pengalaman buruknya. Paris pernah dikirim ibunya sekolah ke Utah dengan alasan untuk memperbaiki perilakunya dan menjauhkannya dari pesta. Malangnya, di sekolah itu Paris justru mengalami kekerasan fisik yang membuatnya trauma. Dan, tentu saja, Kathy tidak mengetahui hal tersebut.
“Ibuku selalu memperlakukan aku seperti anak 12 tahun,” keluh Paris yang kini berusia 38 tahun.
Paris tampaknya tidak benar-benar butuh ketenaran atau jadi trend setter seperti Kim. Dia hanya butuh ruang bergerak dan mengaktualisasikan dirinya yang sesungguhnya. Dia ingin lepas dari rezim “demi nama baik keluarga” yang selalu didengungkan sang ibu.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi