tirto.id - Seperti layang-layang putus, harga beras terus membubung tinggi. Berbilang hari, pekan, dan bulan berlalu, harga beras semakin tidak terkendali. Rakyat yang terhimpit daya beli dan limbung tak habis mengerti mengapa pemerintah tak kunjung bergerak dan sigap mengintervensi.
Sebagai otoritas kuasa, pemerintah punya kewajiban bukan hanya memastikan pasokan. Yang juga tidak kalah penting, adalah mengendalikan harga. Kalau pasokan cukup tapi harga tak bisa dijinakkan, pemenuhan kewajiban itu menjadi pincang.
Merujuk data panel harga Badan Pangan Nasional (Bapanas), sejak Juni 2025 tak ada lagi zona pemasaran beras dengan harga di bawah harga eceran tertinggi (HET). Baik di zona I atau wilayah produsen (Jawa, Lampung, Sumsel, Sulwesi, Bali, NTB), zona II atau wilayah produsen tapi defisit (Aceh, Sumut, Sumbar, Bengkulu, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Kepulauan Bangka Beliting, NTT, dan Kalimantan) maupun zona III atau wilayah konsumen (Maluku, Papua). Semua masuk zona merah. Bahkan, secara nasional kenaikan harga beras medium sejak Mei 2025 sudah melampaui batas psikologis: 10%.
Bukannya mendinginkan pasar beras yang “panas”, pemerintah justru melempar ancaman. Tuduhan “mafia beras”, “sabotase pemerintah” dan “beras dioplos” kembali dipungut. Penegak hukum, diwakili Satgas Pangan, yang sigap memeriksa para pelaku pemasaran beras menambah dosis ‘teror’. Untuk kesekian kalinya pemerintah tuna sejarah.
Melibatkan polisi dalam mengelola ekonomi pada 1950-an terbukti gagal (Toha, 2022). Metode ini diulang di era reformasi. Hasilnya? Mafia tak pernah bisa dibuktikan. Tapi jurus ini terus diulang sebagai kambing hitam. Akar masalah tak pernah disentuh.
Dari zaman baheula hingga kiwari, hukum ekonomi tak berubah. Kala permintaan melebihi penawaran, harga akan naik. Sebaliknya, bila suplainya melimpah harga akan turun. Ketika harga beras terus naik, menjadi tugas pemerintah untuk menyeimbangkan (kembali) level permintaan dan penawaran. Cara klasik adalah menggelar operasi pasar. Dengan membanjiri pasar berapapun kebutuhannya hingga jenuh. Dengan menjual beras di bawah harga pasar, harga potensial bergerak turun, atau setidaknya harga akan tertahan.
Pedagang, diakui atau tidak, nalurinya mencari untung sebesar mungkin. Tetapi, betapapun tamaknya, mereka adalah pengambil keputusan yang rasional. Apalagi mereka tahu pemerintah punya jurus pamungkas intervensi: stok beras di gudang BULOG dalam jumlah jumbo. Bila pasar dijenuhi beras operasi pasar, pedagang tak akan menahan stok. Mereka tahu harga potensial turun. Menahan stok akan merugi. Tentu ada yang bermain culas dan merugikan masyarakat, mereka tidak bisa dibiarkan. Tapi bukan dengan cara menarik polisi mengurus ekonomi. Karena dikhawatirkan timbul ketidakpastian usaha.
Melibatkan polisi mengurus ekonomi terbukti tak memperbaiki keadaan. Karena pengusaha-pedagang yang beritikad baik bisa juga terjaring. Peluang kongkalikong dan korupsi bisa jadi lebih besar. Implikasinya, tujuan pemerintah mengendalikan harga dan menekan inflasi tak tercapai. Juni beras kembali jadi penyumbang inflasi, melengkapi 4 bulan sebelumnya sejak awal 2025. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah fokus kepada tugas pokok: memastikan pasokan dan mengendalikan harga. Bukan malah menebar wacana saat ini terjadi anomali: harga beras terus naik saat produksi dan stok melimpah.
Betulkah produksi beras melimpah?
Merujuk data BPS, produksi beras Januari-Juni 2025 berpotensi mencapai 18,76 juta ton, naik 11,1% dari periode sama tahun lalu. Ini kenaikan yang tinggi. Tapi perbandingan ini tidak apple to apple. Karena iklim/cuaca tahun 2025 normal, sedangkan 2024 ada El Nino. Kalau dibandingkan dengan produksi Januari-Juni 2022 yang iklim/cuaca normal, hanya naik 0,8%. Kalau produksi Januari-Juni 2025 dikurangi konsumsi pada periode yang sama, ada surplus 3,2 juta ton. Dalam 8 tahun terakhir surplus beras ini hanya lebih besar dari surplus tahun 2024 dan 2020.
Sekitar 2,63 juta ton dari surplus 3,2 juta ton diserap BULOG. Pelaku swasta, terutama pedagang dan penggilingan, hanya kebagian remah-remah. Tatkala stok sedikit, pedagang dan penggilingan harus mengatur aliran beras ke pasar sedemikian rupa agar konsumen tetap terlayani. Menambah stok bukan tanpa risiko. Produksi padi mulai turun. Surplus makin mengecil. Berebut gabah di pasar membuat harga naik, bahkan bisa lebih Rp7.500/kg di petani. Ketika diolah jadi beras harga potensial melampaui HET.
Harga beras saat ini memang lebih mahal dari tahun lalu. Ini terang benderang. Pemerintah telah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen di petani dari Rp6.000/kg tahun lalu jadi Rp6.500/kg, Januari 2025. Petani diuntungkan. Akan tetapi, HET beras tidak disesuaikan. Kalau ditarik ke belakang, sejak Badan Pangan Nasional berdiri pada 2022 HPP gabah mengalami kenaikan tiga kali, sementara HET beras hanya dua kali. Kalau diakumulasi, HPP gabah kering panen di petani naik 47%, sementara HET beras medium naik 30% dan premium 16%. Kenaikannya tak imbang.
Gabah adalah bahan baku beras. Ketika harga gabah naik tidak masuk akal HET beras tak disesuaikan. Memaksakan HET beras tanpa penyesuaian membuat margin para pelaku tata niaga semakin menipis, bahkan potensial merugi. Perlu ada keseimbangan insentif. Kalau kebijakan miring ke produsen, pelaku perdagangan dan konsumen bisa terimbas dampak negatif. Pelaku usaha yang mengurangi isi, menurunkan kualitas, dan jual di atas HET, seperti dituduhkan saat ini, patut ditindak. Tapi bukan dengan membuat polisi sebagai polisi ekonomi. Mengapa tidak memberdayakan Ditjen Tertib Niaga dan Perlindungan Konsumen di Kementerian Perdagangan? Ke mana saja mereka saat ini?
Tiga tuduhan terhadap pelaku usaha perdagangan beras itu bukan perkara ringan. Itu tindak pidana dan bisa diseret ke meja hijau. Akan tetapi, kalau pelaku kejahatan ini berjamaah, seperti tecermin dari persentase pelanggar yang besar, tampaknya ini ganjil. Adalah hal lumrah ada 1-2 produsen berperilaku culas. Selau ada pihak yang mengeruk untung di atas penderitaan warga. Kalau tindak pidana itu dilakukan mayoritas pelaku usaha, ada baiknya pemerintah introspeksi diri: mengaca ke dalam. Mengoreksi diri.
Kalau harga beras naik 2-3 hari amat mungkin ada pelaku culas untuk mengeruk untung berlebihan di atas penderitaan konsumen. Akan tetapi bila kenaikan harga terjadi berhari-hari, berbilang minggu bahkan bulan, amat mungkin ada masalah serius yang tak tersentuh. Hemat saya, setidaknya ada 2 masalah krusial. Pertama, kenaikan HPP gabah tanpa diikuti perubahan HET beras, yang membuat HET potensial terlampaui. Kedua, ada keterlambatan intervensi pasar. HET adalah alarm. Kalau terlampaui, alarm menyala. Itu pertanda waktunya mengintervensi pasar. Alarm sudah lama menyala tapi tidak ada aksi.
Bukankah kini stok beras pemerintah di gudang BULOG 4,3 juta ton, terbesar sepanjang sejarah? Mengapa beras hanya ditumpuk di gudang sebagai stok statis? Beras adalah barang tidak tahan lama. Semakin lama disimpan ada risiko susut volume, turun mutu, dan rusak. Biaya pengelolaan membengkak. Menjadikan barang tak tahan lama sebagai stok statis adalah kekeliruan. Mestinya beras hasil penyerapan itu terus dialirkan ke pasar dengan prinsip first in first out. Adalah absurd tatkala stok tinggi tapi harga terus menanjak? Lalu, apa gunanya stok jumbo itu? Perlu diingat, stok melimpah tidak identik dengan pasokan melimpah. Stok melimpah juga tidak identik dengan produksi melimpah.
Negara harus hadir mengoreksi keadaan agar wacana anomali tidak berlanjut. Karena kenaikan harga beras adalah hal logis. Pembiaran membuat negara bisa dituduh abai pada hajat publik paling asasi: mengurus perut rakyat. Karena itu, beras pemerintah harus segera disalurkan. Untuk bantuan pangan atau operasi pasar. Agar stok akhir tersisa 1,2 juta ton beras, penyaluran hingga akhir tahun harus lebih 500 ribu ton/bulan. Ini tak mudah. Perlu cara tak biasa agar terealisasi. HET beras juga harus disesuaikan. Langkah-langkah koreksi ini memungkinkan harga beras akan menuju keseimbangan baru. []
Penulis adalah Pengurus Pusat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), penulis buku Bulog dan Politik Perberasan (Penerbit Obor, 2022) dan Ekonomi Politik Industri Gula Rafinasi: Kontestasi Pemerintah, Importir, Pabrik Gula, dan Petani (IPB Press, 2021), meminati masalah sosial-ekonomi pertanian dan globalisasi.
Masuk tirto.id


































