tirto.id - Manajer Advokasi Lentera Anak Pelangi (LAP), organisasi yang advokasi HIV, Natasya Sitorus mengkritik Kemenkes terkait ketersediaan obat HIV pada anak.
"Kecewa ketika negara menggampangkan penyediaan ARV untuk anak. Anak itu bukan manusia dewasa versi mini. Mereka juga manusia yang punya hak atas kesehatan," ujar Natasya, di kantornya, Jumat (29/11/2019).
Sebelumnya, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, Anung Sugihantono menyebut kendala pengadaan obat HIV anak karena tak ada pihak yang mengimpor ke Indonesia, karena nilainya kecil. Sedangkan di dalam negeri, belum ada produsennya.
Natasya pun menilai, cara negara untuk mengabaikan penyediaan obat HIV untuk anak telah melanggar Pasal 19 UU 16/2009 tentang Kesehatan. Bunyinya, "Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau".
Anung juga bilang tak mempermasalahkan anak untuk diberi obat dewasa dengan cara dipotong agar memenuhi dosis anak.
Menurut Natasya, Kemenkes tidak memastikan ketersediaan obat yang aman bagi anak.
Natasya pun menunjukan bentuk tablet ARV untuk dewasa yang biasa diberikan untuk anak. Tablet tersebut tak memiliki garis potong, sebagaimana tablet lainnya yang memang dapat dipotong karena memiliki garis potong.
"Saat gak ada garis potong, itu gak boleh dipotong, karena belum tentu setiap sisinya mengandung dosis-dosis yang sama. Nah, obat-obat yang didatangkan dari India, bahkan yang diproduksi Kimia Farma, itu gak ada garis potongnya," jelas Natasya.
"Coba bayangin anak usia 3 tahun, berat badan cuma 20 kg, tapi dosis obat dia sepertiga. Gimana caranya seorang nenek yang matanya sulit ngelihat, motong sepertiga?" katanya.
Natasya menyebut, obat-obat untuk dosis anak sebenarnya sudah banyak diproduksi di negara lain.
"Paling nggak kalau dia [Kemenkes] gak bisa nyediain yang mini, negara bisa nyediain yang ada garis potongnya," ujarnya.
Ia mencontohkan satu kasus pendampingan pada anak HIV. Ratu (7), bukan nama sebenarnya, dalam keadaan sehat. Virus HIV-nya masih terkontrol.
Namun, saat ada perubahan dosis, ia diberikan obat untuk orang dewasa, karena pihak rumah sakit tak menyediakan obat HIV mini yang memang diperuntukan bagi anak.
"Dia gak kuat makan obatnya. Tenggorokannya kecil. Bahkan di terakhir-akhir, di dokter, dia bilang ke dokter, 'dok, tolong ganti obat saya yang kecil biar saya bisa telan'," ujar menceritakan pengalamannya.
Dokter tetap tak memberi Ratu obat dengan ukuran untuk anak. Dengan itu, HIV dalam tubuh Ratu terus meningkat. Akhirnya, ia meninggal.
"Jadi artinya apa? Anak-anak disuruh ngalah aja? Mati aja gara-gara obatnya gak ada?" tanyanya retoris.
Ia juga bilang, ada kerugian ekonomis yang dapat timbul, jika negara mengimpor obat untuk anak, karena kebutuhannya kecil, tak seperti obat HIV untuk dewasa.
"Terus masa mau ditunggu anak yang HIV 3 persen, jadi 100 ribu anak, baru disediain obat HIV untuk anak," sindir Natasya.
"Menurut kami, sebisa mungkin, disediakanlah untuk anak-anak, usahakanlah. Anak-anak itu korban loh, mereka banyak yang gak tahu apa yang terjadi sama mereka, kenapa mereka harus minum obat-obat itu," imbuhnya.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Zakki Amali